Dalam tataran praktis prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah terdapat kelompok Ahli Tasawuf yang memiliki tugas pokok untuk membimbing umat dalam masalah tata cara membersihkan hati dari sifat-sifat yang tidak terpuji seperti sifat sombong, dengki, iri, hasud, bergosip dan sebagainya. Serta membimbing umat untuk ikhlas dalam hal apapun yang berhubungan dengan dunia, membimbing umat supaya bertawakal (menyerahkan diri) kepada Allah SWT, qona’ah (menerima rezeki seadanya), dan hal lainnya yang berhubungan dengan akhirat.
Imam Abu Qasim Al-Junaidi dan Imam Al-Ghazali merupakan dua pakar tasawuf yang ajarannya dijadikan acuan oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Al-Junaidi pernah mendirikan sebuah tarekat yang bernama Al-Junaidiyah, namun tarekat tersebut kurang populer di kalangan masyarakat, sedangkan Imam-Ghazali tidak pernah mendirikan sebuah tarekat apapun. Beberapa tarekat yang sejak dulu berkembang di Indonesia memiliki konsep dasar sufisme yang berinduk kepada konsep kedua sufi tersebut.
Secara umum tarekat merupakan media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal ini, setiap penganut tarekat memiliki faham yang berbeda dalam amalan maupun ciri khasnya masing-masing.
Disisi lain, kecenderungan tarekat terhadap umat Islam di Indonesia sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kultur budaya yang ada. Tarekat yang paling banyak diikuti adalah tarekat Qadiriyah Wan Naqsyabandiyah yakni Tarekatnya Syaikh Abdul Qadir Jailani al-Baghdadi dan Syaikh Baha’uddin an-Naqsyabandi.
Menurut sejarah, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah menentang tasawuf terutama dalam masalah tarekat yang pada akhirnya melahirkan pertikaian dan permusuhan antara ulama sunni yang berpegang teguh pada syari’at dan ulama sufi yang sibuk dengan tarekat dan kesadaran batin semata hingga meninggalkan syari’at. Pertentangan antara ad-dzawahir dan al-bawathin memicu lahirnya sebuah gerakan pembaharuan di pertengahan abad ke-3 yang dipelopori oleh Khawarij dan Al-Junaidi.
Tujuan dari gerakan pembaharuan adalah untuk mengintegrasikan kesadaran batin dengan kesadaran syari’at kenabian. Sebagai seorang imam sufi pada zamannya Imam Junaid tidak meminggirkan sisi syari’at dan fiqh dalam kesehariannya yang artinya Imam Junaid cukup proporsional dalam menempatkan aspek fiqh (lahiriah) maupun aspek tasawuf (batiniyah) sehingga keduanya menemukan titik temu dan mampu berjalan beriringan secara harmonis. Gerakan pembaharuan ini berkembang pesat dan banyak diterima oleh kalangan masyarakat, puncaknya terjadi pada karya besar al-Ghazali yang terkenal yaitu “Ihya Ulumuddin”.
Desain konstruksi Al-Ghazali berhasil meluruskan tasawuf tetap berada dalam kendali sunnah serta membangun tasawuf yang sejati yang dapat diterima dan mudah dipahami oleh semua kalangan, yaitu tasawuf yang yang dibangun di atas landasan syari’at yang kuat dan kokoh.
Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa Imam Al-Junaidi dan Imam Al-Ghazali merupakan dua tokoh sufi yang menjadi panutan dalam faham Ahlussunnah wal jama’ah yang memiliki faham moderat.
Sumber: tebuireng.online
ADS HERE !!!