Hukum asal hubungan antara dua insan adalah tidak boleh saling menyakiti atau melukai. Setiap ada unsur perbuatan yang menyebabkan luka terhadap orang lain, maka tindakan itu sudah termasuk kategori tindakan melanggar (i'tida) dan melampaui batas (israf). Dan hampir pasti bahwa setiap tindakan yang melampaui batas dan pelanggaran, selalu berbuah menerjang hak orang lain, dan dicela.
Contoh yang paling mudah adalah bekerja. Selagi bekerja masih masuk dalam kerangka mencari nafkah, maka pekerjaan tersebut masuk unsur dibenarkan oleh syariat. Namun, bila bekerja itu masuk dalam rangka bermegah-megahan (takatsur), maka pekerjaan yang dilakukannya sudah masuk kategori yang dicela oleh syariat. Tidak hanya berhenti sampai di sini, kadang syariat juga menetapkan atas sanksinya.
Ada hak dari buah pekerjaan, dan ada kewajiban dan anjuran yang timbul dari perolehan hasil bekerja, seperti sedekah, zakat, infaq, dengan orientasi membangun rumah akhirat. Itulah sebabnya Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada ahlinya.” (QS. an-Nisa: 58)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf: 31)
Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dua orang insan atau lebih hakikatnya adalah mewujudkan kehidupan yang damai. Dalam rumah tangga, relasi antara dua orang suami-istri adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sakinah (damai), mawaddah (penuh rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).
Bila dari kedua relasi ini ternyata kemudian timbul ada yang merasa tersakiti, maka dilihat dari unsur penderitanya, rasa sakit itu terjadi karena beberapa faktor. Faktor utamanya mungkin adalah karena adanya pelanggaran hak atas salah satu pihak. Mungkin karena ada yang harus ridha dengan rasa sakit, mungkin harus sama-sama ridha, namun ada kalanya juga yang tanpa keridhaan. Sekilas jika dipetakan akan tampak sebagaimana uraian berikut:
1.) Sakit yang diridhai oleh si sakit. Misalnya: cubitan suami terhadap pipi istrinya. Sakit, tapi si istri ridha. Akibat yang lahir dari “menyakiti” seperti ini justru timbulnya hubb (rasa cinta), bahkan bisa berefek peluang menambah keturunan.
2.) Sakit yang setengah diridhai tapi dengan tebusan. Misalnya adalah sakit disebabkan karena bedahnya selaput dara sang istri. Apakah tidak sakit? Jelas sakit. Karena ada darah yang keluar. Tapi istri ridha. Buktinya ridha adalah diterimanya shidaq/mahar. Padahal bedahnya dara keperawanan (ifdla') memungkinkan akibat beberapa sebab.
Pertama, mungkin hal itu disebabkan oleh persenggamaan (jima') yang halal. Kedua, mungkin sebab jari atau benda lain. Padahal dari kedua hal di atas, pelakunya adalah sama-sama suami itu sendiri.
Berangkat dari sebab ifdla' dengan jalan yang kedua, terjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Sebagian ulama menyebutkan bahwa bagi suami wajib mengeluarkan arsyul bikârah (tebusan keperawanan). Illat yang dipergunakan oleh ulama ini adalah karena:
a.) Bedahnya dara keperawanan tidak menggunakan organ sebagaimana seharusnya hal tersebut dilakukan.
b.) Ridhanya istri merasakan sakit akibat bedahnya keperawanan adalah dengan jalan persenggamaan untuk tujuan li al-istimta' (mencari kenikmatan dengan jalan persenggamaan), sebagaimana hal ini merupakan asal daripada disyariatkannya mahar.
Sebagian lagi ulama menyatakan bahwa ifdla' yang dilakukan dengan cara apa pun juga, asalkan itu dilakukan oleh suami sendiri, maka suami tidak perlu mengeluarkan arsyu al-bikarah. Illat yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a.) Tujuan utama menikah adalah halalnya hubungan persenggamaan dan istimta' dengan sang belahan hati yang diikat oleh lafadh/akad ijab dan qabul.
b.) Mahar merupakan bagian yang sunnah dibayarkan sehingga tidak berpengaruh terhadap status ridha atau tidak ridhanya istri.
c.) Keridhaan istri untuk merasakan sakit akibat bedahnya perawan adalah ditandai oleh kemauannya dalam berkhalwah dengan suaminya.
Dari kedua pendapat ulama yang ikhtilaf ini, dalam timbangan penulis, pada hakikatnya sama-sama menghendaki ketiadaan keterpaksaan sang istri. Hanya saja, kedua pendapat di atas dibedakan oleh batasan keridhaan. Pendapat yang pertama dibatasi oleh shidaq/mahar. Sementara pendapat kedua dibatasi oleh tempat khalwah.
