Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy’ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apapun yang beliau dawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.
Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segerombol jamaah dalam merek jam’iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi, tapi toh begitu terasa balutannya, bagi mereka yang -entah kenapa- mencintainya.
Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadhratus Syaikh sendiri mencandranya:
بيني وبينكم في المحبة نسبة
Antara aku dan kalian ada tautan cinta
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta tanah liatnya Adam.”
Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.
Kyai Abdul Karim Hasyim, putra Hadhratus Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadhratus Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Prof.Dr. Nurcholis Majid (Cak Nur). Mereka berdua memilih tetap di dalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadhratus Syaikh semasa hidupnya (NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat): “Masyumi adalah satu-satunya partai bagi umat Islam Indonesia!”
Apakah sikap pilihan mereka itu mu’tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.
Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo/oleh-oleh “aneh” sehingga memancing kontroversi di antara masyarakat kampungnya.
“Siapa namanya?” tanya Hadhratus Syaikh.
“Ahmad Dahlan” jawab Basyir
“Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Hadhratus Syaikh
Santri Basyir pun menggambarkannya.
“Oh! Itu Kang Dahlan!” Hadhratus Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib al-Minangkabawi di Makkah sana.
“Tidak apa-apa”, kata Hadhratus Syaikh, “yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia”.
Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.
Apakah Kyai Basyir “tak pernah NU?” Belum tentu. Putranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qadir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma’shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali Ma’shum pun tak ditinggalkannya.
Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR. Fahruddin. Kepada teman sekamar saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek: “Kamu nggak usah macam-macam”, kata saya waktu itu, “ketuamu itu ORANG NU!”
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf
Sumber: bangkitmedia.com