Sebelumnya penulis sudah memaparkan enam adab pelajar kepada gurunya menurut Hadratussyekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, sebagaimana tercantum dalam kitab karya beliau, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. Dalam tulisan ini, kami jelaskan adab berikutnya dalam pandangan pendiri Nahdlatul Ulama ini.
Ketujuh, meminta izin kepada guru saat memasuki majelisnya.
Hendaknya saat menghadiri majelisnya guru, pelajar terlebih dahulu permisi meminta izin, di mana pun berada, baik saat gurunya sendirian atau bersama orang lain. Kecuali dalam majelis umum yang disediakan untuk siapapun yang mau mengikuti, maka tidak perlu izin. Ketika guru mengetahui keberadaan murid dan tidak mengizinkannya untuk berada di sebuah majelis, maka sebaiknya murid langsung beranjak dan tidak perlu mengulangi untuk meminta izin.
Bila pelajar ragu apakah sang guru mengetahui keberadaannya atau tidak, maka boleh mengulangi untuk meminta izin, namun sebaiknya tidak lebih dari tiga kali. Saat mengetuk pintu kamar sang guru, sebaiknya dengan pelan, sopan, menggunakan kuku, tidak dengan suara keras yang dapat mengganggu kenyamanan beliau.
Saat guru mempersilakan masuk dan yang sowan adalah orang banyak, maka sebaiknya dipimpin oleh murid yang paling utama dan senior, selanjutnya satu persatu dari mereka mengucapkan salam.
Saat sowan menghadap guru, hendaknya dengan penampilan sebaik mungkin, suci dan bersih badan serta pakainnya, kukunya dipotong, wangi baunya. Terlebih saat berada di majelis ilmu, harus lebih perfect lagi penampilannya, sesungguhnya majelis ilmu adalah majelis dzikir dan ibadah.
Saat hendak menemui guru sementara beliau sedang bercakap-cakap dengan orang lain, atau tengah melakukan aktivitas seperti berdzikir, shalat dan lainnya, maka hendaknya murid diam, tidak boleh mengawali pembicaraan. Sebaiknya ucapkan salam dan segera keluar, kecuali gurunya memerintahkan untuk tetap berada di tempat. Saat diam menunggu guru, hendaknya tidak terlalu lama, kecuali bila ada perintah dari guru.
Saat tiba waktu belajar, sementara gurunya belum datang atau sedang istirahat, hendaknya sabar menanti sampai beliau datang, atau boleh juga pulang terlebih dahulu lalu kembali lagi, namun sebaiknya tetap bersabar menunggu guru di tempat mengaji. Pelajar tidak perlu mengetuk pintu guru atau membangunkannya dari istirahat.
Sebaiknya murid tidak membuat-buat waktu sendiri, waktu khusus untuk dirinya yang berbeda dengan teman pelajar lain. Sebab hal demikian termasuk bentuk kesombongan dan tindakan bodoh, berakibat tidak baik kepada guru dan teman pelajar yang lain. Namun, bila sang guru terlebih dahulu menawari memberi waktu khusus, misalkan karena ada udzur yang menghalanginya untuk belajar bersama teman-teman pada umumnya atau guru memiliki pertimbangan tertentu dalam menyendirikannya, maka hal tersebut tidak bermasalah.
Kedelapan, duduk bersama guru dengan penuh etika.
Saat menghadap gurunya, hendaknya dengan posisi yang sopan, semisal duduk berlutut di atas kedua lutut atau seperti duduk tasyahud (namun tidak perlu meletakan kedua tangannya di atas kedua paha), atau duduk bersila, dengan rendah diri, tenang dan khusyu’, tidak boleh menengok kanan kiri tanpa dlarurat, menghadap gurunya dengan keseluruhan tubuhnya, mendengar perkataan guru dengan seksama, memandangnya, mencermati arahannya sehingga guru tidak perlu mengulangi lagi penjelasannya. Tidak perlu menengok kanan-kiri atau arah atas tanpa ada hajat, terlebih saat guru membahas pelajar. Saat ada keramaian di tengah-tengah pelajaran, murid tak perlu belingsatan tak beraturan, dianjurkan tetap tenang.
