KH. Muhammad Manshur, adalah pendiri Pondok Pesantren Popongan, Dusun Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Mbah Manshur adalah putra Syaikh Muhammad Abdul Hadi Girikusumo, seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah di Girikusumo, Mranggen, Demak. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad Abdul Hadi sebagai sosok religious leader (tokoh agama) yang sangat berpengaruh di Semarang.
Syaikh Muhammad Abdul Hadi adalah putra Thohir bin Shodiq Jago bin Ghozali (Klaten) bin Abu Wasijan (Medono, Pekalongan) bin Abdul Karim (Paesan, Batang) bin Abdurrasyid (Batang) bin Saifudin Tsani (Kyai Ageng Pandanaran II Semarang) bin Saifudin Awwal (Kyai Ageng Pandanaran I, Sunan Tembayat Klaten).
Syaikh Muhammad Abdul Hadi, yang dikenal dengan panggilan Mbah Hadi Girikusumo, memiliki peran besar dalam dakwah Islam, khususnya dalam mengembangkan Thariqah Naqsyabandiyah. Jaringan Thariqah Naqsyabandiyah yang dipelopori oleh Mbah Hadi Girikusumo berkembang sampai se-antero Jawa Tengah dan Yogyakarta melalui para murid spiritualnya, yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang. Mbah Hadi mendirikan pondok pesantren Girikusumo pada tanggal 16 Rabiul Awwal 1288 H atau 1866 M. Sebelumnya, Mbah Hadi belajar agama dan Thariqah Naqsyabandiyah kepada Syaikh Sulaiman Zuhdi di Makkah al-Mukarramah. Di Girikusumo, Mbah Hadi sering juga dipanggil Mbah Giri, Mbah Hasan Muhibat, dan Kyai Giri.
Girikusumo adalah nama sebuah desa. Giri (bhs. jawa) berarti gunung, dan kusumo (bhs. jawa) berarti bunga. Ponpes Giri didirikan oleh Syaikh Muhammad Hadi pada tahun 1288 H bertepatan dengan tahun 1866 M. Mbah Hadi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan dakwah Islam. Hal ini dibuktikan dengan mengirim putra-putranya untuk nyantri di luar daerah.
Mbah Hadi mempunyai tiga putra, yaitu; Manshur, Sirajuddin dan Zahid, ketiga putranya tersebut menjadi guru Thariqah Naqsyabandiyah. Mbah Sirajuddin dan Mbah Zahid mengembangkan thariqah di Girikusumo, meneruskan tugas spiritual Mbah Hadi, sedangkan Mbah Manshur mengembangkan thariqah di Karesidenan Surakarta. Selain kedua putranya, tokoh yang memiliki peran besar dalam pengembangan Thariqah Naqsyabandiyah adalah Mbah Arwani Amin Kudus dan Mbah Abdul Mi’raj Candisari Semarang.
Kepemimpinan pesantren di Girikusumo dipegang oleh Mbah Hadi sendiri, sedangkan para santri muda diasuh oleh Mbah Sirajuddin, sedangkan Mbah Manshur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya di daerah Karesidenan Surakarta. Akan tetapi, umur Mbah Sirajuddin pendek, dan ia wafat mendahului ayahandanya. Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931, dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruskan oleh putranya, yaitu adik kandung Mbah Sirojuddin, yaitu Mbah Zahid.
Berdasarkan cerita yang berkembang, pada prosesi pemakaman Mbah Hadi, terjadi sebuah fenomena khariqul ‘adah (aneh, luar biasa), yakni ada batu besar yang berada di dekat calon makam Mbah Hadi. Seluruh pelayat termasuk para kyai tidak mampu menyingkirkan batu tersebut. Setelah Mbah Manshur datang, batu tersebut bisa diangkat oleh Mbah Manshur sendiri. Itulah salah satu karomah yang dimiliki Mbah Manshur.
Mbah Manshur mengaji kepada orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo. Ketika remaja, beliau mengaji dan nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta yang diasuh oleh Kyai Idris, sebuah pesantren tua yang pendiriannya dipelopori oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Mbah Manshur muda kemudian mendirikan pesantren di Dusun Popongan, Klaten, 20 kilometer dari Jamsaren Surakarta.
Kedatangan Mbah Manshur di Popongan bukan sebuah kebetulan. Sebelum ke Popongan, Klaten, Mbah Manshur sengaja dikirim oleh Mbah Hadi untuk belajar di Jamsaren, dan dalam perkembangannya menemukan Popongan sebagai tempat dakwah, pendidikan, dan pengembangan Islam.
Para santri dan sesepuh Dusun Popongan menceritakan bahwa kedatangan Mbah Manshur di Popongan bermula ketika Mbah Manshur muda diambil menantu oleh seorang petani kaya di Popongan yang bernama H. Fadlil. Mbah Manshur muda dinikahkan dengan Nyai Maryam (Nyai Kamilah) binti H. Fadlil pada tahun 1918. Karena Mbah Manshur merupakan alumni pondok pesantren, maka H. Fadlil memintanya mengajarkan agama di Popongan. Dari pernikahan itu melahirkan Mashfufah, Imro’ah, Muyassaroh, Muhibbin, Muqarrabin, dan Irfan. Dari putrinya Nyai Mashfufah binti Mbah Manshur yang dinikah H. Mukri, lahirlah Salman Dahlawi, yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah.
Sebelum didirikan pondok pesantren, Mbah Manshur mengajar ngaji masyarakat Popongan. Para santri awal Mbah Manshur sangat sedikit, dan hanya membentuk halaqah kecil. Setelah beberapa tahun kemudian santri yang datang mulai banyak dan dari berbagai daerah sehingga H. Fadlil berinisiatif untuk mendirikan bangunan yang layak untuk pemondokan dan masjid.
Pembangunan pondok pesantren dan masjid dilakukan secara swasembada dan gotong royong. Batu fondasi diperoleh oleh para santri dari sungai jebol, sebuah sungai yang terletak di sebelah selatan Dusun Popongan. Adapun pasir diambil dari sungai tegalgondo, sebelah utara Dusun Popongan.
Sebagai tokoh yang kaya, H. Fadlil sendiri yang banyak menyumbang pendirian pesantren yang kelak diasuh oleh menantunya tersebut. Mbah Kyai Muslimin, menceritakan bahwa pembangunan pesantren dilakukan secara gotong royong, sebagian memang mengambil tukang profesional. Pondok Pesantren Popongan resmi didirikan oleh Mbah Manshur pada tahun 1926. Pada tahun yang sama, Mbah Manshur membangun Masjid Popongan.
|
Mbah Manshur Popongan |
Pondok Pesantren Popongan, pada masa kepemimpinan cucunya, Kyai Salman Dahlawi, tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Dusun Popongan kemudian menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, di samping menjadi pusat suluk Thariqah Naqsyabandiyah.
Jaringan Thariqah Mbah Manshur dikembangkan dari Mbah Hadi dengan silsilah sebagai berikut: Kyai Manshur, dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir, dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail al-Barusi, dari Syaikh Sulaiman al-Quraini, dari Syaikh ad-Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad al-Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’shum, dari Syaikh Ahmad al-Faruqi, dari Syaikh Ahmad al-Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad al-Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad az-Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub al-Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin al-Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin an-Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba as-Syamsi, dari Syaikh Ali ar-Rumaitini, dari Syaikh Mahmud al-Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul Kholiq al-Ghajwani, dari Syaikh Yusuf al-Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan al-Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur al-Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al-Farisi, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad saw.
Mbah Hadi mengangkat Mbah Manshur dan Mbah Zahid sebagai mursyid thariqah. Dari Kyai Zahid, thariqah berkembang di Pantai Utara Jawa, diteruskan oleh Kyai Zuhri, dilanjutkan oleh Kyai Munif. Adapun Mbah Manshur menyebarkan thariqah melalui para badal (murid kepercayaan), di antaranya ada yang sudah menjadi mursyid, yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) yang dilanjutkan oleh Kyai Ulinnuha Arwani, Mbah Salman Dahlawi Popongan (Klaten) yang dilanjutkan oleh Gus Multazam, dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari Semarang) yang dilanjutkan oleh Kyai Khalil.
Selain dikembangkan oleh para mursyid yang menjadi murid Mbah Manshur, thariqah Naqsyabandiyah juga dikembangkan di Kauman Surakarta oleh seorang murid perempuan Mbah Manshur, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Selain di Popongan, Mbah Manshur juga mendirikan pusat latihan spiritual Thariqah Naqsyabandiyah di Kauman Surakarta. Sejak Mbah Manshur memiliki rumah di Kauman Surakarta, maka Thariqah Naqsyabandiyah juga berkembang di kota santri tersebut. Rumah Mbah Manshur di Kauman tersebut dibangun oleh muridnya yang bernama Muslimin dan dibantu oleh Salman muda, cucu kesayangan Mbah Manshur. Mbah Muslimin inilah yang sejak awal sudah menjadi penderek (pengikut) Mbah Manshur, dan menjadi teman karib Kyai Salman, sejak kecil sampai wafatnya.
Di Popongan sendiri, estafet kepemimpinan pondok pesantren dan Thariqah Naqsyabandiyah dipegang oleh Kyai Salman, cucunya. Para putera-puteri Mbah Manshur tidak ada yang melanjutkan estafet kepemimpinan thariqah, tetapi lebih suka menekuni dunia perdagangan, mengikuti jejak kakeknya, Mbah H. Fadlil.
Dalam mengembangkan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah, Mbah Manshur dibantu oleh santrinya yaitu Mbah Arwani Amin (Kudus) dan Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang). Di Popongan, Mbah Manshur dibantu oleh banyak santri dan jama’ahnya dalam mengembangkan Islam dan jaringan Thariqah Naqsyabandiyah.
Mbah Manshur termasuk Kyai sepuh yang disegani, bukan saja oleh para santri dan jama’ahnya, tetapi juga oleh masyarakat umum, bahkan oleh para sejawatnya dari kalangan Kyai. Setelah pondok pesantren berdiri, Mbah Manshur bukan saja kedatangan tamu yang mau mengaji saja, tetapi juga tamu-tamu umum yang bermaksud bersilaturrahmi dan ngalap berkah. Kharisma Mbah Mansur pun semakin meningkat dan menjadi Kyai populer di kalangan masyarakat Klaten, Surakarta, Semarang, Jawa Tengah pada umumnya, dan Yogyakarta.
Kyai Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krayak Yogyakarta, adalah termasuk murid Mbah Manshur di Yogyakarta. Walaupun tidak menjadi mursyid thariqah, Kyai Munawwir menjadi bagian penting dalam perjuangan Mbah Manshur. Ketika Kyai Munawwir meninggal tahun 1942, Mbah Manshur menghadiri acara ta’ziyah dan menjadi imam shalat jenazah.
Mbah Manshur juga menjalin hubungan baik dengan Mbah Siroj, Panularan Surakarta, dan Mbah Ahmad Umar bin Abdul Mannan Mangkuyudan Surakarta. Kedekatan dengan Kyai Ahmad Umar ditunjukkan dengan pemberian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kyai Abdul Mannan pada tahun 1930. Al-Muayyad berarti yang dikuatkan, artinya bahwa pondok pesantren tersebut dikuatkan oleh kaum muslimin di Surakarta dan sekitarnya.
Mbah Manshur wafat tahun 1955. Setiap tahun Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan dan Bani Manshur mengadakan acara haul yang dihadiri oleh ribuan orang. Setelah Mbah Manshur wafat, estafet kepemimpinan pesantren dan thariqah dipegang oleh cucunya, Mbah Salman Dahlawi, sampai sekarang kepemimpinan dipegang oleh Gus Multazam bin Salman Dahlawi.
Menurut informasi dari banyak sumber, Mbah Manshur menyusun lafaz do’a bagi para santri sebelum membaca Al-Qur’an. Lafaz do’a itu dipasang di Madrasah (sebutan salah satu gedung pengajian di Pondok Pesantren Al-Manshur, tepat di depan Ndalem yang ditinggali Mbah Manshur). Lafadz doa tersebut menjadi karakter khas bacaan bagi santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan sampai dewasa ini.
Lafaz tersebut berbunyi:
اَللهم بِالْحَقِّ اَنْزَلْتَهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلْ . اَللهم عَظِّمْ رَغْبَةَ فِيْهِ . وَاجْعَلْهُ نُوْرًا لِبَصَرِيْ . وَشِفَآءً لِصَدْرِيْ . وَذَهَبًا لِهَمِّيْ وَحُزْنِيْ . اَللهم زَيِّنْ بِهِ لِسَانِيْ . وَجَمِّلْ بِهِ وَجْهِيْ . وَقَوِّ بِهِ جَسَدِيْ وَثَقِّلْ بِهِ مِيْزَانِيْ . وَقَوِّنِيْ عَلَى طَاعَتِكَ وَاَطْرَفَ النَّهَارِ
Setiap santri Al-Manshur Popongan mesti hafal do’a tersebut, karena doa karya Mbah Manshur itu selalu dibaca sebelum mengaji Al-Qur’an, baik pengajian Al-Qur’an setelah shalat Maghrib, Subuh, maupun Dhuhur.
Diantara santri atau murid Thariqah Naqsyabandiyah-Khalidiyah Mbah Manshur banyak yang masyhur atau dikenal sebagai seorang waliyullah, seperti ; Mbah Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), Mbah Arwani Amin (Kudus), Mbah Abdul Mi’raj (Candisari, Semarang), Mbah Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Surakarta), Mbah Salman Dahlawi (Popongan, Klaten), Mbah Ru’yat (Kaliwungu, Kendal) dan lain-lain
Wallahu A’lam
Sumber : Website Ponpes Al-Manshur, Popongan