|
Makam Sunan Katong |
Belum
banyak buku yang menulis dan menemukan catatan baku atau buku induk yang
menerangkan riwayat hidup Sunan Katong. Cerita perjalanan hidup Sunan Katong
ini akhirnya diperoleh dari keterangan para sesepuh, itu pun belum dijamin kelengkapan
ceritanya dan validitasnya. Oleh karena itu, dalam menulis riwayat hidup Sunan
Katong ini banyak didominasi oleh cerita-cerita tutur sebagai pelengkap cerita
perjalanan Sunan Katong.
Banyak
buku sejarah yang menerangkan tentang Walisongo akan tetapi tidak satu buku pun
yang menerangkan dan bahkan menyebut sekalipun nama Sunan Katong. Oleh karena
itu, untuk bisa mencari identitasnya diperlukan data-data yang menyamping yang
berhubungan dengan masa ketika itu. Namun, ada satu riwayat menceritakan bahwa Kyai Katong atau Sunan Katong diutus oleh gurunya yang bernama Kyai Pandan Arang untuk berdakwah ke daerah arah barat Semarang yang terdapat "Pohon Ungu" yang batangnya condong ke Sungai. Setelah berjalan beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon tersebut. Dan lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut dengan nama "Kali Ungu" atau "Kali Wungu".
Ada
tiga tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kaliwungu-Kendal mereka adalah; 1.
Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong, 2. Wali Joko, dan 3. Kyai
Gembyang atau Wali Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral
sejarahnya ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang,
Protomulyo Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.
Maka
muncul pertanyaan, kapan Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong
datang di Kaliwungu-Kendal?. Untuk bisa mengetahui kapan Sunan Katong datang di
Kaliwungu-Kendal, terlebih dahulu perlu memahami siapa Sunan Katong yang
dimaksud. Di bawah ini ada dua pendapat yang menerangkannya.
Nama
Sunan Katong erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit, karena tokoh ini masih
ada hubungan darah dengan raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, ia
adalah putra Majapahit dari istri Ponorogo. Setelah kerajaan Majapahit
berakhir, ada keterangan yang menerangkan bahwa tokoh ini secara otomatis menjadi
keluarga besar kerajaan Demak, karena ia masih ada hubungan saudara dengan
Raden Fatah, saudara seayah.
Ada
keterangan lain yang menerangkan bahwa Sunan Katong yang makamnya ada di kota
Kaliwungu itu bukanlah Bhatara Katong putera Brawijaya ke V tetapi cucu dari
Bhatara Katong, yang mempunyai nama “nunggak semi” dengan kakeknya, yaitu
Bhatara Katong. Tokoh muda itu bernama Kyai Katong.
Dijelaskan
bahwa Kyai Katong yang cucu Bhatara Katong itu adalah putera Pangeran Suryapati
Unus atau Adipati Unus atau Patih Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden
Fatah, Sultan kerajaan Demak pertama. Sedangkan kapan tokoh ini datang di
Kendal-Kaliwungu, memang tidak ada catatan yang jelas. Namun jika dipahami
dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan kemudian
menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional, maka kedatangan Sunan Katong
ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan erat dengan penyerangan
Kerajaan Demak terhadap bangsa Portugis yang telah menguasai Malaka ataupun Sunda
Kelapa. Maka, kapan peristiwa itu terjadi?
Bhatara
Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih
tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan Telapak “kuntul melayang”. Beberapa
tokoh rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien,
Han Bie Yan dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal
dengan nama-nama Tekuk penjalin, Kyai Gembyang dan Wali Joko. Dalam catatan
sejarah nasional bahwa ketika Nusantara (Malaka dan Aceh) diserang oleh bangsa
Portugis (1511), banyak pembesar-pembesar Samudera Pasai (Aceh) yang mengungsi
ke Demak, salah satunya pembesar itu terdapat Faletehan atau Fatahilah.
Terhadap
penyerangan bangsa Portugis itu, kerajaan melakukan penyerangan balik selama
dua kali. Penyerangan pertama terjadi pada tahun 1513 dibawah pimpinan Pangeran
Sabrang Lor atau Adipati Unus, putera mahkota Kerajaan Demak. Karena
penyerangan itu memiliki tujuan multi politik, yaitu politik ekonomi dan
politik agama, maka dalam perjalanan pasukan Demak disertai dengan pembinaan
pada daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basis
pertahanan. Dimungkinkan dalam ekspedisi pertama ini(1513) Kyai Katong ada
dalam rombongan itu, dan kemudian memilih berhenti membina daerah baru di Kaliwungu-Kendal.
Bila
kemungkinan ini benar maka Sunan Katong datang ke Kaliwungu-Kendal pada tahun
1513. akan tetapi catatan ini sedikit kurang valid karena tidak ada data
pendukung lainnya. Dan disamping itu massanya sangat terlampau jauh bila
dihubungkan dengan sejarah semasanya. Penyerangan kedua terhadap bangsa Portugis
dilakukan pada tahun 1527. penyerangan ditujukan terhadap bangsa Portugis yang
sudah menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa. Penyerangan kedua dipimpin oleh
Faletehan atau Fatahillah, menantu Raden Fatah atau kakak ipar Sultan
Trenggono. Sudah barang tentu penguasaan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang
pantai utara pulau Jawa terlebih dahulu dilakukan. Dimungkinkan sekali Kyai
Katong ada dalam rombongan ekspedisi ini.
Kelihatannya
catatan ini ada sedikit dukungan data lainnya. Dengan demikian bisa mendekati
kebenaran bila kedatangan Sunan Katong di Kendal-Kaliwungu pada tahun 1527,
atau ketika itu Kerajaan Demak dibawah Sultan Trenggono. Catatan itu didukung
dan ada sedikit sentuhan positif dengan cerita rakyat yang sudah menjadi cerita
baku dan bahkan sudah menyatu pada diri masyarakat Kaliwungu-Kendal, yaitu
cerita Sunan Katong. Data Pendukung itu antara lain menyebutkan sebagai
berikut:
Adanya
cerita perguruan antara Sunan Katong dengan Ki Ageng Pandan Arang I (Ki Made
Pandan) dan Ki Ageng Pandan Arang II atau Sunan Tembayat di padepokan Tirang
Amper atau Bergota. Ketika bertemu dengan penguasa Semarang itu, Ki Ageng
Pandan Arang belum pindah ke Tembayat. Artinya Ki Made Pandan ataupun Ki Pandan
Arang II masih dalam satu wilayah, di Tirang Amper atau Bergota.
Adanya
cerita Bhatara Katong dengan Syeikh Wali Lanang, dengan perintah Sunan Bonang
pada Syeikh Wali Lanang yang ditugasi mengajar Sunan Katong, dan kemudian
adanya pertemuan antara Ki Ageng Pandan Arang dengan Syeikh Wali Lanang. Untuk
memperjelas data-data itu kiranya perlu kesabaran dan perlu ketelitian dalam
rangka menghindari kesalahan yang fatal. Dan perlu disadari bahwa pertemuan itu
belum tentu bisa mencapai kebenaran seratus persen. Antara Sunan Katong dan Ki
Ageng Pandan Arang adalah saudara seayah, keduanya putera Pangeran Suryapati
Unus. Ibu Ki Made Pandan Arang adalah puteri Adipati Urawan di Madiun.
Sedangkan Kyai Katong putera Adipati Unus dari istri Ponorogo. Puteri Bhatara
Katong.
Kedua
putera Adipati Unus itu ternyata mempunyai visi sama. Mereka tidak tertarik
dengan politik pemerintahan, mereka memilih sebagai penyiar agama Islam atau
dunia spiritual. Dengan demikian mereka juga harus rela meninggalkan kerajaan.
Padahal kalau mereka ada ke sana, baik Ki Ageng Pandan Arang maupun Kyai Katong
sangat mudah. Ki Made Pandan Arang bisa memilih ingin menjadi penguasa Demak
ataupun Adipati di Urawan Madiun. Kedua daerah itu sangat memungkinkan untuk
mengantarkan dirinya untuk menjadi orang nomor satu. Sedangkan Kyai Katong juga
demikian. Ia tinggal memilih apakah di Demak atau Ponorogo, keduanya memberi
harapan yang bagus.
Dalam
cerita sejarah dan cerita rakyat atau cerita tutur diterangkan bahwa
cerita-cerita yang menyangkut riwayat perjalanan Sunan Katong memang saling
berhubungan, dan cerita-cerita itu saling melengkapi. Alur cerita sejarahnya
kemudian dikemas dalam bentuk cerita rakyat yang seakan-akan saling bertentangan.
