Lahir dan masa belajar
Suatu ketika datang seorang pemuda ke negeri Irak dan menetap di daerah bernama Batha’ih, tepatnya di desa Ummi Abidah. Kemudian pemuda yang biasa disebut Ali itu menyunting salah satu saudari Syaikh Manshur (salah satu ulama terkemuka dan zuhud) yang bernama Fatima. Dari jalinan kasih keduanya, mereka dikarunai beberapa putra. Di antaranya adalah Sayyid Ahmad ar-Rifai.
Menurut sebagian riwayat, Sayyid Ahmad ar-Rifa’i lahir pada awal bulan Muharam tahun 500 H. di Irak. Sebelum lahir, ar-Rifa’i sudah dibanggakan oleh sejumlah ulama terkemuka kala itu, di antaranya Syaikh al-Kabir Tajul Arifin Abul Wafa, Syaikh Mansur, Syaikh Ahmad Khumais dan lainnya.
Nasab ar-Rifa’i
Garis keturunan ar-Rifa’i bersambung kepada Nabi Muhammad saw. dari jalur Sayyidina Husain, cucu Rasulullah saw. Lengkapnya sebagai berikut; ar-Rifai bin Ali bin Yahya bin Sayyid Tsabit bin Hazim Ali bin Sayyid Ahmad bin Ali bin Hasan bin Rifa’ah al-Hasyimi al-Makki bin Sayyid Mahdi bin Abil-Qasim Muhammad bin Hasan bin Sayyid Husain ar-Radli bin Sayyid Ahmad al-Akbar bin Musa ast-Tsani bin Ibrahim al-Murtadla bin Sayyid Musa al-Kadzim bin Sayyidina Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyid Zainal Abidin Ali As-Sujjad bin Sayyid Husain bin Sayyidina Ali Amirul Mu’minin dengan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw. Sedangkan dari jalur ibu, nasab ar-Rifa’i bersambung kepada salah satu sahabat Nabi yang bernama Abu Ayyub al-Anshari.
Masa-Masa Belajar
Ar-Rifa’i kecil lahir sebagai anak yatim. Beliau tidak pernah merasakan indahnya bercanda dengan sang ayah, tidak pernah merasakan hangatnya pelukan dan kasih sayang dari ayah tercinta. Beliau juga tidak pernah menerima petuah dan ilmu agama darinya. Sebab, sang ayah telah dipanggil Ilahi Rabbi ketika ar-Rifa’i masih berada dalam kandungan. Hanya saja, hal itu tidak membuatnya kecil hati. Beliau tetap semangat dalam mencari ilmu. Sejak kecil ar-Rifa’i diasuh oleh pamanya, Syaikh Mansur. Ar-Rifa’i belajar kepada pamannya, tentang tarekat Sufiyah, ilmu Tasawuf, ilmu Syariah dan Hakikat. Bahkan ar-Rifa’i mendapat ijazah dari sang paman. Sedangkan dalam ilmu Fiqih, ar-Rifa’i belajar kepada Abul-Fadhl al-Wasithi yang dikenal dengan Ibnul-Qari. Selain itu beliau juga belajar kepada beberapa ulama dengan rajin dan giat sampai berumur 27 tahun. Di antara gurunya adalah Syaikh Abu Bakar al-Wasthi.
Mendapat Ilmu Laduni
Semenjak kecil ar-Rifa’i tekun menuntut berbagai disiplin ilmu. Setiap ada majlis ta’lim, ar-Rifa’i tidak pernah absen untuk mengikutinya. Sebab ketekunan dan istiqamahnya, Allah swt. menganugerahinya ilmu rohbani, yaitu ilmu ladunni, ilmu yang langsung diberi oleh Allah. Tak pelak, jika saat ar-Rifa’i tumbuh dewasa beliau tampil sebagai rujukan masyarakat. Semua persoalan yang terjadi langsung dijawab oleh ar-Rifa’i secara detail lengkap dengan referensinya.
