SYI'AR DAKWAH DAN SISTEM PENGAJARANNYA
Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan Al-Qur’an di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.
Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal (sedekah) dari Haji Ali.
Pada tanggal 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar Al-Qur’an. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.
Konon, KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.
KH.M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.
Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran Al-Qur’an. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena haibah atau wibawa beliau.
Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH.M. Munawwir adalah Kitab Suci Al-Qur’an, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Ali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas.
Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqih kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”
Begitu seterusnya berkembang, baik kitab fiqih maupun tafsir, makin menonjol disamping pengajian Al-Qur’an yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau. jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.
Adab (Tata Krama) dalam pengajian Al-Qur’an sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh KH.M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.
Banyak diantara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran Al-Qur’an pada khususnya. Diantaranya;
1.) KH. Arwani Amin (Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus)
2.) KH.R. Abdul Qadir Munawwir (Yogyakarta)
3.) KH. Ahmad Umar Abdul Manan (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan-Solo)
4.) KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber-Wonosobo)
5.) KH. Ahmad Badawi Abdur Rasyid (Pesantren Miftahul Falah, Kaliwungu-Kendal)
6.) KH. Zuhdi (Kertosono-Nganjuk)
7.) KH. Umar Harun (Kempek-Cirebon)
8.) KH. Abdul Hamid Hasbullah (Tambakberas-Jombang)
9.) KH. Ahyad (Blitar)
10.) KH. Noor (Tegalarum-Kertosono)
11.) KH. Murtadho (Buntet-Cirebon)
12.) KH. Ma’shum (Gedongan-Cirebon)
13.) KH. Abu Amar (Kroya)
14.) KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda-Bumiayu-Brebes)
15.) KH. Syathibi (Kyangkong-Kutoarjo)
16.) KH. Anshor (Pepedan-Bumiayu-Brebes)
17.) KH. Hasbullah (Wonokromo-Yogyakarta)
18.) KH. Muhyiddin (Jejeran-Yogyakarta)
19.) Haji Mahfudz (Purworejo)
Dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang meneruskan perjuangan mensyiarkan Al-Qur’an. Untuk para mutakharijin (alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.
KAROMAH KH.M. MUNAWWIR
KH. Abdullah Anshar (Gerjen-Sleman) mengetahui beliau wafat, maka menangislah ia serta mengatakan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, KH. Abdullah langsung menyusul pulang ke Rahmatullah.
Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.
Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.
Saat baru berusia 10 tahun, beliau berangkat mondok kepada KH. Kholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, saat akan dikumandangkan iqamat, KH. Kholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni KH.M. Munawwir). Walaupun ia masih kecil tetapi ahli qira’at.”
Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).
AKHIR HAYAT DAN PENERUS KH.M. MUNAWWIR
Sebagaimana manusia pada umumnya, KH.M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.
Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.
Akhirnya, KH.M. Munawwir wafat ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.
Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan-Solo), KH.R. Asnawi (Bendan-Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan-Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.
Jenazah KH.M. Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Qur’an.
Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan pesantren.
Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan segala konsekuensinya.
Almarhum KH.M. Munawwir berwasiat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yakni;
1) KH.R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian Al-Qur’an, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.
2) KH.R. Abdul Qadir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal Al-Qur’an dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh KH.R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH.M. Munawwir), Kyai Nawawi (menantu KH.M. Munawwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz.
Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz. Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarasah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz.
Untuk mentashhih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardhah secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi. Seperti itulah seluk beluk menghafalkan Al-Qur’an di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh Al-Qur’an, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarosah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga. KH.R. Abdul Qadir wafat pada 2 Februari 1961.
3) KH. Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943. Beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian kitab-kitab selepas KH.M. Munawwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu.
Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual). Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh KH. Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri.
Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab. Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya. Sedangkan KH. Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat. KH. Ali Ma’shum wafat pada 1989.
Sumber: kumpulanbiografiulama.wordpress.com