Padahal tidaklah demikian. Cerita-cerita itu dimaksudkan untuk saling mengisi
dan saling melengkapi. Dengan bahasa lain, alur sejarahnya dibungkus dengan cerita
rakyat yang dihiasai dengan "sanepo" atau kiasan-kiasan yang mengandung
filsafat/pendidikan. Sebab, para penulis cerita babad itu lebih dilingkari
dengan budaya dan bahasa yang sangat halus. Dan para pujangga itu lebih
mengedepankan rasa dari pada lainnya. Sehingga penulisannya lebih mengarah pada
filsafat kehidupan.
Melihat
keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian
bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha.
Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu.
Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemenggungan
Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang, Kenduruwan adalah
perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta Riwilwatika. Sedangkan
Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus perkara yang jumlahnya
tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi, Manghuri dan Jamba. Dengan demikian
tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya sebuah Kadipaten Majapahit. Seperti
disebut-sebut bahwa menurut tuturan jaman Majapahit, bahwa "kali'
disebutnya dengan “banyu”.
Penyerangan pertama terhadap
Bangsa Portugis ini tercatat tahun 1513. Ketika merebut pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang pulau Jawa itu, dimungkinkan adik Sultan Fatah yang bernama Bathara
Katong ikut dalam pasukan Faletehan. Daerah/pelabuhan yang berhasil
ditaklukkan, ditempatkan seorang pemimpin yang telah berpengalaman di bidang pemerintahan.
Daerah pelabuhan yang pertama kali ditaklukkan adalah Kendal/Kaliwungu karena
tempatnya berdekatan dengan Demak. Setelah Kaliwungu-Kendal berhasil dikuasai,
maka Bhatara Katong diminta untuk mengislamkan masyarakat di Kaliwungu-Kendal
dan sekitarnya serta sekaligus menata pemerintahannya.
Banyaknya
cerita dan data-data berupa tulisan yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan
data yang diperoleh kurang valid. Bila pendapat ini yang menjadi rujukan, maka
kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu-Kendal kurang lebih tahun 1513-an, dan
Demak masih di bawah kepemimpinan Sultan Fatah. Terlepas benar atau salah, kelihatannya
tahun 1513 itu terlalu tua, dan bila dihubungkan dengan catatan yang akan
diuraikan nanti kurang adanya kecocokan masa. Cerita yang berhubungan Ki Ageng
Pandan Arang atau Sunan Tembayat, kelihatannya akan terkubur, yang berarti
adanya keberatan untuk menerima temuan di atas. Namun ada keterangan lagi,
bahwa masa itu terlalu jauh bila dihubungkan dengan masa kehidupan Ki Pandan
Arang atau Sunan Tembayat. Dimungkinkan, kedatangan Bhatara Katong di Kaliwungu-Kendal
itu bersamaan dengan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa yang terjadi
pada tahun 1527 yang dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah. Ketika Kerajaan
Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono.
Bila
masa itu yang menjadi rujukan, kelihatannya mendekati kebenaran. Maka Bhatara
Katong yang dimaksud itu adalah Kiai Katong cucu dari Bhatara Katong, atau Kiai
Katong putera Adipati Unus dari istri putera Prabu Brawijaya V. Dengan demikian,
Kiai Katong tetap disebut juga sebagai keturunan Prabu Brawijaya V.
Kondisi
dan perkembangan sejarah ketika itu sangat cocok bila dihubungkan dengan daerah
sekitar, terutama Tirang Amper di bawah pimpinan Ki Ageng Pandan Arang I atau
Ki Made Pandan, walaupun sedikit ada selisih tahun. Kalau diyakini bahwa Ki
Made Pandan adalah anak Pangeran Suryapati Unus putera Sultan Fatah, maka dapat
dihitung bahwa kepergian Ki Made Pandan dari Demak menuju Tirang Amper sekitar
tahun 1521-an. Sebab, Suryapati Unus memangku Sultan II, menggantikan
ayahandanya sekitar tahun 1518-1521. Dan pada tahun-tahun tersebut memang agama
Islam belum menyebar ke pelosok: Di Tirang Amper atau Bergota sendiri masih
banyak Ajar atau pemimpin agama Hindu yang masih kokoh dengan sikap
keyakinannya. Maka tidak berlebihan bila Kaliwungu-Kendal yang letaknya lebih
jauh dari Demak, juga masih banyak petinggi Majapahit, salah satunya Pakuwojo,
yang mempunyai nama asli Suromenggolo. Selain sebagai seorang Adipati, ia juga
seorang yang ahli membuat pusaka, sebagaimana Empu Supo, seorang yang ahli
membuat pusaka keris, dan kemudian menjadi Adipati di daerah Tuban.