Pernah suatu ketika, di sebuah desa bernama Ummu Ubaidah, para pejabat, pembesar ulama, masyayikh dan masyarakat umum berlebur mengikuti pengajian Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Pengajian yang saat itu diikuti sekitar 100.000 orang. Semua berbondong-bondong mendengarkan nasihat dan mauidhahnya. Setelah pengajian, pembesar ulama Irak dan ulama lainnya mendatangi ar-Rifa’i guna menanyakan tentang masalah agama. Aneka ragam pertanyaan tentang Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih dan lainnya segera dilontarkan kepadanya. Pertanyaan itu mencapai 200 soal seputar problema aktual masyarakat. Semua itu dijawab oleh ar-Rifa’i tanpa merubah tempat duduknya. Lalu ada hadirin yang berdiri seraya berkata, “Apakah kalian sudah cukup dengan ini?, demi Allah, seandainya kalian bertanya pada ar-Rifa’i segala bidang ilmu, maka dengan izin Allah ar-Rifa’i menjawab semua pertanyaan itu tanpa paksaan.” Lalu ar-Rifa’i tersenyum dan berkata, “Ajaklah mereka, untuk bertanya padaku sebelum aku tiada dari dunia ini. Karena sesungguhnya dunia sirna, sedangkan Allah swt. berada dimana-mana.”
Syahdan, di ruangan masjid terdengar suara menggemuruh, suara tangis menghiasi suasana majlis. Pengajian itu dibanjiri dengan tetesan air mata dari para jamaah, semua menangis mendengarkan perkataan ar-Rifa’i. Bahkan, 5 orang sampai meninggal. Lebih jauh, sebanyak 80.000 jamaah langsung memeluk Islam, sementara 40.000 jamaah menyatakan bertobat.
Mencintai Anak-anak Yatim dan Orang Miskin
Ar-Rifa’i tumbuh sebagai pribadi yang disegani oleh masyarakat. Baik dari kalangan atas ataupun kalangan bawah. Ini bisa dilihat dari kebiasaan beliau bermasyarakat. Selain ibadah dan zikir kepada Allah swt., beliau tidak serta merta melupakan masyarakat sekitarnya. Terlihat ar-Rifa’i suka berkumpul bersama anak yatim dan fakir-miskin. Setiap hari ar-Rifa’i mendidik dan mengajar anak yatim tentang Syariat Islam. Ar-Rifa’i juga sering memberi makan dan bingkisan kebutuhan sehari kepada mereka. Rasa sayang ar-Rifa’i kepada anak yatim tak ubahnya ia menyayangi keluarganya sendiri, sehingga terkadang ar-Rifa’i merasa iba dan terharu saat melihat anak yatim menangis. Ar-Rifa’i berkata, “Ketika saya melihat anak yatim menangis, maka seluruh badanku bergoncang keras.” Dan tanpa terasa deraian air mata membasahi pipi ar-Rifa’i.
Selain sangat cinta kepada anak yatim, ar-Rifa’i juga hobi bercengkrama dengan masyarakat yang kurang mampu. Hampir setiap hari beliau bersama mereka. Bahkan, beliau sering memenuhi kebutuhan mereka serta memberinya uang tanpa meminta imbalan dan banyak pertanyaan. Pada suatu hari, ar-Rifa’i mengumpulkan kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul ar-Rifa’i lalu membagi-bagi kayu itu kepada orang miskin, anak nyatim, orang sakit, tokoh masyarakat dan kepada teman-temanya. Ar-Rifa’i juga sering berkumpul makan dengan mereka, bahkan beliau juga pernah mencucikan baju temanya tanpa ada rasa malu. Semua itu beliau lakukan sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah swt. Ar-Rifa’i berkata, “Syafaqah (kasih sayang) kepada saudara kita termasuk media yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt”.
Sebab, kasih sayang ar-Rifa’i pada mereka, ar-Rifa’i mendapat gelar Abal-Aytam dan Abal-Miskin (ayah anak yatim dan orang miskin). Berkat kemuliaan akhlak dan kasih sayangnya, banyak masyarakat yang memeluk ajaran Islam. Selain kepada anak yatim dan golongan miskin, kasih sayang ar-Rifa’i juga kepada para ulama, tokoh masyarakat, tetangga, guru, orang buta, orang sakit dan orang pincang.