3.) Sakit yang tidak diridhai. Sakit yang tidak diridhai umumnya lahir karena adanya unsur ikrah/pemaksaan. Misalnya tindakan yang disertai dengan penganiayaan atau ancaman sehingga melahirkan efek traumatik. Ada banyak contoh yang bisa menggambarkan hal ini. Sudah pasti sanksi untuk kasus ini sifatnya berjenjang dan tidak bisa disamaratakan. Illat penjelasnya adalah ikrah.
Sanksi dalam syariat terkait masalah yang ketiga ini bisa dikelompokkan dalam beberapa macam, yaitu:
a.) Hukuman mati
Hukuman mati tetap berlaku meskipun yang melakukan adalah suami sendiri, akan tetapi dapat dibuktikan karena tindakannya sampai menghilangkan nyawa korban yang masih istri sendiri. Misalnya kasus suami yang maniac sex abusement (kelainan seksual). Meskipun tindakannya ada di kamar sendiri, namun dapat menghilangkan nyawa sang istri akibat penyimpangan yang ia lakukan. Tidak syak wasangka lagi, bahwa tindakan tersebut masuk unsur kekerasan (harrasment).
b.) Hukuman penjara dan qishash. Hukuman ini umumnya bisa dilakukan terhadap suami akibat kekerasan yang ia lakukan karena telah membenturkan istri, mendorongnya sehingga mengalami luka
c.) Hukuman dengan kapasitas sebagai arsyun (kompensasi) diakibatkan hilangnya beberapa fungsi panca indera atau rusaknya organ persenggamaan sehingga menghilangkan nikmatnya berjima'. Sebenarnya contoh kasus ini bisa naik menjadi pasal penganiayaan bila sampai timbul luka dan traumatik.
d.) Hukuman dengan kapasitas sebagai ta'zir. Hukuman ini misalnya bisa diterapkan pada pelaku sodomi atau pemerkosaan oleh suami terhadap istri. Contoh tindakan pemerkosaan ini misalnya adalah: suami istri tengah dalam kasus sengketa rumah tangga dan diujung perceraian atau bahkan mungkin sudah berlangsung sidang di pengadilan, namun belum diputus oleh hakim. Sudah terjadi pisah ranjang selama beberapa waktu antara keduanya. Dan tiba-tiba suami mendatangi istri yang tengah berseteru kemudian memaksanya melakukan persenggamaan dengan harapan bila dia hamil, maka perceraian menjadi urung terjadi.
Lantas apa hikmah di balik hukum ini semua?
Sebenarnya banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Inti dari maqashid syariat adalah tercapainya kemaslahatan bagi semua pihak dengan tidak menghilangkan hak masing-masing individu di hadapan hukum syariat.
إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وحرم أشياء فلا تنتهكوها وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها حديث حسن رواه الدارقطني وغيره
Artinya: "Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya telah menetapkan bagian-bagian, maka jangan kalian sia-siakan. Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian melanggarnya. Dia juga telah mengharamkan beberapa perkara maka jangan kalian menerjangnya. Dia pula telah mendiamkan beberapa perkara lain sebagai bentuk kasih sayang bagi kalian yang tiada pernah lupa maka jangan membahas-bahasnya. Hadits Hasan Riwayat al Dâraquthni dan yang lainnya." (Ibnu Rajab al Hanbali, Jâmi'u al Ulum wa al-Hukm, Kairo: Muassasah al-Risâlah, 2001: 150).
Segala sesuatu ada batasannya. Dari kesekian batasan itu, syariat menetapkan agar jangan melanggarnya. Makan adalah boleh. Namun batasan kebolehan makan perkara halal adalah tidak boleh melampaui israf(berlebih-lebihan). Ini hanya qiyas yang bersifat iluatratif semata.
Jadi, intinya bahwa tidak setiap sesuatu yang dipandang halal sifatnya menjadi boleh secara mutlak, melainkan ada ketetapan yang tidak boleh dilanggar. Demikian pula dalam kasus rumah tangga. Semua ada batasan syara' yang tidak boleh dilanggar oleh semua pihak.
Walhasil, ada perbedaan besar antara makna ikrah (pemaksaan) sebagai dasar kekerasan yang merupakan fondasi kejahatan atau kriminal (jinâyah) dengan makna ketundukan atau ketaatan. Ada banyak catatan yang harus diperhatikan di dalamnya. Dan catatan ini biasanya adalah "pemaksaan suami terhadap istrinya dalam berhubungan seksual adalah termasuk ikrah bila disertai ancaman atau berefek traumatik. Wallahu a'lam bi al-shawab
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU