Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 bukan akhir dari sebuah perjuangan melepaskan diri dari kungkungan penjajah. Belanda (NICA) yang membonceng pasukan sekutu (Inggris) berupaya melakukan agresi militer untuk merebut kembali tanah jajahan dari Nippon (Jepang) yang menyerah kepada sekutu setelah kota Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur oleh bom atom.
Dalam situasi yang belum relatif mencapai titik kondusif, para pejuang dari kalangan pesantren yang sejak awal melakukan perjuangan melawan penjajah tetap siap dan siaga terhadap situasi tersebut. Puncaknya pada tanggal 22 Oktober 1945 ketika Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad.
Seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tergerak mengangkat senjata untuk mengusir tentara sekutu karena fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa membela tanah air hukumnya wajib. Adapun yang gugur dalam agresi militer Belanda kedua adalah syahid. Fatwa KH. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa pondasi agama penting dalam setiap upaya perjuangan untuk kepentingan orang banyak.
Puncak perlawanan sejak dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Kaum santri dan semua elemen rakyat menghadang tentara sekutu di Surabaya. Kota tersebut berhasil direbut, tentara sekutu takluk, kemerdekaan tetap bisa dipertahankan.
Kini, tanggal 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Sedangkan tanggal 22 Oktober 1945 ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Dua hari nasional tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan, karena tanggal 22 Oktober merupakan momen titik balik perjuangan dahsyat pada tanggal 10 November.
Dua tahun berlalu, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum menemui titik surut. Bahkan dalam catatan KH. Saifuddin Zuhri (Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001) pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia. Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah maupun Sabilillah.
Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap shalat dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.
Sebab, serangan pada tanggal 21 Juli 1947 tersebut, daerah RI semakin menciut. Istilah KH. Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya.
Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda tanggal 21 Juli 1945 tersebut. Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah Malang ini sangat mengejutkan Hadlratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), KH. Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.
Begitu berita buruk itu disampaikan, KH. Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil menyebut nama Allah SWT: “Masya Allah, Masya Allah!” lalu beliau pingsan tak sadarkan diri. Hadlratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.
Utusan Panglima Besar Jendral Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya kota Malang tidak sempat ditemui oleh Hadlratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H. bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KH. Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya dengan membawa kepedihan mendalam atas apa yang menimpa bangsa Indonesia.
Kalangan pesantren berduka, rakyat Indonesia menangis ditinggalkan ulama kharismatik dan pejuang. Mereka seakan tidak percaya ditinggalkan seorang kiai pejuang yang selama ini menjadi sandaran dan panutan. Apalagi dalam kondisi saat itu, rakyat masih membutuhkan perannya sebagai penggerak dalam upaya-upaya pergerakan nasional.
Namun demikian, pengalaman mengusir Belanda dalam peperangan hebat pada tanggal 10 November 1945 berkat fatwa Resolusi Jihad NU yang dicetuskan KH. Hasyim Asy’ari, rakyat Indonesia termasuk laskar santri dalam Hizbullah dan Sabilillah tetap mampu mempertahankan diri dari agresi Belanda. Hingga akhirnya pada bulan Desember 1947 bangsa Indonesia benar-benar merdeka dengan perjuangan dan kerja keras.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!