Di luar empat skema ilmu yang telah dituturkan di edisi sebelum ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga mengajarkan ihwal peta “ilmu dzahir dan ilmu batin”.
Beliau menasihatkan:
“Jika sang hamba menaati Allah swt. dengan sepenuh hati dan perasaan, niscaya Allah swt. akan mengaruniakan makrifat kepadanya. Bahagialah ia memandang rahasia-rahasia Tuhan di balik Alam Malaikat. Namun, bila kemudian ia berbalik hati, ingkar kepada syarat-syaratnya, karunia itu akan dicabut-Nya kembali. Hatinya yang penuh cahaya makrifat akan kembali suram, gelap gulita seperti semula. Karena itulah, orang yang hatinya telah dipenuhi cahaya makrifat sangat khawatir bila cahaya itu akan dicabut seperti keadaannya yang dulu karena suatu kesalahan yang dibuatnya. Iblis selalu menanti peluang untuk masuk ke dalam diri manusia. Apabila manusia lalai, mereka akan membelitnya dengan belalainya dan dijerumuskannya manusia ke lembah kehinaan sehingga semua amalan yang telah diperolehnya dengan susah payah akan menjadi abu dan sia-sia….”
Beliau lalu menukil surah Shad ayat 82-83:
“Iblis berkata, ‘Maka demi kekuasaan-Mu, aku bersungguh-sungguh akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (yaitu orang yang ikhlas) di antara mereka.”
Apa yang dimaksudkan ilmu dzahir tiada lain adalah ilmu kognisi yang bisa bersumber dari ta’lim atau pendidikan formal hingga non-formal. Aktivitas membaca kitab, buku, hingga link juga bagian dari ranah ini.
Dalam kebiasaan umum kita hari ini, ketika kita ingin tahu apa itu maqashid al-syariat dan ‘illat al-hukm, misal, kita bisa dengan mudah membacanya di link-link hingga buku-buku dan lebih jauh khazanah kitab salaf dan kontemporer. Ini bergumul di ranah pikiran, pemikiran, paradigma, kognisi, dan tentu ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas wawasan kita.
Tapi, jangan berhenti di ranah ini belaka. Seluas dan sedalam apa pun wawasan ilmu logika dan kognisi kita, ia berada di maqam paling permukaan dan karenanya denyarannya dangkal belaka. Kita butuh beranjak lebih jauh dan dalam lagi, hingga wawasan-wawasan yang telah kita kulak secara nalar itu kemudian menyublimasi, menginternalisasi, ke relung hati kita.
Inilah maqam ilmu bathin itu.
Pemikiran-pemikiran apa pun, mau sekritis, seradikal, seanarkis, dan bahkan serevisionis apa pun, mestilah “disaring” terlebih dahulu agar tak seluruh lintasan keduniwiannya menodai hati kita dan nilai-nilainya tak lalu kita jadikan kebenaran rohani semua. Sebab pastilah ada “jeda” antara pikiran dan hati.
Jelasnya, pikiran dan hati adalah dua dimensi yang berbeda. Boleh jadi seseorang matang pikirannya, namun dikarenakan hatinya penuh noda keserakahan dan gila hormat, nilai-nilai baik ilmu yang dicerap pikirannya dari bangku-bangku perkuliahan kemudian berubahdi tangannya menjadi “manipulasi kebenaran” semata untuk menyuapi dahaga hawa nafsunya.
Maka kita diajarkan untuk gemar berdoa: “Allahumma inni as-aluka ‘ilman nafi’an wa ‘amalan mutqaballan, ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan amal yang diterima (sesuai ajaran-Mu).”
Begini misalnya.
Boleh jadi ilmu filsafat Hermeneutika, misal, yang kita suntuki bertahun-tahun dari khazanah tradisi Timur dan Barat, dari tokoh semacam Martin Heidegger hingga Sayyid Qutub, pada dasarnya menyajikan nilai-nilai metode ilmu tafsir (ta’wil, verstehen) yang bermanfaat memperkaya paradigma Ushul Fiqh kita, namun karena “tidak disaring” dengan rohani yang jernih, apalagi diterkema hasrat duniawi untuk mencari-cari pembenaran syahwatnya berdasar takwil suatu dalil, jadilah ilmu tafsir ilmiah itu tidak bermanfaat bagi kebaikannya dan malah melahirkan murka Allah swt. kepadanya.
