Sangat terlihat terang dalam kitab-kitabnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani berulang-ulang memberikan penekanan bagi kewajiban untuk menegakkan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya dengan sepenuh hati, jiwa, dan amal. Dalam ungkapan umum kita kini ialah kepatuhan syariat (kesalehan ritual).
Di dalam kitabnya, Sirrul Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrarmaupun Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir, sebagai ejawantah dari ajaran menegakkan syariat sesuai Al-Qur’an dan sunnah Rasul saw. yang haq, beliau menekankan pentingnya mendalami ilmu. Kendati beliau tak menyinggung secara langsung ihwal ilmu-ilmu umum yang hari ini bertebaran di dalam khazanah pendidikan kita, semua kita memahami bahwa semua jenis ilmu (dari ilmu khusus agama macam Ushul Fiqh hingga ilmu umum macam Sosiologi) sama berharganya untuk kita kaji dan dalami. Yang penting kemudian adalah semua jenis ilmu yang kita pelajari itu bisa menjadi manhaj (metode) dan washilah (media) bagi penjernihan rohani kita sebagai hamba-Nya.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan bekal perjalanan esoterisnya yang luar biasa mengajarkan peta dan pemahaman ilmu yang “tak lazim” dalam mata umum kita kini.
Beliau mengelompokkannya dalam empat kelompok ilmu:
Pertama, ilmu yang menjadikan kita mengetahui cara untuk menjalankan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, ilmu yang berguna untuk mengetahui tujuan dari perbuatan baik dan buruk, dan inilah yang disebutnya Syariat.
Ketiga, ilmu hakikat, yakni ilmu yang berguna untuk mengenali diri beserta seluruh lingkupannya.
Keempat, ilmu makrifat, yakni ilmu tentang Dzat Allah swt. beserta seluruh keterkaitannnya yang meliputi hidup kita, di dunia dan akhirat.
Mari kita cermati kembali dengan seksama peta tersebut.
Jika selama ini kita “cukup” mengenal jenjang ilmu sebagai ilmu syariat dan hakikat, beliau membelah dengan lebih detail. Nantinya akan terlihat terang arah yang menjadi tujuan pokok dari detail-detail ilmu tersebut.
Pada derajat awal, pertama, sebagai hamba Allah swt., wujud konkret dari pernyataan iman kita kepada-Nya dan Rasul-Nya, ialah menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Bila selama ini kita menyebutnya ilmu syariat, beliau tidak menyatakannya begitu.
Derajat ilmu ini dapat kita andaikan sebagai “lahiriah-amaliah”. Bahwa kita wajib untuk patuh kepada-Nya dengan cara mematuhi perintah-Nya dan menjauhi laranganNya, itu mutlak begitu saja. Kita paham dengan mudah paparan ini.
Shalat lima waktu adalah perintah-Nya, ya kita laksanakan. Puasa Ramadhan adalah perintah-Nya, ya kita jalankan. Bersedekah adalah ajaran Rasul-Nya, ya kita lakukan. Berbakti kepada orang tua adalah teladan Rasul-Nya, ya kita ittiba’ (ikuti). Menahan marah adalah tuntunan Rasul-Nya, ya kita amalkan. Begitupun dengan segala jenis larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya, ya kita tinggalkan. Sesederhana itu.
Untuk menjalankannya dengan baik, tentu kita butuh ilmu. Maka kita lalu mengaji, berguru, bersekolah, berkuliah, membaca, dan sebagainya.
Namun, Syekh Abdul Qadir al-Jailani tak menyebutnya syariat. Artinya, maqam tersebut belumlah tergolong derajat syariat yang dimaksudkannya.
Beliau baru menyebut syariat kepada “tujuan” yang menjadi arah dari laku amaliah lahiriah di atas. Bisa saja kita memahaminya sebagai “maqashid al-syariat” (tujuan sebuah hukum syariat), yang secara nyata mesti berdiri di atas kaki ‘illat al-hukm (sebab-musabab terbentuknya sebuah hukum atau konteks tertentu yang melatarinya) sehingga bentuk-bentuk praktis sebuah dalil hukum bisa beraneka rupa sesuai konteks ‘illat masing-masing. Dan, tentu pula, kita bisa memahaminya dengan jernih sebagai arah taqarrub ilalLah (mendekatkan diri kepada Allah), menuju Wajah (kehadirat) ‘Azza wa Jalla.