Pujian Dari Para Ulama
Perangai seorang ulama besar memberikan dampak yang sangat baik bagi masyarakat umum. Terutama dari para ulama baik dari para Muhadditsin, para Fuqaha’. Semua mengakui atas kewalian dan ibadah yang beliau tekuni. Salah satunya adalah dari ulama fiqih yang populer di kalangan ulama, ia adalah Imam Ar-Rafi’i (ulama fiqih). Imam Ar-Rafi’i berkata dalam salah satu naskahnya, “Bercerita padaku as-Syaikh Abu Syuja’ as-Syafi’i, beliau bercerita, ‘As-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i adalah sosok ulama yang tenggelam dalam keilmuan, ilmu yang didapat menancap di dadanya, muhaddits dan faqih (faham dalam masalah fiqih), mufassir yang mempunyai sanad yang lengkap’.”
Imam adz-Dzahaby ra. berkata tentang biografi Imam Ahmad ar-Rifa’i, “Imam Ahmad ar-Rifa’i adalah termasuk imam (pemimpin), ahli ibadah, zuhud (tidak senang dengan dunia), dan Syaikhul-arifîn (guru para ma’rifatullah). Dan masih banyak ulama baik dari bidang hadits, fiqih dan sejarah mengakui atas kewalian dan perangai sebagai hamba yang selalu ingat pada Allah. Dan juga banyak yang tertarik untuk menceritakan biografi Imam Ahmad Ar-Rifa’i, di antaranya Imam as-Suyuti, Imam ar-Rafi’i, Imam adz-Dzahaby dalam kitab sejarahnya, dan lain-lainya.
Zuhud dan Tawadhu’
Al-Imam Al-Ghast Al-Qathbu Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i setiap hari selalu dihiasi dengan sosok hamba yang tidak senang dunia. Beliau pasrahkan segala sesuatu pada Allah. Sifat zuhud inilah yang membuat beliau diangkat menjadi Auliya’ullah. Beliau juga selalu merendahkan diri di hadapan manusia. Sifat kewalian yang beliau miliki tidak membuat beliau angkat kepala di hadapan para manusia, bahkan beliau diangkat derajatnya karena sifat zuhud dan tawadhu’ beliau.
Imam ar-Rifa’i pernah berkata, “Selama aku menempuh suluk kepada Allah swt., aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih dekat (kepada Allah), lebih gampang, dan lebih baik dari kefakiran dan hina”. Beliau lalu ditanya, “Bagaimana bisa itu terjadi, Wahai Sayyidku?”. Beliau menjawab, “Muliakanlah perintah Allah swt., berbelas kasihlah pada hamba Allah, dan ikutilah sunnah Rasulullah saw.”
Mendengar Suara Ghaib
Imam ar-Rifa’i termasuk pembesar ulama yang sangat masyhur di zamannya. Beliau sempat terkenal sebab kejadian yang menggegerkan jamaah haji yang menyertainya. Keajaiban sebuah karomah tampak kepada para jamaah haji, yaitu beliau mencium dan mendengar jawaban Rasulullah saw.
Diceritakan, sebelum berangkat haji salah satu jamaah Imam Ahmad ar-Rifa’i, as-Syaikh al-Jalil al-Fadhil Abu Hafidz Umar al-Farumi, berada di majlis Imam Ahmad ar-Rifa’i. Semua ulama, masyarakat di tempat dan pejabat berkumpul di majlis guna mengikuti pengajian Imam Ahmad ar-Rifa’i. Saat itu semua jamaah saling berdiskusi tentang masalah agama dan ada juga yang bercerita tentang keajaiban dan karomah seorang wali. Semua permasalahan langsung ditanyakan pada Imam Ahmad ar-Rifa’i. Pada saat Imam Ahmad ar-Rifa’i ditanya tentang asrarul gharibah (kejadian yang asing) dan asrarul ‘ajibah (di balik rahasia keajaiban), Imam Ahmad ar-Rifa’i tiba-tiba berdiri sambil melihat ke atas, seraya berkata, “Telah nampak perkara yang benar dan telah jelas kebenaran. Aku mendengar suara sedang memanggilku, ‘Wahai Ahmad, berdirilah dan pergilah ke Baitullah, dan berziarahlah ke makam datukmu saw. Karena sesungguhnya disana engkau akan mendapat pesan berupa dakwah dari Rasulullah saw.’ Setelah kejadian aneh itu Imam Ahmad ar-Rifa’i berangkat bersama para rombongan jamaah haji.