Coba bayangkan!
Ushul Fiqh mengenal metode qiyash sebagai salah satu cara penggalian hukum Islam dari dalil-dalilnya yang tidak qath’iy. Ilmu hermeneutika juga mengenal istilah “what is said” (dalam istilah Paul Ricoeur) dalam memahami suatu teks. Klop sekali.
Bila seorang muslim lalu menakwil dalil-dalil pernikahan dengan berdasar hawa nafsunya, lalu menjadikan metode tersebut landasan nalarnya, kemudian tersimpulkan bahwa pacaran sama halalnya dengan pernikahan, maka rusaklah syariat di satu sisi dan sekaligus marwah kemanusiaan di sisi lain. Boleh jadi nalar argumentatifnya sangat meyakinkan, namun lagi-lagi Allah swt. Maha Tembus ke dalam bilik hati terdalam kita. Jadilah itu amal ilmu tafsir yang memicu kemurkaan Allah swt.
Karenanya, ilmu bathin menjadi saringan yang hakiki. Tentu, batin yang dimaksud adalah batin yang cemerlang rohaninya, yang takut kepada Allah swt. dan sekaligus cinta kepada-Nya, sebagai manifestasi Jalaliyah dan Jamaliyah-Nya.
Relevan sekali tuturan awal Syekh Abdul Qadir al-Jailani di atas: “Jika sang hamba menaati Allah swt. dengan sepenuh hati dan perasaan, niscaya Allah swt. akan mengaruniakan makrifat kepadanya….”
Jika sang ‘alim, sang pengkaji ilmu, melandaskan selaman ilmu-ilamu lahiriahnya dengan tanggung jawab moral tinggi, melengkapinya dengan hati yang mendalam dan perasaan yang tulus takwa kepada Allah swt., niscaya buah ilmu itu akan menghantarnya menjadi migunani kepada kemaslahatan manusia dan sekaligus maqbul di hadapan-Nya, serta hadiah istimewanya adalah kemakrifatan itu.
Dalam dalam proses penyaringan ilmu pikiran-kognisi itu, dalam proses sublimasi dan internalisasi nilai-nilai ilmu ke dalam hati itu, kita sungguh membutuhkan kejernihan rohani. Atau, dapat pula kita istilahkan “hatinya hati”, yang oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani disebut “anak Ruh”.
Apa yang dimaksud “anak Ruh” adalah Cahaya Allah swt. yang menyinari rohani kita. Ini bukan hanya akan menjadikan ilmu kita selaras dengan syariat-Nya beserta amalan-amalan yang telah dituntunkan oleh Rasul-Nya, melainkan juga seiring waktu insya Allah akan menyingkapkan hijab-hijab di hati kita sehingga kemudian yang kita saksikan semata adalah Keagungan Allah swt.
Maka marilah kita terus berjuang dan bergigih secara lahiriah dalam mencari ilmu, misal melalui pengajian untuk mengisi pikiran dengan nilai-nilai luhung ilmu, namun sekaligus melakukan penyelaman dan permenungan terhadap rangkaian ilmu-ilmu yang kita dulang itu melalui mujahadah, tafakkur dan tadabbur, agar kemudian membuahkan pemahaman-pemahaman yang selaras dengan syariat Allah swt. dan Rasul-Nya (tafaqquh fi al-din), dan kita terapkan dalam amaliah-amaliah (riyadhah) yang berbingkai khauf dan raja’ kepada semata Allah swt.
Insya Allah, degan keistiqamahan yang lillahi Ta’ala begini, dengan ijin-Nya, makin hari kita akan kekar ilmu kognitifnya dan sekaligus kokoh lmu batiniahnya. Melalui jalan tersebut, insya Allah bisa semakin dekat kepada-Nya.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com