Pembahasan-pembahasan ini dikutip dari kitab Al-Ittihafatus-Saniyah fil-Ahaditsil-Qudsiyah karya Imam Al-Manawi. Demikian pula, kami nukilkan apa yang dikemukakan oleh Sayyid Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi dari kitabnya yang berjudul Qawaʻidut-Tahditsi min Fununi Mushthalahil-Hadits. Masing-masing dari dua imam mengemukakan tema ini semaksimal mungkin, karena bagi lembaga tidak mudah menemukan masalah itu selain dari dua kitab tersebut, maka kami mengutip apa yang tertulis dalam dua kitab tersebut karena percaya terhadap ketinggian mutu dua imam itu, dengan catatan seandainya memungkinkan bagi kami mengutip sumber yang lain sebagai tambahan, maka kami akan melampirkan keterangan tersebut di akhir kitab ini insya Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, suatu hadis dapat dikategorikan ke dalam hadis qudsi manakala terdapat penyandaran pengertian (makna) hadis itu kepada Allah. Sebagaimana definisi hadis qudsi sendiri adalah hadis yang diberitakan oleh Allah kepada Nabi saw. melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi saw. memberitakan pengertian hadis tersebut dengan ungkapan (susunan kalimat) beliau sendiri. Sedangkan Al-Qur'an lebih dari itu, karena lafalnya diturunkan juga dari sisi Allah Ta‘ala.
Maulana Ali Al-Qari menjelaskan, hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah dari Allah Ta‘ala, sesekali waktu dengan perantaraan Jibril as. dan sesekali waktu melalui wahyu, ilham atau mimpi, sedangkan redaksi hadisnya sepenuhnya disampaikan dengan bahasa beliau sendiri.
Hadis qudsi jelas berbeda dengan Al-Qur'an, karena Al-Qur'an diturunkan melalui perantara Jibril dan terikat dengan lafal yang diturunkan dari Lauḥ Maḥfūẓ dengan jalan yakin, kemudian diriwayatkan secara mutawatir dan qat‘i pada setiap golongan dan setiap waktu. Seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan antara Al-Qur'an dan hadis qudsi pun berkembang di kalangan ulama antara lain; tidak sah shalat dengan membaca hadis qudsi, tidak diharamkan menyentuh dan membaca hadis qudsi bagi orang yang junub, haid dan nifas, lafalnya tidak menjadi mukjizat, dan orang yang menentangnya tidak disebut kafir.
Al-Maulana Al-Kirmani dalam awal Kitab Puasa menjelaskan, Al-Qur'an adalah lafal yang menjadi mukjizat, dan diturunkan dengan perantaraan Jibril as., sedangkan hadis qudsi bukan merupakan mukjizat dan disampaikan tanpa perantara Jibril. Hadis ini disebut juga dengan hadis ilahi dan rabbani. Beliau juga menjelaskan, jika ada orang yang mengatakan bahwa semua hadis dapat dikategorikan ke dalam hadis qudsi, karena hadis tersebut juga berasal dari Rasulullah, padahal di sisi lain apa yang beliau sabdakan merupakan wahyu, beliau tidak bersabda dari hawa nafsunya, maka dapat saya pastikan bahwa perkataan tersebut adalah keliru. Karena telah jelas bahwa hadis qudsi merupakan hadis yang disandarkan kepada Allah Ta‘ala dan diriwayatkan dari-Nya, sehingga berbeda dengan hadis yang lain.
Adapula yang beranggapan bahwa hadis qudsi biasanya berhubungan dengan kesucian Zat dan sifat-sifat-Nya yang agung dan baik. Menanggapi statemen tersebut, Ath-Thibi menjelaskan, Al-Qur'an adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi saw. melalui Jibril as., sedangkan hadis qudsi adalah hadis yang pengertiannya diberitakan oleh Allah melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi saw. memberitakan kepada umatnya dengan redaksi beliau sendiri. Sedang hadis-hadis lain (selain qudsi) tidak disandarkan kepada Allah dan tidak pula diriwayatkan dari-Nya. Demikianlah keterangan yang terdapat dalam Kitab Fawa'id karya Hafid Taftazani.
Syaikh Muhammad Ali Al-Faruqi dalam Kasyful-Ishthilahat wal-Funun mengategorikan hadis menjadi dua bagian yaitu; hadis Nabi dan hadis ilahi atau yang disebut dengan hadis qudsi. Hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nabi saw. dari Tuhan Yang Mahamulia dan Mahabesar, sedangkan hadis Nabi tidaklah demikian. Itulah kesimpulan yang dapat dipahami dari keterangan yang di-sebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Mubin.
Al-Halabi dalam Hasyiyatut-Talwih menjelaskan, hadis ilahi adalah hadis yang diwahyukan oleh Allah Ta‘ala kepada Nabi saw. pada malam Mi‘raj yang disebut sebagai Asrarul-Waḥyi (wahyu rahasia). Dalam masalah ini, Ibnu Hajar berpendapat (agar tidak terjadi kesalahpahaman), maka wajib hukumnya menerangkan perbedaan antara wahyu yang dibacakan yakni Al-Qur'an dan wahyu yang diriwayatkan beliau saw. dari Tuhan Yang Mahamulia dan Mahabesar yakni hadis-hadis ilahi atau yang disebut hadis qudsi, yang jumlahnya lebih dari seratus buah dan sebagian ulama telah mengumpulkannya dalam 1 jilid besar.
Selanjutnya ia berkata, bahwasanya firman yang disandarkan kepada Allah Ta‘ala ada beberapa bagian:
1.) Yang pertama dan paling mulia adalah Al-Qur'an, yang mempunyai keistimewaan melebihi yang lain dengan kemukjizatannya se-panjang masa, terpelihara dari penggantian dan perubahan, di-haramkan menyentuhnya bagi orang yang hadas dan junub, haram diriwayatkan dengan maknanya, dan khusus dapat dibaca dalam shalat, diberi nama Al-Qur'an, setiap orang yang membaca satu huruf mendapat 10 kebaikan, dilarang untuk dijual (menurut Imam Ahmad, sedangkan makruh menurut kami), dan kalimatnya disebut ayat dan surah. Sedangkan kitab-kitab lain dan juga hadis-hadis qudsi tidak memiliki sisi kemukjizatan seperti Al-Qur'an, sehingga diperbolehkan menyentuh dan membawanya bagi siapa saja yang mau (tidak harus suci), diriwayatkan dengan maknanya, tidak boleh dibaca dalam shalat bahkan membatalkan shalat, tidak disebut Al-Qur'an, setiap pembacanya tidak diberi pahala 10 kalinya, tidak dilarang memperjualbelikannya (secara mutlak), dan kalimatnya juga tidak disebut ayat ataupun surah dengan kesepakatan ulama.
2.) Kitab-kitab para nabi sebelum diubah dan diganti.
3.) Seluruh hadis-hadis qudsi diriwayatkan kepada kita secara ahad dari Nabi saw. dengan disandarkan kepada Tuhan sehingga kalimat itu adalah firman Allah Ta‘ala, dan pada umumnya disandarkan kepada-Nya. Penisbatannya kepada Allah merupakan penisbatan insya' (nisbat terbitnya kalimat), karena Allahlah yang pertama kali mengucapkannya. Dan terkadang pula kalimat itu disandarkan kepada Nabi saw. karena beliaulah yang memberitakan dari Allah Ta‘ala. Berbeda dengan Al-Qur'an di mana Al-Qur'an itu disandarkan hanya kepada Allah Ta‘ala.
Dengan demikian, dalam pelafalan Al-Qur'an disebutkan dengan redaksi, “Allah Ta‘ala berfirman”, sedangkan dalam pelafalan hadis qudsi disebutkan dengan redaksi, “Rasulullah saw. bersabda dalam apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.”
Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pandangan apakah semua sunah merupakan wahyu dari Allah atau hanya berasal dari Nabi. Ada yang menyatakan bahwa semua sunah merupakan manifestasi dari wahyu Allah. pendapat ini diperkuat oleh ayat berikut:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya.” (QS. An-Najm/53: 3)
Berdasarkan ayat tersebut, Rasulullah saw. bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya saya diberi Al-Qur'an dan bersamanya sesuatu yang menyerupainya.”
Periwayatan hadis qudsi dari Allah Ta‘ala tidak terbatas oleh salah satu cara saja, namun dapat diriwayatkan dengan berbagai ma-cam cara seperti melalui mimpi, disampaikan di dalam hati dan me-lalui malaikat. Dalam penyampaian redaksi hadis qudsi, perawinya mempunyai dua sighat, yaitu:
a.) Perawi mengatakan dengan redaksi, “Rasulullah saw. bersabda tentang sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya.”
b.) Perawi mengatakan dengan redaksi, “Allah berfirman dalam apa yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw.”
Adapun pengertian yang dimaksud dari kedua redaksi tersebut adalah sama. Menurut Amir Humaiduddin terdapat enam perbedaan antara Al-Qur'an dan hadis qudsi yaitu:
a.) Al-Qur'an adalah mukjizat, sedang hadis qudsi tidak.
b.) Shalat hanya dianggap sah manakala dengan bacaan Al-Qur'an, tidak demikian halnya hadis qudsi.
c.) Orang yang menentang Al-Qur'an dihukumi kafir, sedangkan penentang hadis qudsi tidak.
d.) Al-Qur'an diriwayatkan oleh Allah kepada Nabi-Nya melalui perantara Jibril ra. sedangkan hadis qudsi tidak.
e.) Redaksi Al-Qur'an berasal dari Allah Ta‘ala, sedangkan hadis qudsi dari Nabi saw.
f.) Al-Qur'an hanya dapat disentuh dalam keadaan suci, sedangkan hadis qudsi boleh disentuh oleh orang yang hadas.
Menurut Amir Humaiduddin, dari keterangan di atas tampaklah perbedaan antara hadis qudsi dan Al-Qur'an, dan apa yang dinasakh bacaannya. Keterangan tersebut beliau nukil dari Al-Itqan, yang mana kalimat-kalimat Al-Qur'an disebut surah dan ayat. Demikianlah yang beliau kutip dari akhir Kitab Al-Ittiḥāfātus-Saniyah.
Imam Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi dalam Kitab Qawaʻidut-Tahdits menuturkan, Al-Allamah Syihab bin Hajar Al-Haitami dalam Syarah Arba‘in An-Nawawiyah dalam penjelasan hadis yang ke-24 dari hadis Abu Dzar Al-Ghifari ra. dari Nabi saw. menjelaskan tentang apa yang diriwayatkan dari Tuhan Yang Mahasuci dan Mahatinggi bahwasanya Allah berfirman:
“Wahai hamba-Ku, sungguh Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan zalim itu haram di antara kamu sekalian, maka janganlah kamu saling berlaku zalim.” (Hadis)
Dari hadis di atas, beliau juga menjelaskan keterangan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar sebagaimana keterangan di atas.
Abil Baqa' memaparkan beberapa perbedaan antara Al-Qur'an dan hadis qudsi sebagai berikut, Al-Qur'an merupakan firman Allah yang lafal dan maknanya berasal dari sisi Allah Ta‘ala dengan wahyu yang jelas. Sedangkan hadis qudsi adalah firman Allah yang lafalnya berasal dari sisi Rasulullah saw., akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya berasal dari sisi Allah dengan ilham atau impian.
Sebagian ulama menjelaskan, Al-Qur'an adalah lafal yang menjadi mukjizat dan diturunkan melalui perantara Jibril, sedangkan hadis qudsi bukan merupakan mukjizat dan disampaikan tanpa melalui perantara Jibril. Nama lain dari hadis qudsi adalah hadis ilahi dan hadis rabbani.
Menurut Ath-Thibi, Al-Qur'an merupakan lafal yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi saw., sedangkan hadis qudsi adalah hadis yang diberitakan oleh Allah kepada Nabi saw. melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi saw. memberitakan kepada umatnya dengan susunan kalimat beliau sendiri. Sedangkan hadis-hadis yang lain, sama sekali tidak disandarkan kepada Allah Ta‘ala dan tidak diriwayatkan dari Allah Ta‘ala. Demikianlah kutipan beliau dari Ibnu Hajar Al-Haitami.
Wallahu A’lam
Sumber : Kitab Al-Ahaditsul Qudsiyyah