Jauh sebelum Nabi Ismail lahir, Nabi Ibrahim telah hijrah dari Harran (Babilonia) ke Kan’an (Syam) dan menetap di sana untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian negeri Syam ditimpa bencana kelaparan, sehingga banyak diantara penduduknya yang pergi ke daerah lain untuk mencari rezeki. Demikian juga Nabi Ibrahim, beliau pergi ke Mesir.
Setelah sekian lama tinggal di Mesir, Nabi Ibrahim kembali ke Palestina bersama istrinya Sarah dan budak perempuan hadiah dari raja Mesir bernama Hajar.
Nabi Ibrahim dan Sarah telah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak, hingga hati Nabi Ibrahim sangat ingin mempunyai seorang anak, maka Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah, semoga Dia berkenan mengaruniai seorang anak yang saleh, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur'an:
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (QS. As-Shaffat/37: 100)
Dalam hati istrinya (Sarah), seakan-akan merasakan apa yang sedang bergejolak dalam hati suaminya. Maka ia berkata kepada suaminya, “Sesungguhnya Tuhan telah menakdirkan aku untuk tidak melahirkan anak. Oleh karena itu, aku berpendapat agar engkau mengawini budak perempuanku (Hajar), semoga Allah menganugerahkan kepada engkau seorang anak darinya.” Dalam hal ini Sarah menyadari bahwa dirinya telah berusia lanjut, dan seorang yang mandul, yang tidak bisa diharapkan untuk dapat melahirkan seorang anak.
Kemudian Nabi Ibrahim mengawini Hajar dan ia melahirkan Ismail. Hajar mulai merasa bangga dan kuat kedudukannya dengan adanya anak ini, sehingga menimbulkan kesedihan dan kecemburuan pada diri Sarah. Maka ia meminta kepada Nabi Ibrahim, agar menjauhkan mereka berdua darinya karena ia tidak sanggup hidup bersama mereka.
Kemudian Nabi Ibrahim memperkenankan permintaan Sarah. Bersamaan waktu itu Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar ia membawa Hajar dan Ismail pergi menuju Mekah. Sedang ketika itu Ismail masih dalam keadaan menyusu.
Dengan petunjuk Allah, Nabi Ibrahim berjalan disertai istri dan anaknya. Perjalanan yang demikian lama hingga Allah memerintahkannya untuk berhenti di suatu padang pasir yang sunyi, jauh dari keramaian, yaitu di tempat yang nantinya akan dibangun Baitul Haram, pada waktu itu masih berupa padang pasir yang belum berpenghuni.
Nabi Ibrahim menempatkan Hajar dan bayinya di tempat gersang yang belum berpenghuni. Berangkatlah Nabi Ibrahim dengan hati yang penuh perasaan iba, karena berpisah dengan anak dan istrinya. Akan tetapi, kehendak Allah telah mengalahkan kehendaknya. Maka Nabi Ibrahim menyerahkan diri kepada Allah dengan harapan bisa kembali. Kemudian Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an:
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagaian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim/14: 37)
Atas perintah Allah, Nabi Ibrahim kembali ke negeri Syam. Hajar bertahan hidup dengan bekal yang ditinggalkan Nabi Ibrahim untuk mereka berdua, hingga akhirnya bekal itu habis dan merasakan kehausan.
Hajar tidak tahan melihat anaknya yang sangat kehausan. Kemudian ia bangkit berjalan dengan wajah penuh kebingungan, Hajar berlari ke sana ke mari mencari air. Hajar mendaki sebuah bukit yang tinggi yang dikenal dengan bukit Shafa, ia perhatikan sekelilingnya dengan harapan dapat menemukan air, namun ia tidak menemukannya. Lalu ia turun dan berlari-lari kecil menuju suatu tempat yang tinggi lainnya yang dikenal dengan bukit Marwah. Ia perhatikan sekelilingnya berharap dapat menemukan sumber air, namun di tempat itu juga tidak ditemukan.
Pulang balik Hajar dari bukit Shafa ke bukit Marwah sewaktu mencari air sampai tujuh kali, yang akhirnya hingga sekarang menjadi rukun haji yang dinamakan sa'i.
Tidak lama kemudian setelah Hajar mendekati bukit Marwah, ia mendengar suara Malaikat Jibril, dan Hajar dibawa Malaikat Jibril ke tempat zamzam, maka dihentakkannya kakinya, maka memancarlah mata air, dan Hajar pun tergesa-gesa mengambil airnya. Ketika itu airnya melimpah-limpah ke mana-mana, kemudian Jibril berkata, “Zamzam!” Artinya “berkumpullah”. Kemudian air itu berkumpul dan sampai sekarang mata air itu diberi nama zamzam.
Kemudian Malaikat Jibril berkata, “Hai Hajar, janganlah engkau takut akan kehausan di sini, karena sesungguhnya Allah menjadikan air ini untuk minuman orang-orang yang ada di sini. Dan air ini akan terus mengalir tiada henti-hentinya, dan nanti Ibrahim akan kembali ke sini untuk mendirikan Ka‘bah.
Pada suatu hari berjalanlah di dekat tampat ini rombongan orang Arab Jurham dan kebetulan mereka sangat haus, sehingga mereka mencari air. Tiba-tiba terlihatlah oleh mereka burung-burung yang beterbangan di atas suatu bukit. Orang-orang Arab itu tahu, biasanya burung-burung itu senang pada air, dan mereka menduga bahwa di sana pasti ada air, maka ke sanalah mereka untuk mencari air. Dugaan itu betul, di sana mereka menemukan air dan mereka bertemu dengan Hajar dan bayinya Ismail. Mereka meminta izin kepada Hajar untuk tinggal menetap di tempat itu, dan Hajar pun dengan senang hati menerima mereka. Kemudian mereka mendirikan perkampungan di sekelilingnya, hingga Ismail tumbuh menjadi seorang remaja.