Dianjurkan pula untuk tidak melipat lengan baju, tidak bermain-main dengan kedua tangan atau kakinya atau anggota tubuh yang lain, tidak membuka mulut, tidak menggerakan gigi, tidak memukul lantai atau benda lainnya, tidak menggenggam jari jemari, tidak bermain-main dengan sarung atau pakainnya, tidak bersandar di tembok atau bantal, tidak membelakangi gurunya, tidak menceritakan hal-hal yang menertawakan atau perbincangan yang tidak pantas.
Tidak banyak tertawa berlebihan di hadapan guru, bila terpaksa harus tertawa dianjurkan tersenyum tanpa bersuara. Sebisa mungkin tidak berdehem, saat terpaksa bersin, hendaknya mengecilkan volume suaranya sebisa mungkin serta menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Ketika menguap, dianjurkan menutup mulut.
Di majelisnya guru, hendaknya menjaga adab beserta rekan-rekannya guru dan segenap hadirin. Selayaknya menghormati teman-teman sang guru atau para seniornya, sesungguhnya bersikap santun kepada mereka adalah bagian dari beradab kepada guru dan menghormati majelisnya. Dianjurkan pula untuk tidak maju atau mundur dari barisan dengan niat membuat halaqah sendiri, tidak berbicara menyimpang saat pelajaran berlangsung atau pembicaraan yang dapat memotong pembahasan.
Ketika sebagian siswa berlaku buruk kepada rekan yang lain, hendaknya tidak membentaknya, hanya gur yang berhak melakukannya, kecuali mendapat mandat dari guru. Ketika gurunya dicaci, wajib bagi segenap siswa secara kolektif untuk membela gurunya, memperingatkan pihak yang mencaci, bila perlu membentaknya. Dianjurkan pula tidak mendahului guru dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab pertanyaan kecuali atas seizinnya.
Termasuk memuliakan guru adalah tidak duduk di sampingnya, tempat salatnya atau selimutnya. Bila gurunya yang memerintahkan, maka sebaiknya menolak, kecuali ia betul-betul yakin gurunya merasakan keberatan atas penolakannya.
KH. Hasyim Asy’ari selanjutnya menyinggung perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai mana yang lebih utama antara mematuhi perintah guru atau menempuh jalan adab. Menurut pandangan Hadlratus Syekh, diperinci. Mematuhi perintah guru lebih utama jika sang guru betul-betul menekankan perintahnya tersebut. Namun bila tidak demikian, maka lebih baik menempuh jalan adab, meski dengan menolak perintah guru. Sebab, bisa jadi gurunya sebatas ingin menguji tatak rama muridnya dan sebatas mana kepedulian siswa terhadap sang guru.
Kesembilan, berbicara yang baik kepada guru.
Sebisa mungkin murid menghindari perkataan “kenapa?”, “saya tidak setuju”, “dari mana keterangannya” dan ucapan protes lainnya di hadapan guru. Bila maksudnya adalah untuk meminta penjelasan dari guru, maka hendaknya dengan tutur kata yang sopan dan pelan-pelan. Lebih baik lagi disampaikan di kesempatan yang lain dengan niatan meminta penjelasan, bukan bermaksud menguji atau menentang gurunya.
Bila penjelasan guru berbeda dengan tokoh yang lain atau literatur yang dibaca murid, tidak sopan pelajar membandingkannya di hadapan guru, misalkan “yang saya dengar anda menjelaskan demikian, sedangkan menurut Syekh ini demikian, menurut kitab ini demiian” “apa yang anda jelaskan tidak benar” dan perkataan yang semisalnya.
Saat guru keliru menjelaskan, murid harus memaklumi. Hal yang demikian hendaknya tidak mengurangi sedikitpun ta’zhimnya kepada sang guru. Sesungguhnya kekeliruan adalah hal yang wajar pada diri manusia, keterjagaan hanya dimiliki oleh para nabi ‘alaihimus shalatu was salam.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com