Mencium Tangan Rasulullah saw.
Pada tahun 555 H. saat itu Imam ar-Rifa’i berumur 43 tahun, beliau berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji. Setelah di Mekkah beliau pergi ke Madinah untuk beziarah ke makam datuknya Rasulullah saw. Setelah sampai di Madinah, ar-Rifa’i dan para jamaahnya menuju masjid makam Rasulullah saw. di masjid Nabawi. Saat itu nampak pada para jamaah, karomah Imam ar-Rifa’i, para jamaah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Rasulullah saw. menjawab salam dari Imam ar-Rifa’i. Ar-Rifa’i berkata “Assalamu ‘alaikum Wahai datukku.”. Lalu datang dari dalam Hujroh Rasulullah suara, “Wa’alaikum salam Wahai anakku”. Ar-Rifai lalu masuk ke dalamnya dalam keadaaan gemetar dan menggigil sehingga warna kulitnya menjadi kekuning-kuningan dan ar-Rifai berlutut sambil menangis seraya berkata, “Dari kejauhan aku kirimkan ruhku untuk selalu mengingatmu sebagai perwakilanku, maka dalam kesempatan ini aku bisa melihat dengan seluruh jasadku padamu secara kasat mata. Maka aku mohon ulurkanlah tanganmu agar aku bisa mencium tanganmu”.
Syahdan, tangan Rasulullah saw. keluar dari makamnya, ar-Rifai’ pun langsung menciumnya, sebagaimana yang diminta oleh ar-Rifa’i. Semua jamaah haji yang ikut serta melihat dan mendengar langsung karomah Imam as-Syaikh al-Mursyid al-Ghaits az-Zahid al-Arif imamul-Akbar Sayyid Abul Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir. Kejadian ini 23 tahun sebelum Imam ar-Rifa’i dipanggil di pangkuan Allah (wafat).
|
Makam Imam Ar-Rifa'i |
Dibaiat Langsung Oleh Rasulullah saw.
Pada waktu Imam Ahmad ar-Rifa’i mencium tangan Rasulullah saw., beliau dibaiat langsung oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. berkata pada Imam ar-Rifa’I, “Wahai anakku, pakailah selendang hitam dan naiklah ke atas mimbar lalu berkhutbahlah di depan para manusia. Baiat ini aku serahkan padamu dan kepada keturunanmu hingga hari kiamat”. Lalu ar-Rifa’i keluar dan melaksanakan perintah dari Rasulullah saw. Semua jamaah haji yang hadir saat itu mencapai 90.000 orang, semua menyaksikan langsung karomah dan pembaiatan Imam ar-Rifa’i.
Dilihat Langsung Oleh Sulthanul Auliya’ Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Di antara jamaah yang yang melihat langsung kejadian itu mulai dari para ulama, tokoh masyarakat, pejabat, dan masyarakat umum dari menengah atas hingga masyarakat bawah. Di antara ulama adalah Sulthanul Auliya’ as-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Sayyid Adiy bin Musafir as-Syamy, as-Syaikh Ali bin Khamis, as-Syaikh Hayat bin Qais al-Harany.
Wali al-Ghauts al-Qutb
Ar-Rifa’i tumbuh sebagai pribadi yang alim, zuhud, wara’, seorang ahli ibadah, ahli tasawuf, dan ahli fiqih yang bermadzhab Syafi’i. “Imam ar-Rifai adalah seorang panutan, zuhud dan gurunya orang yang ma’rifat.” kata Imam adz-Dzahabi.
