Dikisahkan, belasan tahun lalu seorang santri yang mondok di Rubath Tarim, Yaman, yang saat itu diasuh Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Dia dikenal sebagai santri yang sangat alim (cerdas) hingga mampu menghafal kitab Tuhfatul Muhtaj sebanyak 4 jilid. Siapa tak kenal dia? Semua tahu bahwa ia sangat alim, bahkan diprediksi kelak akan menjadi ulama besar.
Nah, suatu hari di saat Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri mengisi pengajian rutin di pondok, tiba-tiba Sang Habib, Pengasuh Pondok tersebut bertanya tentang santri yang sangat terkenal alim itu. "Kemana si Fulan?" Semua santri bingung tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru.
Ternyata santri yang alim tadi tidak ada di pondok. Ia keluar berniat mengisi pengajian di sebuah kota yang bernama Mukalla. Tapi ia keluar tanpa izin.
Akhirnya, Habib Abdullah As-Syathiri yang dikenal sebagai ulama yang ‘allamah dan masyhur kewaliannya itu berkata, "Baiklah, orangnya boleh keluar tanpa izin, tapi ilmunya tetap di sini".
Di kota Mukalla, santri yang alim tersebut sangat dinanti-nantikan oleh para pecinta ilmu untuk mengisi pengajian di Masjid Omar Mukalla.
Singkat cerita, si santri ini pun maju kedepan dan mulai membuka ceramahnya dengan salam dan muqaddimah pendek.
Subhanallah, ternyata setelah membaca amma ba'du, si alim ini tidak mampu berkata sama sekali, bahkan untuk menerangkan kitab paling tipis sekelas Safinah sedikit pun tidak mampu ia ingat. Sontak dia tertunduk dan menangis. Para hadirin pun heran, "Ada apa ini?" Akhirnya, salah satu ulama kota Mukalla menghampirinya dan bertanya; "Saudara mengapa begini? Apa yang saudara lakukan sebelumnya?"
Dia menjawab: "Aku keluar tanpa izin guruku di pesantren." Dia terus menangis, dan beberapa orang menyarankan agar ia meminta maaf kepada Habib Abdullah Asy-Syathiri. Namun dengan sombongnya, dia tidak mau meminta maaf.
Kesombongannya ini membuat semua orang menjauhinya, dan tidak ada satupun yang peduli padanya, bahkan hidupnya setelah itu sangat miskin dan terlunta lunta. Sehingga dia bisa bekerja apapun kecuali hanya dengan menjual daging ikan kering. Dan di saat dia meninggal, dia mati dalam keadaan miskin bahkan kain kafannya pun tidak mampu dibeli dan akhirnya diberi oleh seseorang.
"Santri yang ilmunya berkah bukanlah yang paling banyak hafalannya, yang paling bagus dalam membaca kitabnya, yang selalu juara kelas. Tapi santri yang berkah dan bermanfaat adalah Yang Paling Hormat dan Taat Kepada Gurunya. Dan Menganggap Dirinya Bukan Siapa-Siapa di Hadapan Gurunya."
Menjelang peringatan Hari Santri ini, mudah-mudahan dapat mengingatkan kita kembali akan pentingnya mendapatkan ilmu yang berkah, bukan sekadar pintar.
Wallahu A’lam
ADS HERE !!!