Pertanyaan
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Banyak pasangan muda menanggung biaya cicilan (angsuran) rumahnya. Sementara daftar haji sebaiknya dilakukan sedini mungkin karena berkaitan dengan daftar tunggu haji yang cukup panjang. Apakah mereka sebaiknya menunggu cicilan rumah selesai untuk mendaftarkan haji atau menunggu mendaftarkan haji sambil melunasi cicilan rumah? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Ibadah haji menuntut pengorbanan fisik, mental, dan keuangan. Ibadah haji merupakan ibadah mulia yang menuntut kemampuan dari calon jamaah haji. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kemampuan tanpa melaksanakannya menanggung aib menurut syar’i.
Rasulullah dalam sebuah hadits mempersilakan umatnya yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji tetapi tidak melaksanakannya untuk mati sebagai non-Muslim.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ ، فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا، أَوْ نَصْرَانِيًّا، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ : (وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا (
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah dan ia tidak juga berhaji, maka ia boleh pilih mati sebagai Yahudi atau Nasrani. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Kewajiban manusia dari Allah adalah mengunjungi Ka’bah bagi mereka yang mampu menempuh perjalanan’.” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi).
Lalu bagaimana dengan pasangan muda yang juga memiliki beban cicilan rumah. Apakah mereka juga terkena beban kewajiban haji?
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa bekal perjalanan yang diasumsikan sebagai kemampuan haji bukanlah biaya yang dialokasikan untuk kebutuhan rumah. Dengan demikian, orang yang memiliki biaya terbatas hanya untuk cicilan rumah dianggap belum memiliki bekal haji.
ويشترط في الزاد ما يكفيه لذهابه ورجوعه...وفاضلا عن مسكن وخادم يحتاج إليهما
“Dalam urusan bekal, disyaratkan biaya yang dapat mencukupi kebutuhan pergi dan pulangnya lebih di luar…kebutuhan untuk membayar dan asisten rumah tangga yang diperlukan,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, halaman 47).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli mengatakan bahwa bekal haji adalah biaya di luar kebutuhan papan, asisten rumah tangga, dan kebutuhan mendasar lain untuk dirinya dan keluarganya. Bekal haji adalah juga biaya di luar kebutuhan biaya membayar utang karena pelunasan utang bagian dari kebutuhan dasar dan berkaitan dengan hak anak Adam. Ini lebih kuat. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, cetakan kedua, juz III, halaman 34).
Syekh Ibnu Hajar mengatakan bahwa kebutuhan rumah tidak selalu harus dipenuhi dengan membeli sendiri. Pemenuhan kebutuhan rumah dapat berasal dari wakaf atau wasiat yang ditujukan kepadanya sehingga seseorang yang memiliki wajib mengalokasikan asetnya untuk biaya haji, bukan rumah. (Lihat Syekh Ibnu Hajar, Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, halaman 47).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli menambahkan, orang yang memiliki aset mati berupa lahan untuk tempat tinggal atau aset hidup untuk diambil keuntungannya demi menafkahi dirinya dan keluarganya, tidak terkena beban kewajiban haji. Tetapi ketika keuntungannya melebihi kebutuhan nafkahnya dan nafkah keluarganya, seseorang berkewajiban haji.
ومن له عقار يحتاج إليه لسكناه، أو سكنى عياله، أو يحتاج إلى أجرته، لنفقة نفسه أو عياله، أو بضاعة متى نقصها اختل ربحها، لم يكفهم، أو سائمة يحتاجون إليها، لم يلزمه الحج، فإن كان له من ذلك شيء فاضل عن حاجته، لزمه بيعه في الحج
“Siapa saja yang memiliki aset tak bergerak yang diperlukan untuk kediamannya, kediaman keluarganya, atau diperlukan untuk penyewaan demi nafkah dirinya atau nafkah keluarganya; atau memiliki produk jualan yang jika dikurangi maka keuntungannya juga berkurang dan tidak mencukupi; atau memiliki ternak yang mereka perlukan, maka ia tidak wajib haji. Kalau ia memiliki asset lain di luar kebutuhannya, maka aset itu harus dijual untuk pembiayaan haji,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, cetakan kedua, juz III, halaman 34).
Dari pelbagai keterangan ini, kami menyarankan pasangan muda untuk berusaha menyisihkan uangnya untuk alokasi dana setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) di tengah memenuhi beban cicilan (angsuran) rumahnya. Tetapi jika upaya itu cukup membebani, maka mereka harus memprioritaskan dananya untuk biaya cicilan rumah.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahu A’lam
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Sumber: Situs PBNU