Cerita-cerita
yang menyangkut antara Pakuwojo dan Sunan Katong sebenarnya menyangkut soal
perkembangan agama Islam di Kaliwungu-Kendal. Pakuwojo sendiri disebutkan
sebagai seorang petinggi Majapahit yang ditempatkan di Kaliwungu. Selain
sebagai petinggi kerajaan, Pakuwojo juga dipandang sebagai tokoh agama. Selain itu
Pakuwojo juga memiliki kepribadian yang kokoh dan sangat kuat mempertahankan
prinsip, terlebih soal kepercayaan dan keyakinan. Oleh karenanya tidak mudah
merubah keyakinan yang telah bertahun-tahun bahkan telah mendarah daging pada
diri Pakuwojo. Kalau saja ada perlawanan dari Pakuwojo terhadap ajakan/da'wah
Sunan Katong, hal itu termasuk sikap yang wajar.
Kisah
perjalanan Sunan Katong menurut catatan, dituturkan bahwa Sunan Katong yang
makamnya di Protomulya Kaliwungu itu adalah Bhatara Katong putera Prabu Brawijaya
V dari istri Ponorogo. Dan silsilah ini di antara para penulis sejarah tidak
ada yang berbeda. Dengan demikian hubungan antara Bhatara Katong dengan Sultan
Fatah, Raja Demak adalah saudara seayah lain ibu, karena Raden Fatah lahir dari
ibu asal negeri Campa, dan kelahirannya di Palembang.
Catatan
ini sudah dijadikan bahan baku cerita rakyat sebenarnya sudah dikemas dalam
bentuk cerita yang penuh dengan filsafat kehidupan. Artinya, alur ceritanya
tidak langsung terfokus pada titik ceritanya, tetapi sudah disusun sedemikian
rupa, dan didalamnya banyak mengandung pelajaran keimanan dan filsafat kehidupan.
Lengkapnya catatan sejarawan itu sebagai berikut;
“Bhatara
Katong sebenarnya masih terbilang seorang putera Prabu Brawijaya, Raja
Majapahit. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, ia belum bersedia memeluk agama
Islam. Adipati Ponorogo ini pernah diminta oleh saudara tuanya, Panembahan
Demak untuk memeluk Agama Islam. namun waktu itu minta tangguh, setelah ayahnya
meninggal dunia. Namun setelah Prabu Brawijaya meninggal, Bhatara Katong ternyata
telah mengingkari janjinya, bahkan bertapa pergi ke pegunungan Penjor. Setelah
Panembahan Demak mendengarnya, maka masalah ini diserahkan kepada Sunan Ratu
Wadat alias Sunan Bonang. Sunan Bonang kemudian mengutus seorang bangsawan dari
negeri Arab, bernama Syeikh Wali Lanang atau Syeikh Djumadil Kubro, untuk mengislamkan
Bhatara Katong. Bhatara Katong mempunyai dua orang anak. Yang pertama seorang
perawan, dan yang bungsu masih remaja puteri. Bhatara Katong merasa sedih
memikirkan jodoh kedua anaknya itu. Demikian sedihnya, hingga dalam hati ia
sampai berkata bahwa ia rela meninggalkan dunia fana ini jika kedua putrinya
telah bersuami. Di samping itu, ia juga memikirkan di mana tempat yang tepat
untuk memeluk Agama Islam. Tidak lama antaranya Bhatara Katong melihat teja
mencorong di sebelah barat laut. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri,
apakah teja tersebut tidak merupakan isyarat bagi dirinya? “Jika demikian aku pergi
ke sana untuk menjumpainya,” katanya dalam hati. Sayang sekali, ketika mau
dihampiri olehnya, teja itu tiba-tiba menghilang, tidak tentu arah rimbanya.
Bhatara Katong bersama istrinya kemudian pergi ke arah barat laut sambil
membawa kedua orang anak perempuannya.
