Ditengah berlangsungnya pengajian, tiba-tiba
KH. Ahmad Dum berdiri dan meninggalkan tempat, hampir dapat dipastikan, karena
orang yang sangat dihormatinya datang menjenguk, dihampiri dan disambutnya,
orang yang sangat disayangi itu menyuruhnya untuk meneruskan.
Malah saking hormatnya sering pula jika KH.
Ahmad Dum mendatangkan Undangan hajatan, buah tangan (Berkat ) dari
hajatan itu tidak serta merta dibawa pulang ke rumah (untuk dimakan istri dan
anaknya) melainkan dibawa singgah terlebih dulu ke rumah orang yang
dihormatinya, ditawarkannya buah tangan hajatan itu, bila berkenan ditinggalkan
dan bila sebaliknya , baru berkat itu dibawa pulang kerumah.
Orang yang dihormati dan disayangi KH. Ahmad
Dum tidak lain adalah ibunya yaitu Nyai Hj. Ruqoyyah. Begitulah KH. Ahmad Dum
mesti sudah menjadi Kyai, namun, rasa hormat dan sayangnya kepada Ibu tidak
luntur sedikit pun.
KH. Ahmad Dum merupakan anak bungsu dari 12
anak hasil perkawinan KH. Irfan bin KH. Musa dengan Nyai Hj. Ruqoyyah (istri
pertama KH. Irfan). 12 anak itu adalah; Abdul Aziz, Iqyanah, Akhmad Fitriyani,
Fityanah, Khumaidyani, Hamdan, Hamdanah, M. Cholis, Asfiya’, Syifa’, Maryam,
Ahmad Dum.
|
KH. Hafidhin, Putra KH. Ahmad Dum Irfan |
KH. Ahmad Dum lahir pada tahun 1930 M di Kp.
Kauman Kaliwungu, di rumah yang terletak sebelah utara Masjid Al-Muttaqien
berdampingan dengan Ponpes APIK, setahun kemudian yakni tahun 1931, Ayahnya
(KH. Irfan Musa) meninggal dunia. Mungkin Allah swt. tak menghendaki, terutama
pada KH. Ahmad Dum dan saudaranya yang lain menjadi anak yang ceria ditengah
kenyamanan keluarga, tertawa riang, bermain kesana kemari seperti teman sebaya,
akan tetapi harus merasakan pahit getirnya kehidupan dengan menjadi anak-anak
yatim. Memang, biasanya calon orang besar hampir tidak ada yang bergelimang
dalam kemanjaan keluarga, dan KH. Ahmad Dum itulah salah satu contohnya.
Hari demi hari dilalui KH. Ahmad Dum bersama
sang Ibu tercinta, mungkin karena beliau bungsu dan yatim. Sang Ibu dan
saudara-saudaranya serta sepupu tuanya yakni KH. Ahmad Ru’yat yang menjadi Pengasuh
Ponpes APIK Kauman Kaliwungu (Menggantikan KH. Irfan Musa yang wafat pada tahun
1931 M) menaruh perhatian khusus pada KH. Ahmad Dum, inilah yang dikemudian
hari sangat mempengaruhi kehidupan KH. Ahmad Dum untuk menjadi orang besar.
Menabur
Pilu Menuai Ilmu
Meskipun yatim dan anak seorang janda, KH.
Ahmad Dum sadar bahwa dirinya juga putra seorang pendiri dan pengasuh
pesantren, beliau merasa dituntut untuk membekali diri dengan berbagai disiplin
ilmu, agar kelak dapat meneruskan cita-cita perjuangan Ayahandanya, karena itu
sejak usia dini beliau sudah mulai belajar mengaji Al Qur’an kepada Ibunya
sendiri, kemudian juga kepada sepupu tuanya yang lain, yang kebetulan ahli
bidang Al Qur’an seperti : KH. Badawi dan KH. Utsman. Setelah khatam Al-Qur’an,
beliau baru melangkah mempelajari cabang-cabang ilmu yang lain, seperti :
Jurumiyah, Imrithi, Sulamut Taufiq, Sulam Munajat dll. Dalam mempelajari ilmu,
beliau dibimbing langsung oleh kakaknya yaitu KH. Abdul Aziz dan sepupu tuanya
KH. Ahmad Ru’yat.
Ketika itu, KH. Ahmad Dum dikenal sebagai
anak yang sangat ta’dhim dan tawadhu’ kepada ibu dan gurunya, apapun perintah
kedua orang itu selalu ditaati, begitu pula larangan kedua orang tua tidak
pernah dilanggar. Konon, beliaulah anak yang paling disayang kedua orang tua
itu, mungkin karena beliau bungsu dan yatim, beliau tekun dan patuh, wajarlah
jika kemudian beliau yang paling disayang. Ketika usia beliau sudah mulai
beranjak dewasa, pada tahun 1946, cita-cita mengembara beliau mencari ilmu
sebagaimana kakak-kakaknya yang lain menjadi kenyataan.
Dengan diiringi restu sang ibu, beliau
berangkat mondok ke Tegalgubug, Cirebon bersama KH. Humaidullah beserta istri
dan KH. Ibadullah yang terlebih dahulu mondok di pesantren itu. Namun, di pesantren
Tegalgubug itu beliau betah hanya beberapa hari saja, setelah itu beliau pindah
ke Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon (kira-kira 15 km dari Tegalgubug). Mulailah
beliau mondok di Babakan yang waktu itu diasuh oleh KH. Amin dan KH. Sanusi,
beliau memanfaatkan waktunya di pondok dengan “Tidak ada waktu tanpa belajar“
begitulah kira-kira prinsip beliau. Untuk mencukupi kebutuhan makan selama di Ponpes
Babakan beliau merelakan diri untuk jadi “Buruh Liwet“, berbagai ujian dan
cobaan beliau jalani dengan tabah.
Dikisahkan, ketika mondok di Babakan beliau
pernah mendapat fitnah dituduh telah mencuri beras milik santri, terus terang
beliau membantah dan menyangkalnya, dan fitnah itu dihadapinya dengan sabar dan
tawakkal. Tidak lama kemudian pencuri yang sebenarnya tertangkap, bersamaan
dengan itu pula identitas beliau sebagai putra KH. Irfan bin KH. Musa Kaliwungu
terbongkar, maka berbondong-bondonglah orang yang menuduh meminta maaf kepada
beliau.
Di pesantren Babakan ini beliau mondok kurang
lebih 3 tahun, dan di pesantren ini pula beliau menghabiskan waktu yang relatif
cukup lama, sebab setelah ini beliau hanya mondok dengan cara pasaran atau
kilatan saja (di Bareng, Kudus dan Rembang).
Menjadi
Kyai Di Saribaru
Setelah pulang dari pesantren Babakan antara
tahun 1948 – 1949, KH. Ahmad Dum waktunya dihabiskan utuk menemani sang Ibu dan
membantu mengajar di pesantren APIK Kauman, yang saat itu diasuh oleh KH. Ahmad
Ru’yat, mungkin karena terlihat tingkat kedewasaan KH. Ahmad Dum yang cukup
matang juga kedalaman ilmunya yang lumayan, maka kedua orang tadi memotivasi
beliau untuk segera mencari pendamping. Dijelaskannya arti penting seorang
pendamping bagi keberhasilan perjuangan juga kebahagiaan dunia akhirat
seseorang, maka mulailah beliau berikhtiar dan beristikharah untuk mendapatkan
pendamping. Tidak lama kemudian pada tahun 1950, beliau telah menjatuhkan
pilihan pada gadis pengusaha tempe di Kp. Poting, gadis itu bernama Masrikah
putri H. Athiya. Biduk rumah tangga pun dilalui oleh pasangan baru ini,
bersamaan itu pula beliau mulai menjalankan misinya sebagai santri yakni “Nasyrul
Ilmi“. Dengan daya kreatifitasnya, beliau sudah mulai menyandang gelar
Kyai, dengan membuka “Sekolah Jenggot “, yakni sekolah yang diikuti orang-orang
tua, oleh mertuanya H. Athoya, lalu dibangun sebuah Madrasah yang sekarang
berada di Kp. Pandean Bonsari. Budaya Barzanjian pun dikemas dengan cara door
to door (dari rumah ke rumah), Kp. Poting yang semula populer sebagai
daerah hitam, sedikit demi sedikit mengalami kemajuan, beliau yang sudah
menjadi tokoh di kampung itu akhirnya berkenan merubah nama “Poting“ menjadi “Saribaru“.
Santri sejati adalah santri yang memiliki
idealisme, begitu juga KH. Ahmad Dum, baginya faktor istri cukup mempengaruhi
atas terlaksananya idealism itu, oleh karenanya pada tahun 1953 beliau yang
kedua kalinya menyunting seorang gadis yang menurutnya bisa diajak untuk
berjuang “Li i’laa li kalimatillah“ gadis itu bernama Muzayyanah
putri Bapak Palal (Fadhol).
KH.
Ahmad Dum Wafat
Tanggal 21 Rabi’ul Awal atau bertepatan
dengan tahun 1959 merupakan hari-hari berkabung bagi warga Saribaru khususnya dan
Kaliwungu pada umumnya serta keluarga besar Ponpes ARIS. Karena, pada waktu itu
hari Rabu tepatnya ba’dal Maghrib, KH. Ahmad Dum, pendiri kampung Saribaru,
pendiri dan pengasuh Ponpes ARIS serta salah seorang Kyai muda Kaliwungu wafat.
Memang, semenjak ditimbali (dipanggil) dan
didawuhi sepupu tuanya yakni KH. Ahmad Ru’yat pada tahun 1957, agar Ponpes ARIS
yang semula Pondok Pesantren Putra dirubah saja menjadi Pesantren Putri, dengan
alasan mengingat di Kaliwungu belum ada Pesantren Putri yang cukup kondusif dan
representatif juga karena pertimbangan kampung Saribaru merupakan lokasi yang
relatif strategis. Kondisi kesehatan beliau mulai agak terganggu, sakit beliau
makin hari makin berat, meski dalam kondisi sakit beliau masih aktif mengaji
seperti biasa, seakan-akan tidak merasakan penyakit yang dideritanya.
KH. Ahmad Dum wafat dalam usia 29 tahun, usia
yang terbilang muda dan tengah produktif melahirkan karya-karya, namun Allah
berkehendak yang lain.
Banyak yang menilai jika pada umumnya
kematangan karier dan prestasi seseorang baru dimulai pada usia 40 tahun, KH.
Ahmad Dum justru merengkuhnya pada usia sebelum itu. Kewafatan beliau pun
dinilai terlalu cepat datangnya, secepat beliau meraih prestasi sebagai tokoh
yang dicintai dan disegani.
Dari pernikahan beliau dengan Ny. Hj. Masrikah
binti H. Athoya meninggalkan 2 anak, yaitu Nadhiroh dan Maftuhin. Sedang,
dengan Ny. Hj. Muzayyanah binti Palal meninggalkan 2 anak, yaitu KH. Hafidhin
Ahmad Dum dan KH. Shobirin Ahmad Dum. Keempat anak itu ditinggal dalam usia masih
belum mencapai baligh (dewasa) semuanya. Cita-cita yang telah dirintis pun kini
telah terwujud yakni Pondok Pesantren Putri ARIS Saribaru.
Disusun Oleh
Saifurroyya Dari Berbagai Sumber