Setelah sekian lama Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya di Mekah, bukannya lantas beliau melupakannya atau melalaikannya, tetapi sekali waktu selalu menjenguknya.
Ketika pertama kali Nabi Ibrahim kembali ke Mekah untuk menemui anak dan istrinya, maka alangkah tercengangnya beliau melihat air yang memancar melimpah, dan sudah menjadi perkampungan yang subur makmur, sedang Hajar telah berbahagia hidupnya mempunyai harta benda yang cukup. Hajar menceritakan halnya kepada suaminya dan Nabi Ibrahim memuji kebesaran Allah swt. yang telah mengabulkan doanya yang telah lalu.
Berkurban dengan Ismail
Pada saat Nabi Ibrahim menjenguk kembali, Ismail sudah tumbuh berkembang sampai usia sanggup berusaha dan bekerja. Begitu senangnya Nabi Ibrahim melihat anaknya Ismail, ketika itu usia Nabi Ibrahim mulai lanjut. Pada saat yang membahagiakan ini, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah swt. Melalui mimpi bahwa Nabi Ibrahim diperintah menyembelih anaknya, Ismail sebagai kurban.
Nabi Ibrahim mengemukakan perkara ini kepada anaknya, untuk menguji keimanannya, kemudian berkata kepadanya, “Hai anakku! Saya telah bermimpi, seolah-olah saya menyembelih engkau, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Jawab Ismail, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, yaitu menyembelihku, insya Allah bapak akan mendapatiku termasuk orang yang sabar dan ridha dengan kehendak Allah.”
Tatkala keduanya telah berserah diri kepada Allah dan telah membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah-Nya, kemudian Nabi Ibrahim membaringkan Ismail, dan ketika Nabi Ibrahim menggesekkan pedangnya ke atas tengkuk Ismail, namun pedang itu tidak memotong Ismail melainkan diganti oleh Allah dengan seekor sembelihan yang besar. Sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam Al-Qur'an:
“Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya itu benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS.As-Shaffat/37: 104-107)
Demikian gambaran ketinggian dan ketaatan Nabi Ismail dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, jiwa dan raganya pun diserahkan kepada Allah, jika memang itu perintah Allah swt. Bagi siapa pun yang taat dan patuh akan perintah-perintah Allah dengan tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah, maka Allah pasti akan memberikan pahala dan keselamatan serta kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Nabi Ibrahim dan Ismail Membangun Ka‘bah
Allah swt. memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mendirikan Ka‘bah (Baitullah). Sebenarnya Ka‘bah sudah dibangun sebelumnya oleh Nabi Adam, namun rusak.
Nabi Ibrahim berkata kepada putranya Ismail, “Hai anakku, Allah telah memerintahkan kita untuk mendirikan rumah di tempat yang agak tinggi itu.” Keduanya lalu membangun dan meninggikan dasar-dasar Ka‘bah. Kemudian jadilah bangunan itu dengan nama rumah Allah atau Baitullah. Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah/2: 127-129)
Nabi Ismail as. Menikah
Setelah Nabi Ismail as. dewasa, kemudian menikah dengan seorang wanita Jurhum. Tak lama setelah pernikahan itu, Hajar wafat. Pada suatu hari Nabi Ibrahim datang ke rumah anaknya (Ismail), namun Ismail tidak di rumah, yang ada menantunya. Kemudian Nabi Ibrahim minta izin pulang, karena kedatangannya disambut kurang sopan oleh istri Ismail.
Nabi Ibrahim pulang dengan meninggalkan pesan untuk anaknya Ismail. Nabi Ibrahim berkata, “Jika suamimu datang nanti, katakanlah bahwa saya datang kemari, ceritakanlah ada orang tua sifatnya begini, dan berpesan kepadanya, bahwa saya ini tidak suka kepada gawang pintu rumah ini dan minta supaya lekas diganti.”
Setelah suaminya datang, diceritakanlah hal itu semuanya kepada suaminya (Ismail). Berkata Ismail, “Itulah dia ayahku (Ibrahim) dan rupanya engkau berperilaku kurang sopan dan tidak menghormati ayahku, sekarang engkau saya cerai karena ayahku tidak menyukai orang yang berperangai rendah.”
Kemudian Nabi Ismail menikah lagi dengan seorang wanita Jurhum juga, dan kepada menantunya ini Nabi Ibrahim sangat menyukainya.
Nabi Ismail dianugerahi Allah swt. keturunan yang banyak dan anak-anaknya menjadi pemimpin kaumnya dan mereka itu dinamakan Arab Musta’ribah. Untuk mengembalikan bangsa Arab dari kesesatan menyembah berhala dan berbagai kepercayaan palsu, akhirnya diutuslah seorang nabi dari keturunan Nabi Ismail dan Ibrahim, yaitu Nabi Muhammad saw. Nabi Ismail ialah kakek Nabi Muhammad saw. yang ke-60.
Menurut riwayat, Nabi Ismail meninggal dunia pada usia 137 tahun di negeri Palestina, dan menurut riwayat lain beliau meninggal bukan di Palestina, tetapi di Mekah.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah berwasiat kepada anak cucunya sebagai berikut, “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih Islam menjadi agamamu, karena itu janganlah kamu mati kecuali tetap dalam keislaman.”
Wallahu A’lam
Sumber : Buku “Riwayat 25 Nabi dan Rasul”