KH. Achmad bin Abdul Hamid adalah salah satu ulama besar NU yang berasal dari Kendal Kota, Jawa Tengah. Beliau adalah Pengasuh Ponpes Al-Hidayah Kendal Kota. Kiprah dan khidmah Kiai Achmad demikian sapaan akrab beliau, di lingkungan NU dimulai dari tingkat PCNU hingga PBNU. Beberapa posisi penting di NU yang pernah didudukinya adalah Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kendal, Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah dimana Katibnya saat itu dijabat oleh KH. Sahal Mahfudz dan terakhir sebagai Mustasyar PBNU Periode 1989-1998.
Kyai Achmad juga pernah menjadi distributor Majalah Berita NO, yang terbit tahun 1930-an. Dalam sebuah tulisan, Kiai Sahal Mahfudz pernah menyebutkan bahwa Kiai Achmad menyimpan dokumen-dokumen majalah NU seperti Buletin LINO (Lailatul Ijtima' Nadhlatoel Oelama )
Kiai Achmad termasuk sangat produktif dalam menulis dan menerjemahkan kitab-kitab. Kitab-kitabnya umumnya ditulis dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Salah satu tulisannya yang cukup fenomenal adalah terjemahan Qanun Asasi Hadlratus Syech KH. Hasyim Asy’ari yang beliau terjemahkan atas permintaan Sekjen PBNU Prof. KH. Saifuddin Zuhri (ayah dari Menteri Agama RI. Lukman Hakim Saifuddin). Terjemahan tersebut telah dimulai oleh KH. Mahfudz Siddiq, tetapi tidak selesai sehingga PBNU meminta Kiai Achmad untuk menyelesaikannya. Terjemahan itu oleh Kiai Achmad dinamakan “Ihyau Amalil Fudlala’ Fi Tarjamati Muqaddimatil Qanunil Asasi li-Jam’iyati Nahdlatil Ulama”. Dari tangan beliaulah telah tercetak sekitar 25 kitab karangannya.
KH. Achmad lahir di Kota Kendal pada tahun 1915. Ayahnya bernama KH. Abdul Hamid. Pada masa kelahiran Achmad, di tanah air sedang marak pembentukan kelompok atau organisasi, baik yang bersifat keagamaan, sosial, ekonomi maupun politik. Pada tahun 1912 misalnya, lahir organisasi Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1918, lahir Nahdlatul Tujjar, yang merupakan cikal bakal organisasi NU. Berturut-turut di tahun 1920-an, bermunculan organisasi atau pergerakan, berubahnya SDI (Sarekat Dagang Islam) menjadi SI (Sarekat Islam), di tahun 1926 lahirnya NU dan tahun 1928 peristiwa Sumpah Pemuda.
Latar belakang sejarah itulah, kemudian membentuk pribadi Kiai Achmad sebagai seorang aktifis organisasi sejak usia remaja. Apalagi orang tuanya selalu mendorong beliau untuk menempa diri dan berkiprah di organisasi. Tak aneh, kalau munculnya GP Ansor di daerahnya misalnya, tidak terlepas dari jasa Kiai Achmad muda waktu itu.
Sebagai putra seorang Kiai yang sangat membenci penjajah Belanda, Kiai Achmad masuk di Madrasah Tsanawiyah Miftahul Ulum Kendal. Setelah itu, berbagai pondok pesantren ia singgahi, diantaranya :
1.) Pondok Pesantren Rembang pimpinan KH. Kholil bin KH. Harun selama dua tahun
2.) Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang pada waktu itu masih dipimpin langsung oleh Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
3.) Pondok Pesantren Jamsaren Solo periode KH. Idris
4.) Pondok Pesantren Buntet Cirebon di bawah asuhan KH. Abbas
Bahkan ia sempat belajar di tanah suci Makkah selama dua tahun, yakni ketika naik haji yang kedua kalinya. Di Makkah, pada malam hari mengaji dan siang hari mengajar di Madrasah Indonesia yang dipimpin KH. Abdul Jalil Al Muqaddasi.