Setelah
Bhatara Katong pergi, Syeikh Wali Lanang datang di padepokannya. Syeikh Wali
Lanang memperhatikan keadaan sekitar tempat itu dengan seksama. Setelah
meneliti ke kanan dan ke kiri, Syeikh Wali Lanang mengetahui arah kepergian
Bhatara Katong. Syeikh Wali Lanang segera pergi ke arah barat laut, mau
menyusulnya. Sementara itu perjalanan telah sampai di Jurangsuru. Di tempat itu
ia bertemu dengan seorang bekas Ajar (pendekar) yang telah memeluk Agama Islam
bernama Naya Gati. Setelah saling menanyakan nama dan tempat asalnya
masing-masing, Bhatara Katong menyampaikan maksudnya mau mencari teja yang
pernah dilihatnya, namun setelah sampai di suatu tempat, di tepi laut tiba-tiba
menghilang. “Tahukah Andika siapa orang suci yang diam di tempat itu?” Naya
Gati menjawab, bahwa orang suci tersebut masih gurunya sendiri, bernama Pandan
Arang. Orangnya masih sangat muda, lagi pula seorang orang suci yang sakti.
Atas pertanyaan Bhatara Katong; Naya Gati juga menerangkan, gurunya tersebut
berasal dari Demak dan masih cucu Panembahan Demak. Ia diperintahkan Sunan Bonang
bermukim di tempat itu untuk mengislamkan para Ajar (pendekar).
Bhatara
Katong minta diantarkan ke tempat kediaman Ki Pandan Arang. Permintaan itu
disanggupi Naya Gati. Setelah bertemu dengan Ki Pandan Arang, ia ditanyai asal
usul dan maksud kedatangannya. Bhatara Katong dengan terus terang menyebutkan namanya
sambil menjelaskan bahwa ia berasal dari Ponorogo dan masih putera Prabu
Brawijaya. Maksud kedatangannya tak lain ingin memeluk agama Islam dengan
perantara Ki Pandan Arang. Ki Pandan Arang menjawab, bahwa lebih dari baik,
Bhatara Katong mau memeluk agama Islam. Ki. Pandan Arang lalu minta kepadanya
mengucapkan kalimat syahadat, sedang Bhatara Katong kemudian menyerahkan anak
perempuannya yang sulung pada Ki Ageng Pandan Arang untuk dijadikan istrinya.”
Catatan
Amen Budiman itu dengan jelas menerangkan bahwa Bhatara Katong yang makamnya di
Protomulyo itu berasal dari Ponorogo, saudara seayah Sultan Fatah. Catatan ini
nampaknya sudah tersebar dan bahkan sudah dijadikan pemahaman baku oleh
masyarakat. Brosur syawalan yang menceritakan tentang riwayat Sunan Katong kelihatannya
lebih mengacu pada catatan ini.
Sementara
itu Mas'ud Thoyib, sastrawan asal Kaliwungu juga menyimpan catatan tentang
Bhatara Katong yang riwayatnya sedang dibahas ini. Disebutkan dalam bukunya
Sunan Katong dan Pakuwaja, Mas'ud Thoyib memperlihatkan catatan Dr. H. Rachmat
Djatmiko dengan bersumber pada Babad Ponorogo, menerangkan bahwa Prabu Brawijaya
memang punya anak dari istri Ponorogo yang bernama Bhatara Katong. Lebih
lengkapnya catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko itu sebagai berikut ; “Bhatara
Katong adalah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, sehingga dengan Raden
Fatah merupakan saudara seayah. Bhatara Katong diperintah oleh ayahnya, Raja
Majapahit, untuk menghadapkan Ki Demang Kutu yang membangkang kepada Raja. Ki Demang
Kutu itu mempunyai keahlian dalam ilmu kanuragan, mempunyai banyak pengikut dan
murid yang terkenal sebagai warok dan jatil. Untuk mendatangkan Demang Kutu,
Bhatara Katong disertai Seloaji. Sampai di Desa Mirah mereka bertemu dengan
seorang muslim, yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah. Bhatara Katong
minta bantuan pada Ki Ageng Mirah untuk mengalahkan Ki Demang Kutu.
Menurut
tradisi, Bhatara Katong dan Seloaji masuk Islam dihadapan Ki Ageng Mirah.
