Tafsir Al-Misbah Surah Al-Maidah Ayat 51
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai “ auliya’ ”, sebagian mereka adalah “ auliya’ ” bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Maidah : 51)
Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Departemen Agama RI, kata “ auliya’ ” diterjemahkan dengan “pemimpin-pemimpin”. Sebenarnya, menerjemahkannya demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata “ auliya’ ” adalah bentuk jamak dari kata “waliy”. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wawu, lam dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang sangat taat dan tekun beribadah dinamakan wali, karena dia dekat dengan Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka juga dapat dinamakan wali. Demikian juga pemimpin karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dank arena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata “ auliya’ ”.
Larangan menjadikan non-muslim sebagai “ auliya’ ”, yang disebut surah Al-Maidah ayat 51, dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Antara lain :
1.) Larangan tegas yang menyatakan “janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin”.
2.) Penegasan bahwa “sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain”.
3.) Ancaman bagi yang mengangkat mereka sebagai pemimpin bahwa ia termasuk golongan mereka serta merupakan orang yang zalim.
Namun, larangan-larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata “ auliya’ ”.
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non-muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok; Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana firman Allah :
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)
Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini (QS. Al-Maidah : 51), demikian juga dengan ayat-ayat lain, seperti :
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 9)
Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
Wallahu A’lam
Sumber : Tafsir Al-Misbah, jilid 3, hal. 150 - 154
ADS HERE !!!