Sekadar tambahan untuk tujuan detail, inilah kiranya yang dimaksudkan oleh Imam at-Thusi atau Nashiruddin at-Thusi, yang nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan at-Thusi (1201-1274 M), yang karib dengan menantu Syekh Ibnu ‘Arabi, Sadruddin al-Qunawi, dalam kajian Ushul Fiqh dan Fiqh diistilahkan “syariat dzahiran wa bathinan”. Bahwa ilmu syariat tak hanya perihal gerakan-bacaan lahiriah suatu amaliah hukum, seperti tata cara shalat Dhuha beserta doa-doa khususnya, melainkan juga meliputi dimensi batinnya, rohaninya, esoterisnya –kerap pula disebut mistisisme.
Syariat tanpa pernyelaman rohaninya rawan menjadi dangkal dan hambar belaka. Sebagaimana syariat tanpa amaliah pun menjadi kemungkaran belaka. Keduanya mesti berjalan seiring dengan sama kaffahnya.
Dan dimensi batiniahnya inilah yang diletakkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani di jenjang kedua itu, yakni ilmu tujuan syariat –tentu hakikatnya tak lain ialah menuju Allah swt.
Jika dua jenjang ini telah kita lakoni, terdapat jenjang berikutnya yang jauh lebih berat, yakni “ilmu hakikat untuk mengenal diri”.
Ini pun cukup berbeda dengan perspektif kita selama ini saat menyebut “hakikat”. Kita sering mendengar atau mengatakan skema “syariat, tarekat, dan hakikat” sebagai ajaran sufisme. Di hadapan paparan Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini, skema tersebut masih kurang satu lagi, yakni makrifat.
Apa yang dimaksud sebagai “ilmu hakikat” oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani ialah ilmu olah-diri. Ada elemen akal, pikiran, rasa, perasaan, dan sifat yang bergumul di dalam diri kita dengan sangat pepat dan samar sehingga umumnya kita kesulitan untuk membedakan satu sama lainnya dengan terang dan jernih. Insya Allah, lain kali akan saya diskusikan.
Ilmu hakikat yang dimaksudkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani ialah ilmu dalam pengertian diri sebagai “ruhulLah, ruh Allah swt”. Kerap pula diistilahkan “diri adalah cermin Allah swt” atau “diri adalah pantulan Allah swt” atau “diri adalah partikularitas dari Universalitas Allah swt”.
Ketika ruh pertama kali ditiupkan di alam rahim, terjadi dialog antara Allah swt. dengan ruh kita: “Alastu birabbikum, bala syahidna, bukankah Aku ini adalah Tuhanmu, iya kami menjadi saksinya….”
Dialog hakikat dalam kekudusan ini adalah satu contoh dari derajat quds diri kita. Maka sering dikatakan bahwa secara hakikat ruh kita adalah pancaran Ruh Allah swt, cahaya rohani kita secara hakikat adalah pancaran Cahaya Allah swt, sehingga Allah swt disebutkan lebih dekat dari bahkan urat leher kita sendiri –untuk menggambarkan situasi manunggaling hakikat tersebut.
Lalu, seiring dengan sepak terjang kita di dunia, menjadi kian sulit dan samarlah rohani kita untuk terjaga-sinambungnya selalu kepada-Nya, apalagi mengenal-Nya. Jika bersambung saja tidak, bagaimana sampai kenal? Bila kenal saja tidak, bagaimana bisa taqarrubatau qurbah?
Sulit dibayangkan!
Dan, kenyataannya, ketidakkenalan ini bahkan bisa terjadi di tengah lelaku amaliah syariat kita yang berjalan istiqamah. Maka kita saksikan ada orang yang istiqamah shalat jamaah, tetapi bisa melakukan korupsi, misal. Ada orang yang berkal-kali pergi ke tanah suci untuk umrah, tetapi tetap menempuh jalan haram dalam mengumpulkan hartanya. Dan sebagainya. Ini semua sebagai akibat dari “tidak kenal diri” itu, berikutnya “tidak kenal Allah swt”.
Maka dikatakan: “Man ’arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, siapa yang telah mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhannya.” Orang Jawa menyebutnya “mulat sariro”.
Ilmu hakikat ini sungguh penting untuk kita masuki, selami, dan hayati dalam tujuan untuk “mengenal diri” pada khittah kudus kita sebagaimana ruh pertama kali ditiupkan tadi, dengan jalan membersihkan diri (tazkiyatun nafs) dari noda-noda duniawi (maksiat, ilmu, dan amal sekaligus) yang menghijabi rohani kita dariNya.
Betul, sekali lagi, bahkan kedalaman ilmu dan ketaatan amal-amal syariat kita pun yang katakanlah benar secara syariat bisa menjadi hijab rohani kita. Dan tentu ini anomali syariat-rohani yang luar biasa mengerikannya. Na’udzubilLah min dzalik.
Terakhir, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebutnya sebagai “ilmu makrifat”, yakni ilmu tentang Dzat Allah swt. beserta seluruh lingkupannya yang tak terbatas.
Kita sering diajarkan untuk “tafakkaru fi khalqilLah wala tafakkaru fi DzatilLah, berpikirlah tentang ciptaan Allah swt. dan jangan berpikir tentang Dzat Allah swt”.
Mungkin kini kita bertanya-tanya: mengapa Syekh Abdul Qadir al-Jailani malah mengajarkan kita melalui skema ilmunya tadi untuk menambahkan ilmu (jamak kita menyepadankan dengan “berpikir”) tentang Dzat Allah swt.? Bukankah itu hal yang terlarang?
Di sinilah letak keagungan dan sekaligus kerawanan belajar tasawuf. Kita sungguh sangat membutuhkan guru rohani, mursyid, pembimbing yang akan mendampingi dan mengarahkan kita dalam segala dinamika perjalanan rohani kita.
Pertanyaan sejenis tadi mencerminkan kegelisahan pikiran yang menilai tasawuf seolah silang-sengkarut –bahkan bertentangan dengan tuturan Rasulullah saw. Jika kita tak punya guru rohani, sungguh rawan kita hanya akan berjalan dengan akal pikiran yang riskan terbajak hasrat hawa nafsu, arogani pikiran, hingga tipu-daya iblis.
Maka Maulana Rumi, misal, pernah mengatakan: berjalan sendirian boleh jadi juga sampai ke Tujuan tetapi membutuhkan waktu ratusan tahun; berjalan dalam bimbingan Guru bisa diarungi dalam waktu lebih sebentar saja.
Itu pun dengan catatan jika kita berjalan sendiri dan sampai kepada Keagungan Allah swt. ‘Azza wa Jalla. Bagaimana bila ternyata perjalanan rohani kita yang tanpa guru rohani itu malah dibajak oleh pikiran, hawa nafsu, dan tipu-daya iblis (atau, dalam istilah umum, digurui oleh iblis)?
Tentu akan menjadi masalah spiritual yang amat serius sekali. Na’udzubilLah min dzalik.
Sekadar catatan, mari pahami bahwa derajat ilmu makrifat yang diajarkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani tersebut hanya pantas diarungi oleh rohani yang telah kekar secara amal-amal kesalehan, kemudian kokoh pemahamannya dalam tujuan pokok bersyariat, dan yang tak kalah mendasarnya ialah telah berbekal ilmu hakikat yang menjadikannya “kenal diri”.
Sekali lagi, mari coba kita uji diri masing-masing: sudahkah kita kenal diri ini melalui kemampuan memilah “unsur-unsur diri” dengan jernih mana akal dan pikiran, mana rasa dan perasaan, mana sifat dan perbuatan? Lalu, finalnya, sudahkah kita selalu tersambungkan dengan “Ruh Allah swt” yang bertahta di dalam rohani diri sehingga segala sesuatu yang kita rasakan, pikirkan, dan lakukan senantiasa bertawajjuh (menghadap) semata kepada-Nya?
Ranah “kenal diri” ini adalah ranah hakikat, bukan makrifat. Maka bayangkanlah bagaimana lagi dengan jagat MakrifatulLah untuk nekat saja kita arungi tanpa bimbingan guru rohani yang mengasuh kita secara ilmu, riyadhah, hingga berkah doa-doanya?
Mari mawas diri selalu bila kita memiliki minat untuk memasuki dan mendalami samudra tasawuf. Berhati-hatilah selalu. Beribadahlah selalu. Bertafakkurlah selalu. Berendah dirilah selalu. Bergurulah selalu.
bersambung