Selanjutnya Bhatara Katong, Seloaji dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya
kembali ke Ponorogo. Setelah sampai di suatu tempat yang diperkirakan sesuai
untuk dijadikan kota, didirikan sebuah masjid. Dan dari daerah itulah dapat
mengalahkan Ki Demang Kutu.” Rachmat Djatmiko juga mencatat bahwa nama
“Bhatara” di belakang nama Katong, adalah atas pemberian Raden Fatah sebagai upaya
untuk memudahkan berdakwah di lingkungan masyarakat yang masih memeluk agama
Hindu/Budha.
Dalam
catatan akhirnya, Rachmat Djatmiko juga menerangkan bahwa setelah wafat,
Bhatara Katong dimakamkan di depan masjid (tidak di belakang masjid). Menurut
candra sengkolo Sinengkalan yang terdapat pada watu gilang di ruang jero tengah
kompleks kuburan terdapat gambar-gambar: Gajah, Burung terbang, Udang dan orang
sedang bertapa. Yang diartikan oleh J. Knebel sebagai tanda tahun 1318 Caka (1398
M) dan menurut M. Hari Suwarno menunjukkan tahun 1408 Caka (1486 M). Tahun
tersebut kemungkinan waktu didirikannya masjid Setono, dan Bhatara Katong
kemungkinan wafat pada pertengahan awal abad 16, dan wakaf tanah kompleks
Bhatara Katong terjadi tahun 1554 Catatan Rachmat Djatmiko di atas menjelaskan
bahwa Bhatara Katong sudah masuk Islam di hadapan Ki Ageng Mirah ketika masih menjabat
sebagai Adipati Ponorogo, dan ia menjadi Adipati Wengker, Ponorogo mulai tahun
1466 M, dan mendirikan masjid di Setono pada tahun 1486 M. Kemudian adakah
hubungan antara Bintara, Ponorogo dan Kaliwungu?
Disebutkan
dalam kitab Centhini sebagai berikut: Bathara Katong sejarah neki saking
Bintoro warti putrane sang aji Dukuh Lepentangi. Arti bebasnya; Sejarah Batara
Katong itu berasal dari Bintoro. Menurut cerita ia putera raja, yang tinggal di
Kaliwungu.
Bila
isi serat Centhini dihubungkan dengan Babad Tanah Jawi yang isinya; Sawise
lawas-lawas Sultan Demak wus peputero nenem, kakung lan puteri yoiku: (1)
Pangeran Sabrang Lor, iku kang pembarep, kromo daup lan puteri Ponorogo Bhatara
Katong. (2) Pangerang Trenggono, (3) Pangeran Sedo ing Kali, (4) Pangeran
Kandurunan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu kromo angsal Bagelen. Arti
bebasnya kurang lebih; Setelah lama Sultan Demak (Raden Fatah), sudah berputera
enam orang lelaki dan perempuan yaitu (1) Pangeran Sabrang Lor (Dipati Unus,
putera mahkota) anak yang pertama, menikah dengan puteri Ponorogo, Puteranya
Batara Katong (2) Pangeran Tranggono (3) Pangeran Seda ing kali (4) Pangeran
Kandurunan, atau Kanduruan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu,
menikah dengan orang Bagelen.
Dapatlah
diartikan bahwa Bhatara Katong yang sejarahnya berasal dari Bintara, Demak
adalah putera raja (Adipati Unus) yang tinggal di dukuh Kaliwungu. Dengan
demikian Kiai Katong ing Gunung Penjor (Kaliwungu) adalah bukti adanya hubungan
sejarah antara Bintoro dengan Ponorogo/Wengker (yang pernah menjadi pusat
kerajaan Majapahit, 1456-1466 M)
Sedangkan
dalam catatan lain juga disebutkan bahwa ketika Bupati Kendal, Pangeran Ario
Notohamiprojo pernah mengikuti perjalanan Prins Federijk, cucu Raja Nederland
keliling pulau jawa (1837), singgah di kuburannya Bhatara Katong di Ponorogo.
