Allah subhanahu wata’ala:
“Setiap jiwa pasti merasakan mati,” (QS. Ali ‘Imran: 185)
Kematian merupakan hal yang pasti datang. Tak pandang siapa, kapan, di mana, dan bagaimanapun kondisinya, ketika ajal menjemput, tak ada satu pun yang akan bisa menghindar darinya.
Kematian adalah sebuah jembatan yang menghubungkan dua kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Dunia adalah tempat kita menanam bekal menuju kehidupan yang kekal nan abadi, apa yang akan kita panen di akhirat merupakan hasil dari apa yang kita tanam di dunia.
Nabi menyebut orang yang mempersiapkan dirinya untuk bekal kehidupan setelah mati sebagai orang cerdas. Sebaliknya, orang yang tenggelam dalam nafsu duniawi, disebut Nabi sebagai orang yang lemah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Orang cerdas adalah orang yang rendah diri dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah adalah orang yang mengikutkan dirinya pada hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah,” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).
Lalu bagaimana tips mempersiapkan diri menghadapi kematian? Berikut ini penjelasannya:
1.) Mengerjakan Amal-amal Shalih
Allah memberikan dua syarat bagi siapa pun yang berharap bertemu dengan-Nya di surga, yaitu beramal shalih dan meninggalkan kesyirikan. Dalam sebuah firman-Nya, Allah subhanahu wata’ala menegaskan:
“Barang siapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110).
Amal shalih yang dimaksud dalam ayat di atas adalah segala bentuk perbuatan baik yang steril dari riya (pamer) dan sesuai dengan tuntunan syariat. Menurut Syekh Mu’adz, sebagaimana dikutip al-Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, amal shalih adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal, ilmu, niat, kesabaran dan ikhlas.
Syekh Sahl al-Tustari berkata: “Amal shalih adalah amal yang sunyi dari pamer dan diikat dengan (tuntunan) sunnah Nabi,” (Abu Muhammad Sahl bin Abdillah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, hal. 98).
Al-Imam al-Baghawi berkata: “Mu’adz berkata; amal shalih adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal, ilmu, niat, sabar dan ikhlas,” (al-Imam al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, juz 1, hal. 73).
Setelah mampu konsisten beramal baik, hendaknya tidak terlalu bangga atas amal perbuatan yang dilakukan, misalkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain, merasa amalnya menyelamatkannya di hari kiamat dan sebagainya. Sebab pada hakikatnya, seseorang akan mendapat kenikmatan dan keselamatan di akhirat bukan disebabkan amalnya, namun murni karena anugerah dan kasih sayang dari Allah. Tidak ada yang dapat menjamin nasib seseorang di hari pembalasan kelak. Nabi menegaskan:
“Tidak seorang pun amalnya memasukannya ke surga. Sahabat bertanya; apakah termasuk engkau ya Rasulullah?. Nabi menjawab: ‘Termasuk aku. Tetapi Allah telah menaungiku dengan anugerah dan rahmat, maka benarkanlah (niatmu dalam beramal) dan berlakulah sedang’,” (HR. Bukhari).
Hadits di atas tidak hendak mengatakan bahwa amal shalih tidak ada manfaatnya, namun Nabi memberikan petunjuk bahwa dalam beramal hendaknya dilakukan dengan ikhlas, bertujuan murni mengikuti perintah agama, tidak menuntut yang macam-macam kepada Tuhan. Oleh karenanya, di dalam redaksi setelahnya Nabi berpesan; “Benarkanlah niatmu dalam beramal”. Melakukan kebajikan dengan ikhlas dan dengan cara yang benar adalah pertanda bahwa amal yang diperbuat diterima di sisi-Nya, yang oleh sebab itu seorang hamba mendapatkan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga ia dapat masuk surga.
Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
“Al-Rafi’i berkata; di dalam hadits menegaskan bahwa orang yang beramal tidak seyogyanya berpegangan atas amalnya di dalam mencari keselamatan dan memperoleh derajat-derajat, sebab ia bisa beramal atas pertolongan Allah, mampu meninggalkan maksiat karena penjagaan Allah, maka semuanya atas anugerah dan rahmat-Nya,”
“Sabda Nabi; benarkanlah niatmu dalam beramal, di dalam riwayat Bisyr bin Said dari Abu Hurairah dari riwayat Imam Muslim; tetapi benarkanlah niatmu dalam beramal. Maknanya adalah bertujuanlah baik dalam amalmu. Maksud dari istidrak ini adalah bahwa terkadang dipahami ketiadaan faidah beramal dari penegasan ketiadaan selamat disebabkan amal. Seakan-akan Nabi menjawab (kesalahpahaman tersebut); tetapi amal memiliki faidah, yaitu sesungguhnya amal adalah tanda akan wujudnya rahmat yang dapat memasukannya di surga, maka beramalah kalian dan bertujuanlah dengan amal kalian suatu kebenaran, yaitu mengikuti sunah Nabi berupa ikhlas dan lainnya, agar Allah menerima amal kalian sehingga Ia menurunkan rahmat atas kalian,” (Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz.11, hal.297).
2.) Menjauhi Perbuatan-perbuatan Tercela
Sebagaimana mengerjakan amal shalih, yang tidak kalah penting adalah menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Yang dimaksud perbuatan tercela meliputi keharaman dan kemakruhan. Meninggalkan keharaman adalah wajib, sedangkan meninggalkan kemakruhan adalah sunnah. Demikian pula dianjurkan untuk meminimalisasi perkara mubah yang tidak ada manfaatnya.
Para ulama salaf sangat berhati-hati menjaga dirinya dari perbuatan tercela. Bagi mereka, yang urgens tidak hanya meninggalkan keharaman dan kemakruhan, namun perkara-perkara mubah yang dapat melalaikan. Sebab perbuatan maksiat akan menciptakan noda hitam di hati sehingga menjadikannya keras, enggan menerima kebenaran dan malas beribadah.
Oleh karenanya, mereka sangat menjaga betul kualitas makanan yang dikonsumi, bahkan rela riyadlah (tirakat), misalnya dengan cara puasa mutih (hanya makan nasi tanpa lauk pauk), puasa bila ruh (meninggalkan makanan-makanan yang bernyawa atau yang berbahan darinya), ngerowot (meninggalkan makanan pokok yang lazim dikonsumsi dengan diganti makanan jenis lain). dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan oleh mereka untuk meningkatkan kejernihan hati.
Semakin berhati-hati dalam menjaga diri dari perbuatan yang diharamkan, semakin tinggi pula kedudukan seorang hamba di sisi-Nya. Oleh karenanya ulama membagi derajat wira’i (menjaga diri dari keharaman) menjadi empat tingkatan.
Pertama, wira’inya orang-orang adil, yaitu dengan cara meninggalkan keharaman-keharaman sesuai petunjuk fatwa para pakar fiqh. Kedua, wira’inya orang-orang shalih, yaitu meninggalkan kemurahan-kemurahan dengan memilih hukum-hukum yang berat. Ketiga, wira’inya orang-orang bertakwa, yaitu meninggalkan perkara-perkara mubah yang berpotensi mengantarkan kepada keharaman. Keempat, wira’inya orang-orang yang jujur, yaitu meninggalkan perkara-perkara mubah secara total, meski tidak berpotensi mengantarkan kepada keharaman. Seluruh waktunya bernilai ibadah, tidak satu pun hampa tanpa diisi dengan ibadah.
