Pertanyaan :
Assalamua'alaikum wr. wb. Saya adalah seorang karyawan salah satu perusahaan di Bandung, semenjak saya bekerja selama kurang lebih 3 tahun di sini. Sering saya mendapatkan perasaan khawatir akan sah atau tidaknya sholat yang saya laksanakan di masjid yang berlokasi di area perusahaan, dikarenakan pengurus masjid di perusahaan tempat saya bekerja bukanlah dari golongan madzhab Imam Syafi'i dan bukan pula dari NU, pengertian dan pelaksanaan rukun sholat yang pertama yaitu niat mereka berbeda dengan apa yang selama ini saya lakukan. Setahu saya, niat itu ditekadkan di dalam hati berbarengan dengan takbiratul ikhram dalam sholat (sesuai dengan keterangan Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Syarah Safinatunnaja). Mengenai hal ini saya ingin bertanya kepada pakar NU, apakah sah sholat saya jika saya berjama’ah dengan mereka? atau sebaiknya saya sholat munfarid saja? Bagaimana pula dengan sholat Juma'at saya, mengingat ada pula perbedaan dalam pelaksanaannya juga tidak ada 40 orang mukim walaupun kapasitas masjid dan jama’ahnya ada lebih dari 1000 orang? Besar harapan saya untuk segera mendapatkan jawaban mengenai hal ini. Wassalamu'alaikum wr. wb.
Jawaban :
Wa’alaikum salam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa persoalan bermakmum kepada orang yang menganut madzhab yang berbeda memang acapkali mengemuka di kalangan masyarakat bawah. Perbedaan antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam soal furu`.
Meskipun perbedaan ini menyangkut soal furu` tetapi faktanya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi umat di bawah. Kebingungan ini lahir karena shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah, tetapi dalam pandangan makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.
Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca basmalah, padahal dalam Madzhab Syafi’i basmalah termasuk bagian dari surah Al-Fatihah. Atau dalam soal wudhu, di mana menurut pendapat Madzhab Syafi’i, wudhu itu harus tertib, tetapi imam dalam melakukan wudhu tidak tertib. Menurut Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat.
اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:
“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab Hanafi, atau Maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surah Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)
Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh Imam al-Qaffal. Menurut al-Qaffal, bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Kesahan ini dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri.
Artinya, karena imam meyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.
أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ
“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua menyatakan tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan yang dikemukan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap melakukannya.
وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ
“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajibannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Dari pendapat kedua ini maka lahirlah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.
وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ
“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat sahnya shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Selanjutnya adalah pendapat yang keempat. Pendapat ini menyatakan bahwa jika imam telah terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan sahnya shalat dalam pandangan madzhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya.
Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang menjadi kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya, maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab Syafi’i.
وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ
“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Imam Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab Syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat sahnya shalat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat sahnya shalat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitan. Jadi, empat pendapat tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam melakukan apa yang diwajibkan atau disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya.
Penjelasan ini dapat membantu untuk menjawab pertanyaan mengenai shalat Jum’at dengan orang yang tidak mensyaratkan adanya empat puluh orang mukim. Karena jumlah empat puluh orang merupakan syarat sahnya shalat Jum’at, maka shalat Jum’at anda tentu tidak sah karena tidak terpenuhi jumlah tersebut. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah dan boleh.
Sedang mengenai perbedaan dalam niat antara imam dan makmum sepanjang yang kami ketahui tidak ada persoalan. Tetapi jika ternyata dalam pelaksanaan shalat diketahui secara pasti bahwa imam misalnya tidak membaca basmalah, sedangkan anda mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah maka shalat anda tidak sah.
Dalam kondisi seperti ini maka sebaiknya anda bermakmum dengan orang yang sepaham dengan anda, jika tidak ditemukan maka shalat munfarid. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah.
Dari penjelasan yang kami kemukakan dapat dipahami bahwa inti permasalahannya bukan terletak pada apakah imam menganut madzhab yang berbeda atau tidak. Tetapi apakah imam telah memenuhi apa yang menjadi syarat-rukun atau kewajiban yang kita yakini atau tidak.
Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan karena keterbatasan ruang dan waktu. Jika dirasa kurang memuaskan kami mohon maaf, dan bisa dilanjutkan pada kesempatan lain. Kami selalu terbuka menerima saran, kritik dan koreksi atas jawaban yang kami kemukakan.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU