Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah merupakan
salah satu pesantren salaf yang sudah berusia sekitar 28 tahun, yang telah
didirikan oleh KH. Dimyati Rois pada tanggal 10 Muharam 1405 atau bertepatan dengan bulan Juli
1985, yang terletak di Kp. Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu. Setelah kurun waktu yang cukup
lama, KH. Dimyati Rois menjalani proses panjang yaitu menjadi santri dan
belajar bersama sang kyai di beberapa pondok pesantren diantaranya Pondok Pesantren
Lirboyo dan APIK Kaliwungu dengan mempelajari bermacam-macam kitab-kitab kuning
yang berisi pengetahuan agama, kemudian dengan kesungguhan dalam belajar dengan
memaksimalkan fungsi kecerdasan yang Allah berikan kepada beliau, maka jadilah beliau
sosok yang matang dalam memahami ilmu-ilmu agama. Sehingga akhirnya beliau
diambil menantu oleh KH. Ibadullah Irfan, sesepuh dan tokoh masyarakat
Kaliwungu sekaligus salah satu Pengasuh Pondok Pesantren APIK Kaliwungu periode 1968 - 1985.
 |
Ponpes Al-Fadlu |
KH Dimyati Rois yang telah berpuluh
tahun menyelami ilmu syar’i dari satu guru ke guru yang lain dengan keuletan
dan ketekunan beliau mampu mengibarkan panji-panji Islam, tidak di herankan lagi
jika keteladanan beliau di ikuti oleh banyak generasi muda dari pelosok
nusantara, diantaranya Gus An’im Falakhuddin dan Gus Kafabihi (keduanya adalah
Putra Mbah Mahrus Ali, Lirboyo), Lukman (Jabar) dan lain sebagainya. Sehingga dengan
keadaan inilah yang mendorong beliau untuk mendirikan Pondok Pesantren yang
diberi nama Al-Fadlu wal Fadilah. Yang sampai saat ini dapat dilihat
keberadaannya dan telah banyak mengalami perkembangan.
 |
KH. Dimyati Rois dan Gus Dur |
KH. Dimyati Rois merupakan profil
seorang kyai yang mempunyai ilmu agama tinggi, ulama kharismatik, dan sekaligus
sebagai tokoh masyarakat yang sangat disegani oleh umat. Beliau juga merupakan
sosok seorang kyai yang sibuk, hampir seluruh waktunya digunakan untuk melayani
kepentingan umat dan membimbing serta membekali para santrinya dalam segala
bidang, baik keilmuan teoritik maupun keahlian fisik yaitu pertanian dan tambak
ikan. Dengan keadaan beliau yang demikian, sebagai salah satu strategi dan
sarana beliau dalam membekali serta membimbing para santrinya, sekaligus
sebagai media dalam menciptakan komunikasi yang harmonis antara Kyai dengan
santri dari kalangan bawah sampai atas yaitu santri biasa sampai santri yang
sudah berstatus menjadi ustadz, beliau mengadakan pengajian kitab yang tidak
begitu susah dan sulit untuk dibaca oleh seluruh santri baik yang masih menjadi
santri biasa lebih-lebih yang telah menjadi ustadz yaitu Kitab Riyadhus Shalihin.
Disinilah dua kali dalam seminggu
beliau berinteraksi dan berkomunikasi langsung dengan santri, memberi nasihat
dan fatwa-fatwa untuk seluruh santri tentang ilmu agama, yang bisa di jadikan
sebagai bekal hidup di dunia menuju akhirat kelak melalui keterangan isi kitab Riyadhus
Shalihin ketika mengaji.
Beliau sangat kondisional dan fleksibel
sekali dalam menyampaikan nasihat kepada seluruh santrinya melalui pengajian
kitab Riyadhus Shalihin, ketika sampai pada bab apapun biasanya beliau
gunakan untuk menyampaikan nasihat-nasihat tertentu. Jadi tiap bab yang beliau
kaji tidak hanya monoton menjelaskan isi bab tersebut, misalnya bab taubat maka
dalam penjelasannya bisa berisi keutamaan dan anjuran shalat berjamaah serta
memperbanyak shalawat disamping istighfar.
Disamping itu, ketika mengaji, Abah Dim
(sebutan para santri untuk beliau) selalu menyelingi penjelasan dengan lelucon
dan guyonan yang sangat menarik bagi santri. Itulah ciri pengajian beliau, dan ciri
yang lain dari pengajian kitab Riyadhus Shalihin ini adalah tidak
diketahui target waktu akan selesainya, sehingga tidak ada seorang santri pun
yang bisa memastikan kapan pengajian akan selesai atau dalam bahasa pesantrennya,
khatam, karena hanya beliaulah yang mengetahui.
 |
Ndalem Abah Dim dan Ponpes Al-Fadilah |
Diantara fatwa dan nasihat yang sering
disampaikan beliau adalah agar santri menjadi hamba Allah yang bertaqwa
dimanapun keberadaannya, berbakti kepada kedua orang tua, anjuran selalu
menjalankan shalat, baik wajib maupun sunnah, dan beliau lebih menekankan
shalat lima waktu dengan berjama’ah, hampir setiap mengaji, Abah Dim selalu
menyampaikan nasihat untuk santrinya agar senantiasa mengerjakan shalat berjama’ah,
diantaranya nasihat beliau yang menganjurkan pentingnya shalat berjama’ah
adalah “Jadilah santri yang selalu rajin shalat berjama’ah dan menjalankan
shalat berjama’ah itu tidak harus menjadi Imam, karena yang diperintahkan dalam
shalat adalah agar kita selalu berjama’ah bukan menjadi Imam, maka dari itu,
jangan rebutan jadi Imam, kalau semua ingin jadi Imam, nanti yang menjadi ma’mum
siapa?”
Oleh
Saifurroyya Dari Berbagai Sumber
ADS HERE !!!