Beliau termasuk salah satu wali al-Qutb al-Ghauts. Beliau memiliki banyak pengikut dan santri. Mayoritas mereka dari kalangan orang fakir. Mereka diberi nama ar-Rifa’iyah, Ahmadiyah dan Batha’ihiyah. Jika malam Nisfu Sya’ban tiba, orang-orang yang datang mengikuti majlis beliau kurang lebih 100.000 jiwa. Konon, santri-santri beliau memiliki kehebatan memukau. Mereka mampu menunggangi hewan liar, bermain ular bahkan mereka tidak segan-segan melompat dari pohon kurma yang begitu tinggi. Anehnya, mereka baik-baik saja dan tidak merasakan sakit sedikitpun.
Diangkat Menjadi Pemimpin Para Wali
Sebagaimana sudah diketahui di antara para jumhurul-ulama’ bahwa Imam ar-Rifa’i termasuk dari para kekasih Allah. Bahkan beliau termasuk juga dari king of the king para kekasih Allah saat itu. Ini bisa dilihat dari salah satu mimpi yang dilihat oleh khala-nya (paman dari ibu) Imam ar-Rifa’i, ia adalah Sayyid as-Syaikh Mansur al-Anshari. Beliau (paman Imam ar-Rifa’i) berkata, “Saya bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., 40 hari sebelum anak dari saudara perempuan saya dilahirkan, lalu Beliau saw. berkata kepadaku, ‘Wahai Manshur, saya membawa berita gembira kepadamu bahwa Allah memberi karunia seorang anak setelah 40 hari, dia bernama Ahmad ar-Rifa’i, dia juga sama seperti halnya aku, bila aku adalah pemimpin para anbiya’, maka keponakanmu (Imam ar-Rifa’i) adalah pemimpin para auliya’ullah’.”
Setelah Imam ar-Rifa’i lahir ke alam dunia, beliau menjadi sosok bocah yang ahli ibadah. Meski umur yang masih balita, beliau sudah beribadah seperti halnya seorang dewasa. ketika beliau masih kecil beliau sudah berpuasa satu hari full. Dikatakan dari saudara radha’ (sesusuan) Imam ar-Rifa’i pada bulan Ramadhan, “Sesungguhnya Ahmad tidak mau meminum susu pada waktu siang hari, maka saya menyangka bahwa ada sesuatu yang tidak membuat dia suka. Tapi ketika matahari terbenam, Ahmad menerima dan mau meminum susunya”.
Ditunjuk Oleh Rasulullah saw.
Beliau tumbuh menjadi seorang pemimpin thariqah Ar-Rifa’iyah dan menjadi Wali yang zuhud (tidak mau dunia), ‘arif (ma’rifatullah), ‘alim, dan dermawan. Jamaah yang mengikuti thariqah Ar-Rifa’iyah semakin pesat. Satu persatu orang datang untuk mengikuti thariqah dan suluk Imam ar-Rifa’i ,untuk sampai kepada Allah, mulai dari tingkatan atas sampai tingkatan bawah. Beliau juga menjadi rujukan para pengikutnya dalam masalah wushul dan suluk kepada Allah. Sebagaimana dialami oleh Imam Muhammad Mahdi ar-Rawwas yang mendapat taujihat dari Rasulullah saw. dalam mimpinya. Imam Mahdi ar-Rawwas berkata dalam mimpinya, “Saya memimta petunjuk pada Rasulullah, ‘Berilah saya jalan menuju kebenaran Wahai, Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Al-Qur’anul Karim adalah jalan yang kamu cari’. Saya mengadu lagi, ‘Berilah saya jalan (suluk) menuju Allah, Wahai, Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Berpegang teguhlah pada anakku yaitu Ahmad Ar-Rifa’i dan kamu akan sampai kepada Allah. Sedangkan dia adalah Sayyidnya para auliya’ (kekasih) umatku. Setelah auliya’ abad ketiga. Dan dia juga mempunyai derajat yang tinggi daripada auliya’ di masanya’. ” (
bersambung)