|
KH. Dimyati Rois |
Mustasyar PBNU KH. Dimyati Rois,
sekaligus pengasuh pesantren Al-Fadlu wal Fadilah Kampung Jagalan, Desa
Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal, merupakan sosok ulama sekaligus pengusaha yang
mengajarkan para santri dan penduduk sekitar tidak hanya materi-materi
keagamaan. Ia membekali para santri dengan ketrampilan yang berguna ketika
sudah keluar dari pesantren. Para penduduk juga diajarkan bagaimana menjalankan
usahanya dengan lebih baik. Atas usahanya tersebut, ia menjadi salah seorang
tokoh berpengaruh di lingkungan sekitarnya.
Berikut wawancara dengan Kiai
kharismatik tersebut disela-sela rapat pleno PBNU di kompleks UNSIQ Wonosobo,
beberapa waktu lalu tentang bagaimana metode pengentasan kemiskinan ala
pesantren.
Bagaimana
pola pengembangan ekonomi berbasis pesantren?
Saya
ini pengusaha pertambakan, tapi masih menggunakan pendekatan konvensional atau alamiah,
belum sampai pada memakai model yang canggih dan intensif, tapi sensitif, kalau
mati, ya mati semuanya. Saya memelihara bandeng dan udang, alhamdulillah berhasil.
Sampai
berapa hektar yang dikelola?
Kurang
lebih ada 15 hektar
Melibatkan
santri atau ada tenaga kerja khusus?
Ada
anak santri yang tidak nyangu (membawa bekal) dari rumah yang bekerja.
Jadi yang mengelola (nggarap) pertanian santri, pertambakan juga santri,
semuanya dikerjakan setelah pelajaran madrasah. Jadi makan semuanya dari
sini, madrasahnya juga tidak membayar, semuanya gratis.
Ada
berapa banyak santri yang dilibatkan?
Tidak
pasti, ada anak yang ditempatkan di dapur, di pertanian atau di tambak.
Sekaligus
melatih mereka berusaha?
Ya,
saya dalam membangun gedung juga tidak memakai tukang. Maka anak santri yang
keluaran (alumni) dari situ (al-fadlu wal fadhilah), kadang pulang ke rumah ada
yang jadi tukang sambil mengajar masyarakat. Jadi karena yang mengerjakan anak
santri, biayanya tidak terlalu berat.
Kalau
ada tamu yang datang, saya tunjukkan, gedung-gedung pesantren sampai berlantai
tiga yang membangun santri, banyak yang heran. Ada sejumlah alumni santri yang
bekerja di kontraktor-kontraktor besar di Jakarta, lama-lama mereka ahli dan
membantu ketika kami membutuhkan keahliannya.
Kalau
untuk upaya pengentasan kemiskinan bagaimana?
Upaya
pengentasan kemiskinan tentu dilakukan sesuai dengan cara dan kapasitas yang
kami miliki.
Satu
contoh, pernah ada orang yang kurang mampu, ia datang ke tempat saya dan
bilang:
“Kiai,
bagaimana saya, disamping ekonomi lemah, anak saya banyak dan tidak memiliki
harta benda.”
Terus
saya tanya, “sampean punya duit berapa.”
Orang
tersebut menjawab “10 ribu.”
“Gini
saja coba, belikan ayam. Waktu itu ayam 500 rupiah.”
Akhirnya
datang ke saya membawa 20 ayam.
Ayam
itu dibawa ke rumah saya, terus saya bilangin, bukan dibawa ke saya, tapi
dibawa ke rumah sampean.
“Ayam
ini sampean sembelih sendiri, dengan tangan sampean sendiri
bersama istri.”
“Lalu,
bagaimana selanjutnya,” tanya orang tersebut.
Saya
bilang, “nanti jam 12 malam, saudara datang ke saya, nanti saya bisiki.”
Jam
3 malam mereka selesai memotong ayam, setelah itu, datang lagi, “gimana
kiai.”
“Ini
dipotongi yang baik,”
Pekerjaan
tersebut dilakukan sampai subuh. Jam tujuh kemudian datang lagi, “Lalu untuk
apa.”
Saya
bilang, “ini ada timbangan, saya pinjami dulu, coba dijual ke pasar, kira-kira
dapat berapa.”
Akhirnya
jam 11 siang sudah pulang, dapat uang 16 ribu. “Kira-kira 3 ribu cukup untuk
makan nggak.”
“Cukup.”
“Itu
yang 13 ribu dibelikan ayam lagi.”
Atas
usahanya tersebut, akhirnya, alhamdulillah, saat ini setiap hari, orang
tersebut bisa menghabiskan ayam dua kwintal, ini kan juga upaya pengentasan
kemiskinan.
Ada
contoh lain, orang datang dan bilang, “kiai saya punya warung makan, tapi
habisnya paling-paling tiga kilo sate dengan gule, bagaimana supaya warungnya
bisa berkembang dengan baik.”
Nah,
waktu itu saya akan ke Brebes, “Mau ikut nggak.” tanya saya
Dia
lalu ikut, saya ajak ke warung yang jual sate dan gule paling enak, setelah
makan gule dan sate, saya tanya.
“Gule
dan sate Anda dengan ini, lebih enak mana. Kira-kira saudara ngerti nggak.
Kalau enak disini, gimana menirunya.”
“Asal
sesuai dengan selera Anda, kan biasanya ramai.”
Sekarang
jualan satenya Alhamdulillah, berhasil. Ini juga pengentasan
kemiskinan.
Saya
juga menanam semangka, saya beritahu masyarakat bagaimana caranya, dapatnya
berapa. Para petani akhirnya banyak yang meniru.
Saya
juga belum sampai yang seperti industri, biayanya kan besar. Ini upaya
pengentasan kemiskinan sesuai dengan kondisi masing-masing, pada prinsipnya
bisa.
Di
Kaliwungu, saya juga mengawali penanaman brambang (bawang merah), sekarang
sudah banyak yang mengikuti.
Masyarakat
pedesaan harus dikasih tahu dulu?
Ya
memang betul itu, malah kadang bukan hanya masalah penanamannya, kadang
rabuknya (pupuknya) juga berganti-ganti, sesuai dengan kondisi dan tanah
masing-masing.
Kok
bisa dapat inspirasi menanam semangka atau brambang?
Saya
kan petani, keluarga saya petani. Sebelum di Kaliwungu saya tinggal di Brebes.
Cuma, yang namanya pengobatan atau pupuk, harus sesuai dengan tanahnya
masing-masing. Di Kaliwungu berbeda dengan Brebes. Di Kaliwungu, lebih ngirit
(hemat) pengobatannya. Tapi pada prinsipnya, pesantren harus terlibat dalam
pengentasan kemiskinan, tidak hanya mengajarkan materi keagamaan saja.
Saya
juga ajarkan istighotsah, mengajarkan masyarakat berdzikir. Sekarang banyak musibah,
di Amerika ada tornado, Jepang ada tsunami, di Indonesia ada Lapindo, yang
sekarang sulit diatasi, ada gempa. Dan untuk mengatasi ini, saya kira teknologi
dan ilmiah saja tidak cukup. Dalam satu hadist ada yang mengatakan, tidak ada
persoalan yang bisa mengatasi marahnya Allah, kecuali doa. Maka dari itu, saya
berdoa dan bedzikir kepada Allah, moga-moga tidak ada tsunami dan gempa, atau
masalah lain.
Oleh
Saifurroyya Dari Berbagai Sumber