Sejak zaman penjajahan Belanda hingga Nippon (Jepang), pesantren menjadi basis kuat perlawanan rakyat Indonesia terhadap ketidakperikemanusiaan kolonial. Hal itu dibuktikan ketika pesantren dan para kiai senantiasa menjadi bidikan para penjajah untuk ditundukkan dengan segala cara, baik dengan mengajak kerja sama maupun memenjarakan para kiai.
Langkah memenjarakan kiai dengan tuduhan mengajak masyarakat melakukan pemberontakan terhadap penjajah Jepang terjadi pada tahun 1943, dua tahun sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Di antara kiai yang digelandang Tentara Nippon yaitu Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947).
Awalnya Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) itu dipenjarakan di Jombang, lalu dipindah ke Mojokerto. Selama masa itu, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang tersebut mengalami penyiksaan teramat berat dan pedih dari para serdadu Nippon. Namun, keteguhan dan kekuatan spiritualnya mengalahkan rasa sakit dan pedihnya ketika jari-jemarinya remuk dipukuli tentara Jepang.
Dipenjaranya KH. Hasyim Asy’ari memantik perlawanan dari ribuan santrinya. Mereka ramai-ramai menggeruduk penjara Jepang di Jombang sehingga mereka terpaksa harus memindahkan ayah KH. Abdul Wahid Hasyim itu ke Mojokerto. Langkah tersebut sekaligus disadari oleh Jepang bahwa langkah mengurung KH. Hasyim Asy’ari merupakan kesalahan besar sehingga langkah diplomasi perlu dilakukan.
Langkah diplomasi ini memang sekuat tenaga dilakukan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Tujuan utama Kiai Wahid agar bisa membebaskan ayahnya atas tuduhan mengada-ada para tentara Jepang yang memicu perlawanan para santri dan rakyat Indonesia ketika itu. Hal ini menjadi kekhawatiran Jepang sendiri akan munculnya perlawanan yang lebih besar bangsa Indonesia terhadap kolonialismenya.
Ya, Jepang memperoleh informasi yang salah ketika menuduh KH. Hasyim Asy’ari memobilisasi rakyat untuk melakukan pemberontakan di daerah Cukir, sekitar Jombang. Akhirnya kesepakatan diperoleh, Jepang mau membebaskan KH. Hasyim Asy’ari dengan syarat beliau mau diangkat sebagai Shumubucho, Kepala Jawatan Agama yang dulunya dijabat oleh seorang Jepang Kolonel Horie.
Di sinilah politik kompensasi dilakukan oleh Jepang untuk menarik perhatian rakyat Indonesia karena KH. Hasyim Asy’ari mempunyai pengaruh yang sangat luas. Lantas, apakah kakek KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menerima dan setuju kemauan penjajah Jepang itu? “Setuju, meski ada tapinya,” ujar KH. Wahid Hasyim ketika ditanya KH. Saifuddin Zuhri terkait kondisi ayahnya. (Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Bagi KH. Hasyim Asy’ari seperti yang diterangkan oleh KH. Wahid Hasyim, menerima tawaran Kolonial Jepang lebih bijaksana daripada menolaknya. Alasannya sederhana, jika menolak bisa dianggap oleh Jepang sebagai sikap yang tidak mau kerja sama. Jangan dilupakan, Hadlratussyekh baru saja mengalami penderitaan selama lima bulan di penjara. Akan tetapi jabatan tersebut diserahkan kepada KH. Wahid Hasyim karena kondisi sepuh KH. Hasyim Asy’ari yang tidak memungkinkan mondar-mandir Tebuireng-Jakarta, selain alasan harus mengasuh dan memangku pesantren.
Nampak, bahwa KH. Hasyim Asy’ari sedang memberi keteladanan kepada para pejuang muda bahwa arti perbuatan bijaksana itu bukanlah untuk menjatuhkan pilihan terhadap yang benar dan yang salah serta terhadap yang baik atau buruk, tetapi menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang sama-sama salah atau yang sama-sama buruk, namun diharuskan memilih salah satunya berhubung dengan situasi yang mengharuskan untuk memilih.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!