Pada usia belasan dulu kami sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala. Pada Nisfu Sya’ban, dari dulu masyarakat kami juga mengajukan tiga permintaan kepada Allah. Bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan keimanan pada takdir?
Dari semua itu kemudian kami sering mendengar bahwa doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfudz.
Terkait ini, kami selanjutnya mendengar istilah takdir mubram dan takdir mu’allaq di kalangan ustadz-ustadz kami di mana doa dapat “mengubah” putusan atau takdir Allah.
Doa atau permintaan masyarakat dalam Nisfu Sya’ban atau melalui bentuk sedekah dipercaya masyarakat dapat “mengubah” bala yang ditakdirkan Allah swt. akan menimpa mereka, terutama takdir mu’allaq yang realisasinya sangat berkaitan erat dengan doa.
والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala (musibah) pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari kiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha mu’allaq. Perihal yang kedua (qadha mu’allaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, hal. 91).
Situasi takdir mu’allaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat meminimalisir dampak bala (musibah) yang timbul karena takdir mubram.
وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه
“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala (musibah), tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya,” (Lihat Syekh Muhammad Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, hal. 91).
Meskipun takdir terbagi dua, mu’allaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak mengetahui mana takdir mu’allaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, paham Ahlusunnah wal Jama’ah memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada umumnya paham Ahlusunnah wal Jama’ah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan menyerah begitu saja pada putusan takdir.
Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam Nisfu Sya’ban sebagai bentuk ikhtiar dalam menolak bala (musibah) dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.
وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع الأشياء مبرمة لأنه إن علم الله حصول المعلق عليه حصل المعلق ولا بد وإن علم الله عدم حصوله لم يحصل ولا بد لكن لا يترك الشخص الدعاء اتكالا على ذلك كما يترك الأكل اتكالا على إبرام الله الأمر فى الشبع
“Pembagian qadha menjadi mubram dan mu’allaq itu tampak pada Lauh Mahfudz. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan mu’allaq, maka hasillah mu’allaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan mu’allaq, maka tiadalah mu’allaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang,” (Lihat Syekh Muhammad Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, hal. 92).
Sementara paham Mu’tazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata ‘doa’ dalam Al-Qur’an itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian, “Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”
وأما عند المعتزلة فالدعاء لا ينفع ولا يكفرون بذلك لأنهم لم يكذبوا القرآن كقوله تعالى ادعوني أستجب لكم بل أولوا الدعاء بالعبادة والإجابة بالثواب
“Bagi kalangan Mu’tazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-Qur’an perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala,” (Lihat Syekh Muhammad Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, hal. 92).
Meskipun demikian, kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah tidak menempatkan paham Mu’tazilah ke dalam paham kufur karena mereka masih meyakini Al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Semua pengertian yang diangkat oleh pendukung kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah ini dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di tengah peran atau ikhtiar manusiawi.
Semua ini dijelaskan oleh pendukung kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah al-Asy’ariyyah agar masyarakat sunni tidak bersikap su'ul adab (buruk akhlak) dan su'uzzhan (buruk sangka) kepada Allah.
Wallahu A‘lam
Sumber: Situs PBNU