Syekh Abu Said al-Khadimi berkata:
“Ketahuilah bahwa wira’i memiliki empat derajat. Pertama, wira’inya orang-orang adil, yaitu (meninggalkan) perkara haram sesuai fatwa-fatwanya para pakar fiqih,”
“Kedua, wira’inya orang-orang shalih, yaitu menahan diri dari keharaman, meski seorang mufti memberi kemurahan (hukum),”
“Ketiga, wira’inya orang-orang bertakwa, yaitu (meninggalkan) perkara yang tidak haram dari sudut pandang fatwa dan tidak ada kesamaran dalam kehalalannya, namun dikhawatirkan akan mengantarkan kepada perbuatan yang dikhawatirkan. Wira’i jenis ini adalah meninggalkan perkara yang tidak berbahaya karena khawatir terjerumus kepada perkara yang berbahaya,”
“Keempat, wira’inya orang-orang yang jujur, yaitu meninggalkan perkara mubah secara total, tidak dikhawatirkan terjerumus ke dalam perbuatan yang berbahaya, namun perbuatan tersebut dilakukan tidak karena Allah, bukan karena niat agar kuat menjalani ibadah kepada Allah atau baru datangnya penyebab-penyebab yang mempermudah ia melakukan kemakruhan atau kemaksiatan,” (Abu Said Muhammad bin Muhammad al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah, juz 4, hal. 252).
3.) Segera Bertobat
Tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan dan dosa. Kesalahan adalah hal yang wajar bagi manusia. Yang bermasalah adalah membiarkan diri berlarut-larut dalam perbuatan dosa. Kematian yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya, menuntut seorang manusia agar segera bertobat setiap kali melakukan dosa, untuk menghindari akhir yang buruk dalam perjalanan hidupnya (su’ul khatimah). Agama menekankan untuk senantiasa memperbarui tobat dari segala perbuatan maksiat.
Syekh Ahmad al-Dardiri berkata: “Perbaruilah tobat karena beberapa dosa. Janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah Yang Maha Pengampun,” (Syekh Ahmad al-Dardiri, Manzhumah al-Kharidah al-Bahiyyah).
Bertobat ada kalanya dari dosa yang berhubungan dengan Allah swt., ada kalanya berhubungan dengan hak orang lain.
Syarat yang harus dipenuhi ketika bertobat dari dosa yang berhubungan dengan Allah swt. ada empat, yaitu; menyesal, melepaskan diri dari dosa yang diperbuat, bertekad untuk tidak mengulanginya dan beristighfar. Apabila dosa yang dilakukan berupa meninggalkan ibadah fardhu, maka wajib untuk mengqadhanya.
Sedangkan bila berhubungan dengan hak orang lain, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya atau meminta kerelaannya, bila pemiliknya sudah wafat, dilakukan kepada ahli warisnya. Hal ini bila berkaitan dengan materi, seperti hutang atau harta curian. Bila berkaitan dengan non materi, seperti menganiaya, menggunjing, mengadu domba dan lain-lain, maka wajib meminta kehalalan pihak yang dizalimi.
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan: “Wajib bagi setiap Mukallaf segera bertobat dari dosa, yaitu dengan menyesal, melepaskan diri dari dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya dan beristighfar. Bila dosanya berupa meninggalkan ibadah fardlu, maka wajib mengqadlanya, bila berupa hak adami, maka wajib menunaikannya atau meminta kerelaannya,” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufiq, hal. 113)
Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani berkata: “Sangat dianjurkan mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan mengerjakan amal-amal shalih dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela, bersegera bertobat dengan memenuhi syarat-syaratnya yaitu melepaskan diri dari dosa, menyesal atas dosa yang dilakukan, dan bertekad untuk tidak mengulangi serta mengembalikan kezaliman yang dilakukan kepada orang yang berhak, mengqadha semisal shalat dan puasa, serta meminta halal dari perbuatan semacam menggunjing dan menuduh zina (Syekh al-Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani, Fath al-‘Allam bi Syarh Mursyid al-Anam, juz 3, hal. 206).
Demikian penjelasan mengenai tiga tips menghadapi kematian, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU