Keteladanan merupakan kunci. Kalimat tersebut adalah simpul untuk menggambarkan bahwa para ulama pesantren tidak hanya berjuang secara fisik dan jiwa melawan penjajah, tetapi juga keteladanan nyata dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat Indonesia kala itu. Pergerakan nasional, baik yang dilakukan oleh para santri dan tokoh-tokoh nasionalis tidak pernah terlepas dari nasihat, bimbingan, arahan, doa para kiai.
Tidak terpungkiri bahwa perbedaan pandangan kerap terjadi. Bahkan seringkali menimbulkan perdebatan. Namun, para ulama memberikan teladan meskipun perbedaan pandangan tersebut menyeruak dan menjadi perhatian masyarakat. Justru tokoh-tokoh tersebut menjadi panutan seutuhnya, baik ketika menyikapi persamaan atau perbedaan.
Seperti terlihat ketika KH. Hasyim Asy’ari berbeda pendapat terkait penggunaan terompet dan genderang yang dipakai oleh Barisan Ansor NU (BANU). Kiai Hasyim Asy’ari membolehkan para pemuda Ansor menggunakan terompet dan genderang sebagai simbol penyemangat gerakan. Sedangkan telah sejak lama KH. Raden Asnawi Kudus mengharamkannya.
KH. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa ketika itu Hadhratussyekh memperlihatkan sepucuk surat dari Kiai Asnawi kepada putranya, KH. Wahid Hasyim. Selama Hadhratussyekh bercakap-cakap dengan putranya, Saifuddin Zuhri amat terpesona terhadap Kiai Hasyim Asy’ari yang merupakan ulama besar itu.
Usia Kiai Hasyim Asy’ari kala itu (5 Desember 1940) mendekati 70 tahun, karena dilahirkan pada hari Selada Kliwon, 24 Dzulqo’dah 1287 atau 14 Februari 1871. Bicaranya amat jelas sejelas sasarannya. Sikapnya ramah-tamah, air mukanya jernih dan selalu menyenangkan hati para tamunya. Bahkan tak jarang Hadhratussyekh melayani sendiri para tamunya dengan membawa makanan dan minuman yang dihidangkan meski ada khadam (pelayan) khusus yang melayani sang tamu.
Sikap terhadap sesama ulama pun sangat hormat, sekalipun kepada yang lebih muda. Tidak jarang kepada ulama yang sebaya usianya, apalagi kepada yang lebih tua, ia menganggapnya sebagai guru. Tak mengherankan ketika berbicara mengenai Kiai Raden Asnawi, ia menyebutnya dengan, “guru saya yang mulia, Kiai Raden Asnawi Kudus”.
Hadhratussyekh memperlihatkan surat Kiai Asnawi kepada KH. Wahid Hasyim. Surat tersebut ditulis menggunakan bahasa Arab yang amat sempurna. Ia memperlihatkan kepada putranya bagian-bagian yang dirasa amat berat dalam bahasa Arab (Kiai Hasyim Asy’ari biasa berbicara kepada putranya dalam bahasa Arab. Tetapi sebaliknya, Kiai Wahid Hasyim melayani pembicaraan ayahnya dalam bahasa Jawa halus, kromo inggil. Bukan karena bahasa Arab Kiai Wahid Hasyim kurang sempurna, tetapi untuk memperlihatkan sikap tawadhu kepada orang tuanya).
|
KH.R. Asnawi Kudus |
Lalu Kiai Hasyim Asy’ari mengalihkan perhatiannya kepada Saifuddin Zuhri. “Saudara Saifuddin, saya baru menerima sepucuk surat dari guru saya yang mulia Kiai Raden Asnawi Kudus. Ini dia suratnya.” Meskipun diperlihatkan kepadanya, Saifuddin Zuhri bersikap pasif saja. Ia merasa terlampaui kecil untuk melibatkan diri dengan kedua ulama besar tersebut. Karena itu, Saifuddin hanya menanggapinya dengan, “inggih, inggih” seperti yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Hasyim Asy’ari berkata, “Aku merasa susah sekali, karena Kiai Raden Asnawi guru saya itu marah kepada saya. Sebabnya, karena saya mengizinkan terompet dan genderang yang dipergunakan anak-anak kita, Ansor NU, padahal Kiai Raden Asnawi mengharamkannya.”
Hadhratussyekh kemudian bercakap-cakap dengan putranya dalam bahasa Arab. Dalam percakapan itu, Hadhratussyekh meminta pertimbangan putranya, apakah tidak sebaiknya surat tersebut dijawab dengan lemah lembut dan dikirimkan lewat kurir. Sebab, menurut Kiai Wahid Hasyim, persoalan perbedaan pandangan itu diharapkan selesai sebelum perhelatan Muktamar ke-15 NU di Surabaya pada 1940 dibuka.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!