Dengan demikian jelas sekali bahwa di Ponorogo juga ada nama Bhatara Katong,
putera Brawijaya. Untuk sementara, cerita kita beralih pada Adipati Unus atau Suryapati
Unus atau Pangeran Sabrang lor, yang menjadi sentral pembahasan kedua. Selain
punya istri puteri Bhatara Katong, Adipati Unus juga punya istri puteri
Pangeran Puruboyo atau Adipati Urawan penguasa Madiun. Hasil perkawinan ini
lahir Ki Made Pandan. Anak Adipati Unus ini lebih tertarik pada
kegiatan-kegiatan spiritual dari pada pemerintahan. Disebutkan pula bahwa
pengaruh Sunan Bonang lebih mewarnai kehidupan Made Pandan. Ketika ayahandanya
wafat, ia lebih rela jabatan atau tahta itu diserahkan pada pamannya, yaitu
Pangeran Trenggana. Ki Made Pandan bersama istri dan dua anaknya meninggalkan
Demak, yang akhirnya lebih puas bermukim di pulau Tirang dengan mengembangkan Agama
Islam di sekitar tempat itu, dan mengislamkan para Ajar di sekitar gunung
Bergota. Di Made Pandan kemudian menetap di daerah itu yang diberi nama Tirang
Amper.
Begitu
pendapat kedua ini mengemuka, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu/Kendal
diduga kuat sekitar tahun 1527-an bersamaan dengan penyerangan Demak ke Sunda
Kelapa yang juga dipimpin oleh Faletehan, ulama asal Samodra Samudera Pasai dan
menantu Sultan Fatah. Pada tahun itu Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono,
Sultan Demak III putera Sultan Fatah (adik Suryapati Unus). Apabila dihubungkan
dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah Ki Made Pandan dan Ki
Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang I) memang ada kedekatan masa.
Dalam
buku Sejarah Hari Jadi Kota Semarang dijelaskan bahwa dua catatan diatas
ternyata alurnya sama. Hanya saja catatan Rachmad Djatmiko yang dihubungkan
dengan serat Centini itu dengan jelas bahwa Sunan Katong yang makamnya di
Kaliwungu itu memang berasal dari Ponorogo tetapi bukan Bhatara Katong putera
Brawijaya, melainkan Bhatara Katong putera Adipati Unus, cucu Adipati Bhatara Katong
di Ponorogo, yang berarti juga masih cicit Prabu Brawijaya V.
Lanjutan
dari cerita perjalanan Sunan Katong disebutkan lagi, ketika dua keturunan
Adipati Unus bertemu di Jurungsuru atau pulau Tirang atau Bergota berkat peran
Ajar Naya Gati dan keduanya saling bertukar pikiran soal agama Islam, dengan
sebutan lain Sunan Katong berguru pada Ki Ageng Pandang Aran. Setelah itu,
kemudian Sunan Katong diberi tugas penyiaran Agama Islam ke arah barat dengan ditunjukkan
dan diberi isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon ungu yang
condong ke sungai, dan ditempat itulah Sunan Katong diperintahkan membuka
perguruan sebagai pusat penyebaran Agama Islam.
Sebelum
meninggalkan padepokan Ki Pandan Arang, Sunan Katong memenuhi keinginannya
yaitu menikahkan puteri sulungnya yang sudah perawan. Puteri sulung itu
dinikahkan dengan putera gurunya sendiri, yang namanya nunggak semi dengan
orang tuanya, yaitu Ki Ageng Pandan Arang II atau Pangeran Kasepuhan.
Dikemudian hari, nama puteri Sunan Katong itu dikenal dengan nama Nyai Ageng Kaliwungu,
dan dialah yang mendampingi suaminya, Ki Ageng Pandan Arang, ketika awal-awal
menjadi Adipati semarang menggantikan ayahnya, maupun dalam perjalanannya
menuju Gunung Jabalkat atau Gunung Tembayat, karena atas saran dan nasihat
Sunan Kalijaga.
Selanjutnya
Ki Ageng Pandan Arang II lebih dikenal dengan panggilan Sunan Tembayat atau
Sunan Jabalkat. Sedangkan puteri Sunan Katong yang satunya, seperti diterangkan
oleh Suwignya dalam bukunya Kyai Pandanarang, gadis itu dinikahkan dengan murid
Sunan Katong sendiri, bernama Ki Ageng Prawito atau Prawoto asal Begelen. Dalam
buku tersebut kemudian: dijelaskan lagi, bahwa Ki Prawito inilah yang menjadi
tuan tanah di daerah Kaliwungu. Bisa jadi nama Proto itu berasal dari kata
Prawito atau Prawoto.
