Kita mengenal tawadhu’ selama ini sebagai kerendahan hati. Ia lalu menisbatkan sikap-sikap tunduk, low profile, dan mengalah.
Ini tidak salah. Hanya, yang mesti segera menjadi pertanyaan rohani kita ialah apa sebenarnya landasan kita dalam bertawadhu’?
Bila kita menyatakan tawadhu’ kepada seseorang, kemungkinan besar landasan kita adalah rasa hormat dan segan kepadanya. Bila kepada Allah swt., kemungkinan besar landasan kita adalah rasa takut kepada-Nya. Seperti takut dari terhalangnya rezeki-Nya atau takut dari azab-Nya kelak di akhirat.
Cara tawadhu’ kita kepada seseorang lazim kita ekspresikan dalam bentuk mematuhi nasihat-nasihat dan titah-titahnya. Sementara cara tawadhu’ kita kepada Allah swt. diekspresikan dalam bentuk mentaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Perbedaan mendasar antara kedua jenis tawadhu’ ini ialah ketika tidak sedang bersamanya.
Kepada orang yang kita tawadhu’i, boleh jadi kita akan menyelisihinya bila sedang jauh darinya. Namun, bagaimana cara kita mengingkari Allah swt. yang notabene tak pernah sedetik pun kita terpisah dari penglihatan-Nya?
Kita perlu memperdalam lagi landasan tawadhu’ ini dengan memperhatikan nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya, Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir.
Tawadhu’ menurut beliau tidaklah mengenal sekat antara manusia dan Tuhan, sebagaimana kita pahami tadi. Ia mestilah meliputi segala ketundukan dan ketawakkalan, serta berikutnya keikhlasan, kepada Allah swt., lalu para rasul-Nya, lalu para nabi-Nya, lalu para wali-Nya, lalu hikmah-Nya, lalu perbuatan-Nya, lalu takdir-Nya, lalu kekuasaan-Nya, lalu dunia-Nya, dan kemudian akhirat-Nya. Ia mencakup keseluruhan sebagai satu kesatuan utuh sekaligus. Di mana Allah swt. menjadi sumbernya, otomatis seluruh elemen selain-Nya menjadi terliput.
Ini berarti umpama kita tawadhu’ kepada guru, kiai, atau orang tua, maka sikap tawadhu’ tersebut bersumber dari tawadhu’ yang pertama, yakni kepada Allah swt. Jika kita mencintai Rasulullah Muhammad saw., ittiba’ pada semua sunnahnya, maka tawadhu’ tersebut pun bersumber dari tawadhu’ asali tadi, yakni Allah swt.
Walhasil, buahnya, tawadhu’ kita kepada manusia akan sehakiki tawadhu’ kita kepada Allah swt. Sebab yang menjadi landasan dan sumber tawadhu’ kita adalah Allah swt. yang selalu melihat kita dan meliputi segalanya.
Ada atau tidak adanya guru yang kita tawadhu’i menjadi sama belaka; kita akan tetap mentawadhu’i segala wejangannya.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihati: “Tawadhu’lah, karena setiap kali kamu tawadhu’, kamu akan suci. Bila kamu tidak tawadhu’, maka kamu tidak mengenal Allah swt.”
Nasihat beliau ini mengisyaratkan bahwa sikap tawadhu’ kepada Allah swt. dengan sendirinya menjadi cermin bagi kualitas kejernihan rohani kita. Semakin dalam dan tebal tawadhu’ kita kepada semua keputusan, qadar, dan kehendak-Nya, itu tanda hati kita semakin suci. Hati yang suci inilah yang dimaksudkannya sebagai “wadah bagi mengenal Allah swt”. Sebab hanya hati yang sucilah yang layak berjumpa dengan-Nya.
Lawan sikap tawadhu’ adalah sombong. Bila di hati kita terpatri kesombongan, itu tanda bahwa hati kita kotor, dan sekaligus menghalangi (menghijabi) kita dari mengenal Allah swt. Semakin pekat noda sombong tersebut, semakin teballah jarak hijab itu antara kita dengan Allah swt.
Maka, untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., dan apalagi mengenalnya, tiada jalan bagi kita selain terus-menerus menggerus noda-noda kekotoran di hati -dan itu artinya adalah meningkatkan ketawadhu’an- hingga ia mencapai derajat kesucian tadi.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani kemudian melanjutkan nasihatnya: “Tawadhu’ akan meninggikan dan sombong akan merendahkan.” Beliau menukil hadis Rasul saw.: “Barang siapa yang bertawadhu’, maka Allah swt. akan meninggikannya.”
Hadits tersebut lengkapnya begini: Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang tawadhu’ kepada Allah swt. satu derajat, maka Dia akan mengangkatnya satu derajat hingga menjadikannya berada di ‘Illiyyin. Barang siapa yang sombong kepada-Nya satu derajat, maka Dia akan merendahkannya satu derajat hingga Dia menempatkannya di neraka paling bawah.” (HR. Ahmad)
Para hamba Allah swt. yang mengamalkan pelbagai kebaikan (‘ubudiyah dan mu’amalah), tutur Syekh Abdul Qadir al-Jailani, bagaikan gunung yang julang lagi kekar perkasa. Namun, tawadhu’ menjadikan mereka senantiasa berkata dalam hati: “Kami tidak memiliki amalan apa pun yang akan memasukkan kami ke dalam surga. Kami dapat masuk ke dalamnya karena rahmat-Nya. Apabila kami pun tidak memasukinya, maka itu semata karena keadilan-Nya.”
Mereka senantiasa mengakui kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuannya di hadapan Kemahakuasaan Allah swt. -bahkan terhadap amal-amal kebaikan yang nyata-nyata telah dan sedang mereka jalankan sebagaimana julang dan kokohnya gunung.
Mereka senantiasa menyebutnya sebagai qadar Allah swt. kepada mereka untuk bisa beribadah sedemikian rupa.
Inilah berkah tawadhu’ yang haq kepada Allah swt. yang dengan sendirinya meninggikan derajat pelakunya. Inilah tawadhu’ yang sungguh-sungguh bersumber pada ketawakkalan kepada segala qadar Allah swt. dan kemudian berkembang menjadi keikhlasan yang paripurna. Jangankan hanya kepada sesama manusia, bahkan kepada impian terbesar semua kita (yakni, mendapatkan surga-Nya), mereka pun bertawadhu’ atas apa pun keputusan-Nya kelak.
Lihatlah betapa ikhlasnya mereka menyatakan: “Apabila kami pun tidak memasukinya (surga; alias masuk neraka), maka itu semata karena keadilan-Nya.”
Semoga iman dan amaliah kita selama ini senantiasa diridhai oleh Allah swt. Amin.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com