Ada beberapa hal yang dibicarakan oleh para ulama di sini. Yaitu tentang tempat Isra', waktunya, dan apakah Isra' itu dilakukan dengan ruh dan jasad Nabi saw. ataukah dengan ruhnya saja?
1.) Segolongan ulama berpendapat bahwa Isra' dilakukan dari Masjidilharam. Sementara itu, ada pula yang mengatakan, bahwa Beliau saw. diisra'kan dari rumah Ummu Hani' binti Abi Thalib.
2.) Adapun mengenai waktunya, terjadi pada 17 Rabi‘ul-Awwal, setahun sebelum Hijrah. Sedang menurut suatu riwayat dari Anas dan Hasan Al-Bashri, bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Muhammad diutus sebagai Rasul.
3.) Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Isra' itu dilakukan dengan ruh dan tubuh Beliau saw. dalam keadaan sadar, bukan dalam tidur. Pendapat ini mereka dasarkan pada beberapa hal:
a.) Tasbih dan ta‘ajub yang terdapat dalam firman Allah: Subhanal-ladzi asra bi ‘abdihi. Kalimat ini hanya terjadi dalam perkara-perkara besar. Oleh karena itu, andaikata Isra' itu terjadi dalam keadaan tidur, berarti tidak memuat perkara besar lagi, bukan peristiwa yang mengagungkan.
b.) Andaikata Isra' itu dalam keadaan tidur, tentu orang-orang Quraisy tidak segera mendustakan beliau, dan tentu tidak menjadi murtad orang yang sebelumnya telah masuk Islam. Dan tentu, Ummu Hani' pun takkan mengatakan, “Janganlah engkau menceritakan pada orang-orang itu, sehingga mereka nanti akan mendustakan engkau,” dan tentu Abu Bakar takkan mendapatkan gelar utamanya, yaitu As-Shiddiq. Dalam pada itu, menurut sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya, pernah aku mendapatkan diriku berada di Al-Hijr (Isma‘il), sedang orang-orang Quraisy bertanya kepadaku mengenai Isra'ku itu. Mereka menanyakan kepadaku tentang beberapa hal yang ada di Baitul-Muqaddas yang belum aku ketahui secara pasti. Maka aku benar-benar repot yang tak pernah aku alami kerepotan seperti itu. Maka Allah pun mengangkat Baitul-Muqaddas itu untukku, sehingga aku dapat melihatnya. Maka tak ada satu pun yang mereka tanyakan padaku, kecuali aku berikan jawabannya kepada mereka.” (Al-Hadis)
c.) Sesungguhnya firman Allah Ta‘ala bi ‘abdihi menunjuk-kan bahwa yang diisra'kan itu adalah ruh sekaligus tubuhnya.
d.) Sesungguhnya Ibnu Abbas berkata mengenai firman Allah Ta‘ala:
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (Al-Isrā'/17: 60)
Yang dimaksud adalah penglihatan mata kepala yang diperlihatkan kepada Rasulullah saw. pada malam Isra' itu. Hal mana diperkuat, bahwa kata-kata Ar-Ru'ya, oleh orang-orang Arab, kadang-kadang digunakan untuk arti menyaksikan dengan indera. Tidakkah Anda mendengar perkataan seorang penggembala ketika memberikan gambaran seorang pemburu:
“Begitu melihat, bertakbirlah ia, sedang hatinya terasa riang, ia sampaikan berita sukaria, burung terhimpun hasil buruan.”
e.) Pada hakikatnya, gerakan secepat itu mungkin saja terjadi karena dalam Al-Qur'an pun diberitakan bahwa angina dapat pula menerbangkan Nabi Sulaiman as. ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu yang singkat. Allah Ta‘ala berfirman dalam menerangkan perjalanan yang dialami oleh Nabi Sulaiman as.:
“Yang perjalanannya pada waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya pada waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula).” (Saba’/34: 12)
Begitu pula diberitakan dalam Al-Qur'an, bahwa seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab dapat mendatangkan singgasana Balqis dari tempat yang terjauh di negeri Yaman ke tempat yang terjauh di negeri Syam, hanya dalam sekejap mata, sebagaimana Allah Ta‘ala firmankan:
“Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (An-Naml/27: 40)
Kalau hal ini bisa terjadi pada sekelompok manusia biasa, tentu saja bisa terjadi terhadap mereka pada umumnya. Memang, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Isra' itu terjadi hanya dengan ruh saja. Pendapat ini mereka sandarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
a.) Bahwa Mu‘awiyyah bin Abi Sufyan, bila ditanya tentang diisra'kannya Rasulullah saw., maka jawabannya: Isra' itu adalah mimpi yang benar dari Allah. Namun pernyataan Mu‘awiyyah ini dianggap da‘if, karena ketika peristiwa Isra' terjadi, waktu itu Mu‘awiyah masih musyrik. Oleh karena itu, berita mengenai hal seperti ini, tak bisa diterima.
b.) Bahwa sebagian keluarga mengatakan, pernah Siti Aisyah berkata:
“Jasad Rasulullah saw. tidaklah hilang, tetapi beliau di-Isra'kan dengan ruhnya saja.”
Namun pernyataan ini pun mereka kritik karena pada waktu itu Siti Aisyah masih kecil dan belum menjadi istri rasul.
c.) Bahwa Al-Hasan pernah menyatakan pula mengenai firman Allah Ta‘ala: Wa ma ja‘alnar-ru'ya. Yang dimaksud ialah mimpi dalam tidur, yang dilihat oleh Nabi; “mimpi yang hanya ada dalam tidur”.
Abu Ja‘far At-Thabari berkata: Pendapat yang benar dalam masalah ini, bagi kami adalah bahwa Allah Ta‘ala telah memperjalankan hamba-Nya, Muhammad saw., dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa, sebagaimana yang diberitakan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan sebagaimana yang diberitakan di sana-sini oleh berita-berita dari Rasulullah saw., bahwa Allah telah mengangkatnya ke atas Buraq, sehingga sampailah Buraq itu membawa nabi ke Masjidilaqsa itu, dan salatlah beliau di sana dengan para nabi dan rasul yang ikut salat bersama beliau. Maka Allah pun memperlihatkan kepada beliau sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan tak ada artinya perkataan orang yang mengatakan bahwa Rasulullah itu diisra'kan hanya dengan ruhnya saja, tanpa jasadnya. Karena kalau tidak demikian, berarti dalam peristiwa itu tidak terdapat hal yang menyebabkan Isra' itu merupakan bukti atas kenabiannya, atau sebagai hujjah bagi beliau atas kerasulannya. Di samping itu, tentu tak ada alasan untuk menolak kebenaran Rasul mengenai peristiwa itu, yang patut dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik yang mengingkari hakikat peristiwa tersebut. Karena bukanlah sesuatu yang mengingkari bagi mereka atau seorang pun yang mempunyai fitrah sehat di antara Bani Adam, bila ada seseorang yang bermimpi dalam tidur menempuh perjalanan satu tahun, apalagi kalau hanya perjalanan satu bulan atau kurang dari itu.
Lain dari itu, Allah Ta‘ala sesungguhnya telah memberitakan dalam Kitab-Nya, bahwa Dia telah memperjalankan hamba-Nya dan tidak memberitakan kepada kita, bahwa Dia telah mem-perjalankan ruh hamba-Nya, padahal tidak boleh seseorang pun melampaui apa yang telah dikatakan oleh Allah hingga mengatakan yang lain disamping dalil-dalil yang jelas dan berita-berita yang berturut-turut dari Rasul saw., bahwa Allah telah memperjalankan hamba-Nya di atas seekor kendaraan yang bernama Buraq. Dan andaikata Isra' itu terjadi dengan ruh saja, tentu ruh itu tak perlu dinaikkan di atas Buraq, karena yang diangkut di atas kendaraan hanyalah tubuh saja. Demikian pendapat At-Thabari.
Kesimpulannya, bahwa pendapat yang menjadi sandaran ke-banyakan kaum muslimin adalah bahwa Nabi saw. telah diisra'kan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur, dari Mekah ke Baitul-Muqaddas dengan berkendaraan Buraq. Dan setelah sampai ke pintu Masjid, diikatnya kendaraannya itu di sisi pintu, lalu masuk ke dalam masjid dan salat Tahiyatal-Masjid dua rakaat, kemudian naik Buraq lagi dan kembali ke Mekah menjelang pagi.
Sumber : Tafsir Al-Maraghi