Perjalanan
Sunan Katong ke arah barat sebagaimana pesan gurunya untuk mencari tempat yang
tumbuh sebuah pohon ungu yang condong ke sungai. Mungkin sudah merupakan
kehendak takdir. Ketika Sunan Katong istirahat pada suatu tempat/di pinggir
sungai, ia tertidur, dan setelah bangun dilihatnya ada sebuah pohon sebagaimana
yang dimaksud oleh gurunya. Disitulah Sunan Katong mengucapkan dua kata “Kali
Ungu”. Sedangkan sungainya disebut oleh banyak orang dengan nama “Kali Sarean”.
Dan tempat itulah yang dikemudian hari terkenal dengan nama Kaliwungu.
Oleh
Ki Ageng Pandan Arang juga dipesankan pada Sunan Katong bahwa untuk lebih
mendalami ilmu-ilmu agama serta mengamalkannya. Untuk mencapai tingkat
kehidupan sufi, Sunan Katong dinasihati harus bisa mencari telapake kuntul
melayang atau telapak burung Kuntul terbang berada di daerah yang terdapat
“pohon yang condong ke sungai”. Mencari telapak kuntul melayang pada hakekatnya
tidak berbeda dengan perintah untuk mencari susuhing angin atau mencari sarang
angin dalam lakon wayang Dewa Ruci atau Bima Suci. Namun kalau diperhatikan di
mana tempat Sunan Katong mengamalkan ilmunya, ternyata menempati daerah yang
agak tinggi, yaitu di perbukitan Penjor yang bentuknya seperti burung kuntul melayang,
yaitu di perbukitan Protomulyo sekarang ini, dan sebagian arealnya dijadikan
pemakaman raja-raja Mataram, baik dari tanah Yogyakarta maupun Surakarta.
Daerah
perbukitan Penjor yang juga dinamakan bukit kuntul melayang itu, kalau
dipandangi secara cermat memang seperti bentuk seekor burung yang sedang
terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh, dan mungkin itu sudah
kehendak Tuhan. Dikemudian hari perbukitan itu disebut dengan Astana Kuntul
Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu menjadi istana terakhir
para leluhur Kaliwungu atau tempat peristirahatan terakhir para leluhur Mataram
keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi saksi bahwa bumi
Kaliwungu itu ditempati oleh orang-orang besar kerajaan.
Maka
diperlukan kecermatan dalam melihat pegunungan kuntul melayang itu. Pada ujung
atas (kepala) ditempati oleh makam Pangeran Djoeminah, Raden Tumenggung Ronggo
Hadimenggolo, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya. Bagian tengah (dada)
ditempati oleh Sunan Katong, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya: Sayap sebelah
kanan ditempati oleh Kiai Musyafak dan Kiai Musthofa, Kiai Rukyat dan ada
disitu Bupati Kendal ke 36, Drs. H. Djoemadi. Sayap bagian kiri ada Tumenggung
Mendurorejo dan Kiai Asy'ari. Sedangkan bagian belakang (ekor) ditempati oleh
Pakuwojo, yang disebut dengan gunung Sentir.
Catatan-catatan
di atas sejalan dengan pakem yang ditulis oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo
yang menyatakan bahwa dalam kehidupan pribadi, Ki Pandan Arang telah kawin
dengan puteri Bhatara Katong, dan juga dengan putri Endang Sejanila. Sayang
istri kedua Ki Pandan Arang ini baik oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo maupun
Amen Budiman serta Mas'ud Thoyib tidak diterangkan bahwa ia puteri keturunan
siapa. Hanya disebut bahwa Endang Sejanila juga Endang Semawis. "Pangeran
Pandanarang Ikromo oleh putrane kiai Katong ing goenoeng Penjor (Kaliwoengoe)
Ian. kromo malih oleh Endang Sedjonila, iyo Endang Semawis, " begitu pakem
yang tulis oleh Tjokro Hadikromo.
Dari
beberapa penemuan para pencatat sejarah akhirnya bisa dimengerti bahwa Sunan
Katong adalah seorang Wali yang masih ada hubungan nasab dengan Prabu Brawijaya
V. Para penulis sejarah tidak ada yang beda pendapat, dan mereka sepakat bahwa
Sunan Kathong yang makamnya di pemakaman Protomulyo itu memang berasal dari Ponorogo.
Kira-kira
lengkap silsilahnya adalah sebagai berikut: Prabu Kertabhumi atau Prabu
Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan Bhatara Katong berputera seorang
puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau Suryapati Unus
putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kiai Katong, dan kemudian
terkenal dengan nama Sunan Katong.
Oleh Saifurroyya
Dari Berbagai Sumber