Kematian merupakan salah satu fase yang terjadi pada manusia. Dalam fase ini ruh yang tadinya menyatu dengan jasad berpisah sehingga jasad sudah tak lagi punya fungsi apa pun. Mata sudah tak bisa melihat, kaki sudah tak bisa berjalan, tangan sudah tak bisa memegang, demikian pula dengan anggota tubuh yang lain, tidak memiliki fungsi apa pun.
Manusia adalah makhluk yang pasti akan merasakan kematian. Hanya saja, kenikmatan duniawi yang fana terkadang menenggelamkan kesadaran akan peristiwa penting tersebut. Nabi memerintahkan agar kita memperbanyak ingat mati, sesuatu yang dapat memutus segala kenikmatan-kenikmatan yang dirasakan di dunia.
Dalam sebuah hadits shahih, Nabi bersabda: “Perbanyaklah mengingat hal yang dapat memutus kelezatan-kelezatan, yaitu kematian,” (HR. Ibnu Hibban, Nasa’i dan lainnya).
Memperbanyak mengingat kematian dapat menjadi motivasi yang berlipat untuk mematuhi perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya. Dalam sudut pandang fiqih, hukum mengingat kematian adalah sunnah, dan melakukannya secara sering adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dikukuhkan).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
“Hendaknya setiap mukallaf (orang baligh dan berakal) banyak mengingat kematian, sebagai bentuk sunnah yang dikukuhkan, bahkan sekadar mengingat mati (tanpa dilakukan secara sering) hukumnya sunnah, karena hal tersebut yang paling mendorong untuk mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan, berdasarkan hadits shahih; ‘Perbanyaklah mengingat hal yang dapat memutus kenikmatan’. Redaksi ‘hadim’ dengan tanpa titik berarti perkara yang menghilangkan kelezatan-kelezatan dari pangkalnya, bisa juga dengan memakai titik ‘hadzim’ yang berarti dapat memutus kelezatan-kelezatan. Namun al-Suhaili berkata, riwayat yang benar adalah dengan memakai titik,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 4, hal. 4).
Menurut Syekh al-Laffaf, sering mengingat mati dapat menghasilkan tiga hal yang positif, yaitu mempercepat taubat, hati yang lapang menerima segala pemberian-Nya dan antusias yang tinggi menjalankan ibadah. Sebaliknya, orang yang lupa mati, ia akan menerima tiga keburukan, menunda-nunda taubat, tidak rela dengan rezeki yang cukup dan malas beribadah.
Syekh al-Laffaf sebagaimana dikutip Syekh Abdur Rauf al-Manawi menegaskan:
“Dan berkata Syekh al-Laffaf; barang siapa memperbanyak mengingat mati, ia dimuliakan dengan tiga hal, mempercepat taubat, menerimanya hati dan semangat beribadah. Barang siapa lupa mati, ia dihukum dengan tiga hal, menunda-nunda taubat, meninggalkan ridla dengan rezeki yang cukup dan malas di dalam ibadah,” (Syekh Abdur Rauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 1, hal. 109).
Dari sudut pandang ulama tasawuf, orang yang sudah mencapai derajat ma'rifat billah (memiliki pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat kebesaran Allah), sudah tentu akan senantiasa mengingat mati, sebab ia merasa kematian adalah waktu di mana ia bisa bertemu sang kekasih sejati, Allah subhanahu wata'ala, bahkan ia sangat senang dengan datangnya kematian, sebab dapat melepas dahaga kerinduannya bertemu sang penguasa alam semesta dan meninggalkan hiruk pikuk dunia yang sirna.
Pakar tasawuf terkemuka, Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali berkata:
“Sedangkan Al-Arif (orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat kebesaran Allah) akan selalu mengingat kematian karena kematian adalah waktu yang dijanjikan untuk pertemuan dengan kekasihnya. Sang pecinta tak akan lupa waktu yang dijanjikan untuk bertemu kekasihnya. Seseorang yang demikian ini umumnya menganggap kedatangan mati yang begitu lamban dan menyukai kedatangannya, agar ia bisa terlepas dari tempatnya para pelaku maksiat dan berpulang menuju ke hadirat Tuhan sang penguasa alam. (Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, juz 4, hal. 434).
Demikianlah penjelasan mengenai hukum dan urgensi memperbanyak ingat mati. Semoga kita tergolong orang-orang yang sadar bahwa betapa kenikmatan duniawi hanya sementara, dengan begitu kita akan fokus memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU