Dalam kitab Adab al-Suluk wa at-Tawashshul Ila Manazil al-Muluk, Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahullah mewasiatkan: “Janganlah engkau buang rasa cinta yang merupakan hak saudaramu sebagai andalan dalam hubunganmu dengan saudaramu. Hendaklah engkau bersahabat dengan orang-orang fakir melalui sikap tawadhu’, akhlak yang baik, serta dermawan. Matikan hawa nafsumu, sehingga ia hidup kembali. Makhluk yang paling dekat kepada Allah swt. ialah yang paling luas akhlaknya. Dan sebaik-baik amal perbuatan ialah menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain Allah swt.”
Ihwal ayat-ayat (apalagi hadits) tentang penekanan pentingnya membangun akhlak karimah pada diri amatlah luas. Dari ayat-ayat yang bertutur perihal sosok luhur Rasul saw. sebagai suri teladan akhlak terbaik buat kita hingga perintah-perintah langsung untuk kita –seperti ayat “Pelankanlah jalanmu dan pelankanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara himar.” Anda bisa mencari sendiri khazanah ayat lain perihal akhak karimah ini.
Penegasan yang bisa didedahkan di sini ialah bahwa kedalaman iman kita, kokohnya takwa kita, niscaya sejalan seiring selalu dengan keluhungan akhlak. Jika semua itu baik, insya Allah baik pulalah kita di hadapanNya –sebagaimana dituturkan beliau qaddasahuLlah di atas. Begitupun sebaliknya.
Kalau kita sedang rajin-rajinnya beribadah, namun sikap sosial kita negatif alias dekat dengan akhlak sayyiah, misal memandang orang-orang lain di bawah kita keluhuran iman dan takwanya, telitilah jangan-jangan kita beribadah bukan murni menyembah Allah Swt, tapi hanya menyembah hawa nafsu kita.
Apakah kamu tidak menyaksikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?
Inilah yang nampaknya dimaksudkan beliau dengan tuturan “Matikan hawa nafsumu, sehingga ia hidup kembali.”
Agar kita tak terjatuh pada “menuhankan hawa nafsu” dengan menganggapnya sebagai “Tuhan”, matikan hawa nafsumu, yakni pandangan dan ketergantungan diri kepada selain Allah swt.
Lalu ketika hawa nasfu kita telah “termatikan”, ia kemudian hidup lagi dalam keadaan telah “terahmati” –dalam istilah Al-Qur’an surah Yusuf ayat 53.
Hawa nafsu adalah bagian inheren diri kita. Ia takkan pernah bisa dienyahkan. Ungkapan sejenis “buanglah hawa nafsu kita” ataupun “kita mesti menguasai hawa nafsu kita”, kiranya kurang tepat sama sekali.
Sebab karena inherenitas hawa nafsu inilah, kita disebut manusia yang mahallul khata’ wan nisyan. Sebagai manusia yang berhawa nafsu, walau mahallul khata’ wan nisyan, kita menjadi terbedakan dengan malaikat yang tak memiliki hawa nafsu. Bagaimana mungkin kita menjadi makhluk malaikat?
Hanya memang hawa nafsu manusia yang telah “dimatikan” lalu dihidupkanNya kembali, atau telah “terahmati” atau “terberkati”, inilah yang lalu menjadi pembeda nyata dengan manusia yang membiarkan hawa nafsunya terus berkobar-kobar.
Surah Shad ayat 81-82 bisa kita jadikan contoh penjelas: “Iblis berkata, dengan keagungan-Mu aku akan menyesatkan semua manusia kecuali (yang tak bisa kusesatkan) hamba-Mu yang mukhlis….”
Kemukhlisan inilah yang dimaksud manusia yang hawa nafsunya telah dirahmati; melalui mekanisme tawajjuh intensif kepada Allah swt. hingga akhirnya mencapai derajat fana.
Di antara ciri mukhlis ialah memancarnya semata akhlak karimah darinya kepada siapa pun, yang sekelompok maupun berbeda kelompok. Ia menjalani semua realitas dengan sepenuh tawakal dan ikhlas atas kehendak Allah swt., sehingga ahwalnya tiada lain adalah welas asih dan tenang tawadhu’ belaka.
Ini terbaca dengan jelas dalam narasi beliau berikut: “Makhluk yang paling dekat kepada Allah swt. ialah yang paling luas akhlaknya. Dan sebaik-baik amal perbuatan ialah menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain Allah swt.”
Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani melanjutkan: “Hendaklah engkau saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran….”
Nasihat terakhirnya adalah, “Ketergantunganmu kepada orang lain yang di bawahmu adalah kelemahan, ketergantunganmu kepada orang di atasmu adalah kesombongan, dan ketergantunganmu kepada orang yang setara adalah akhlak yang buruk.”
Begitulah beliau mengajarkan kepada kita ihwal merebakkan akhlak karimah kepada siapa pun, tak peduli orang yang derajat ekonomi dan sosialnya jauh di atas kita ataupun di bawah kita atau sejajar. Kepada semuanya, kita seyogyanya berperilaku semata keadaban dan kemuliaan.
Pancaran sikap karimah ini bersumber dari tawajjuhnya diri semata kepada-Nya.
Di mata Allah swt., semua manusia sama belaka. Kemuliaan manusia di hadapan-Nya ialah semata kualitas takwanya. Begitu misal pemahaman yang kita genggam.
Maka secara sosial tiada alasan bagi kita untuk pilih-pilih orang dalam memberikan penghormatan, kesantunan, dan keadaban. Termasuk kepada mereka yang secara lahiriah pun ingkar kepada Allah swt. yang kita sembah dan cintai, tetaplah kita seyogyanya berakhlak karimah.
Ali bin Abi Thalib mewasiatkan: “Kita semua adalah saudara dalam iman; jikapun kita tak saudara dalam iman, kita semua saudara dalam kemanusiaan….”
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com