Dalam mengarungi hidup, Achmad bin Abdul Hamid merasa telah memenuhi pesan orang tuanya, bahkan panggilan jiwanya untuk mengabdikan diri sepenuhnya dalam agama. Hampir seluruh daerah di Jawa Tengah pernah dijangkaunya. Rakyat biasa, kalangan pemerintah baik sipil maupun TNI, dapat dipastikan mengenal tokoh yang kemudian terkenal sebagai ulama yang bisa ngemong semua pihak ini.
Hidup secara sederhana, KH. Achmad bin Abdul Hamid tidak pernah melepas waktunya begitu saja. Selain sebagai Imam Besar Masjid Kendal, beliau juga mengasuh Pondok Pesantren “Al-Hidayah” yang letaknya sekitar 400 meter dari rumahnya. Kini Ponpes Al-Hidayah telah berkembang menjadi suatu lembaga pendidikan yang memiliki Madrasah Diniyyah, Tsanawiyah, Aliyah, SMP dan SMA.
Beliau juga yang mendirikan “Sarasehan Anjangsih”, pengajian bulanan untuk para pejabat di Kabupaten Kendal. Ada lagi kegiatan sosial 'Ngumpulke Balung Pisah". Belum lagi pengajian di masyarakat yang jumlahnya tidak terbilang. Ba’da Subuh hari Jum’at misalnya, beliau membaca kitab “Risalatul Muawanah” untuk kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu di Masjid Besar Kendal. Bahkan ketika usianya memasuki 75 tahun, tiap Ahad pagi setelah melakukan senam jantung, Kiai Ahmad bertolak ke Semarang untuk memberikan pengajian yang ia dirikan pada tahun 1939 M.
Kitab-kitab karya beliau yang berjumlah sekitar 25 judul kitab yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Jawa Arab Pegon, meliputi bidang akidah, sejarah Islam, syari’ah, ke-NU-an, ataupun tuntunan-tuntunan dakwah. Kitab-kitabnya yang mendapat sambutan hangat di kalangan kaum muslimin, kadang diberi sambutan oleh pejabat-pejabat tinggi negara, seperti Gubernur Jateng, Pangdam Diponegoro, Menteri Agama, bahkan Jaksa Agung, suatu bukti betapa KH. Achmad bin Abdul Hamid mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat pemerintah (umara’).
Keikhlasan dari Kyai Achmad membuat apa yang dicetuskannya lestari sampai saat ini yaitu ; Kalimat Penutup Kalam Khas Nahdhiyyin ,yang mulai dipopulerkan oleh Gus Dur saat peringatan Harlah PMII ke-46 di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis 23 April 2006. Pada waktu itu, PMII mengangkat tema: "Mengawal Republik dengan Islam Indonesia". Ketua umum PB PMII pada waktu itu adalah Herry Haryanto Azumi. Gus Dur dalam sambutannya menegaskan tentang komitmen ke-Indonesiaan dan kebangsaan dengan cara mengawal Republik dengan Islam ala Indonesia. Islam di Indonesia tidak bisa di-Arabisasi. "Islam di Indonesia harus menghargai kekayaan nilai budaya, karena penyebaran Islam tidak terlepas dari hal itu"
Di akhir pidato Gus Dur tersebut, Gus Dur memperkenalkan kalimat “Wallahul Muwaffiq ila aqwamit Thoriq” sebagai penutup kalam sebelum salam , yang kalimat itu dirangkai oleh Kyai Achmad yang dicetuskan dan sudah berlaku di Kendal. Akan tetapi pada waktu itu, sudah terkenal kata penutup "Wa billahit Taufiq wal hidayah " yang juga merupakan rangkaian kalam yang dicetuskan oleh KH. Achmad yang pertama kalinya disampaikan saat penutupan pidato di Magelang. Namun sudah dipakai oleh seluruh muslim negeri dan tidak identik lagi dengan Nahdliyyin. Sehingga apa yang dicetuskan kembali kalam penutup oleh Kyai Achmad yang lebih identik dengan NU dan susah untuk ditiru orang pada umumnya ditegaskan oleh Gus Dur sebagai kalam penutup resmi ala Nahdhatul Ulama.
KH Achmad bin Abdul Hamid wafat pada tanggal 14 Februari 1998 bertepatan dengan 16 Syawal 1418 H. Semoga amal ibadahnya diterima Allah swt. serta jasa-jasa beliau untuk umat tetap lestari.
Wallahu A’lam