Dalam
beberapa literatur buku sejarah tentang Kaliwungu dijelaskan, bahwa kedatangan
seorang santri yang bernama Bhatara Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah
atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong
sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan
santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong pada sekitar tahun 1500-an untuk berdakwah
di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” yang batangnya condong ke sungai. Setelah berjalan ke
arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon
itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka,
daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama "Kali Ungu" atau “Kali Wungu” dan sungai yang
ada di dekat pohon tersebut masyarakat menyebutnya dengan nama “Kali Sarean”.
Di
Kaliwungu, Kyai Katong berdakwah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat selama puluhan tahun. Bahkan Kyai Katong berhasil meng-Islamkan pembesar-pembesar
Kaliwungu. Dengan masuknya pembesar-pembesar Kaliwungu ke dalam agama Islam,
akan memudahkan beliau dalam mensyi’arkan ilmu dan ajaran Islam yang beliau
dapat dari Kyai Pandan Arang. Pada masa itu, Kyai Katong berhasil mendirikan
padepokan (Pesantren) di Kaliwungu. Dengan semaraknya ajaran Islam di
Kaliwungu, menjadikan daerah itu menjadi pusat dari bagian wilayah kerajaan
Islam Demak. Sampai-sampai pada saat kerajaan Islam Demak akan menyerang
Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta) pada sekitar tahun 1513 M., Kaliwungu menjadi salah satu pos
peristirahatan bagi pasukan kerajaan Islam Demak. Setelah berdakwah
bertahun-tahun di Kaliwungu, masyarakat pun akhirnya lebih mengenal Kyai Katong
dengan sebutan Sunan Katong.
Wafatnya
Sunan Katong menjadi kesedihan tersendiri bagi masyarakat Kaliwungu. Karena
ditinggal oleh tokoh panutan sekaligus guru spriritualnya. Beratus-ratus tahun masyarakat Kaliwungu vakum akan hadirnya tokoh
penyejuk ruhani dan Kyai pengobat hati. Dengan tidak adanya ulama, lama
kelamaan masyarakat kembali terjerumus ke dalam keyakinan-keyakinan masa lalu
dari mulai ajaran Animisme sampai ajaran Hindu dan Budha. Dan mulailah timbul kembali
kebiasaan-kebiasaan lama, seperti maen (judi), mabok
(mabuk-mabukan), madon (zina), maling (mencuri), mateni
(membunuh) dan lain-lain.
Dengan semakin
rusak dan kacaunya keadaan masyarakat di Kaliwungu. Pada sekitar tahun 1781,
Kasultanan Mataram Islam Jogja mengutus KH. Asy’ari untuk membenahi dan
memperbaiki keadaan masyarakat Kaliwungu pada waktu itu. Kyai Asy’ari merupakan
Ulama Dalem Keraton dan masih ada nasab dengan Rasulullah saw. Sultan Mataram
Islam Jogja pada waktu itu melihat, bahwa Kyai Asy’ari mampu membenahi
masyarakat Kaliwungu karena kedalaman ilmunya dan puluhan tahun menuntut ilmu
di kota Mekkah.
Dengan datangnya
Kyai Asy’ari ke Kaliwungu untuk membenahi keadaan masyarakat yang mulai kembali
kepada keyakinan dan kebiasaan masa lalu. Akhirnya, lambat laun masyarakat
mulai sadar kembali dan mendukung dakwah Kyai Asy’ari. Dalam dakwahnya, Kyai
Asy’ari menerapkan dakwah yang halus dan mengena kepada masyarakat. Kyai Asy’ari
sesekali menggunakan budaya Jawa berupa wayang kulit, terbangan, kentrungan,
selametan, nyadran dan lain-lain untuk mendekati masyarakat agar bisa mengenal lebih
dalam ajaran Islam. Kyai Asy’ari sengaja mengenalkan budaya Jawa yang bernuansa
Islam itu dari Jogja ke Kaliwungu, tujuannya untuk lebih memudahkan proses
pengenalan kembali ajaran Islam ke dalam lingkungan masyarakat Kaliwungu.
Bertahun-tahun
Kyai Asy’ari berdakwah dan menjadi ulama di Kaliwungu. Bahkan Kyai Asy’ari
berhasil mendirikan Masjid dan Pesantren di Kaliwungu. Masjid yang beliau bangun
sampai sekarang masih berdiri megah di tengah-tengah Kota Kaliwungu, yaitu Masjid
Besar Al-Muttaqien. Sedangkan Pesantren yang beliau dirikan berada di Kp.
Pesantren, Krajankulon, Kaliwungu, sekarang bernama Pesantren APIP (Asrama
Pelajar Islam Pesantren).
Dengan kedalaman
ilmu yang dimilikinya, Kyai Asy’ari dengan tekun dan istiqomah mengajar ilmu-ilmu
agama kepada masyarakat dan santri Kaliwungu. Bahkan dengan didikan dan
bimbingan Kyai Asy’ari, banyak diantara santri-santrinya yang menjadi ulama
besar dan dikenal di seluruh Indonesia. Sebut saja, KH. Soleh Darat dari Semarang
yang merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU dan Pahlawan Nasional),
KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyyah) dan RA. Kartini (Pahlawan Nasional). Sedang
keponakan sekaligus murid Kyai Asy’ari yang bernama KH. Ahmad Rifa’i, menjadi pendiri
jama’ah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional. Adapun santri-santri Kyai Asy’ari yang
lain yang juga menjadi ulama besar adalah KH. Musa (Kaliwungu), KH. Bulkin
(Mangkang), KH. Anwaruddin (Cirebon) dan lain-lain. Maka tidak heran bila di
kemudian hari masyarakat dan santri Kaliwungu lebih mengenal Kyai Asy’ari dengan
sebutan Kyai Guru.
Disamping itu,
menurut beberapa riwayat, Kyai Asy’ari pernah kedatangan tamu dari kota Mekkah yang
merupakan salah satu temannya, satu riwayat menyebutkan sempat berguru kepada
Kyai Asy’ari. Dan tamu itu adalah cucu dari pengarang kitab I’anatut
Thalibin, Syech Muhammad Abu Bakar as-Syatho’. Saat beberapa waktu bertamu
di Kaliwungu, tamu tersebut jatuh sakit dan akhirnya wafat di Kaliwungu,
kemudian dimakamkan di Jabal Nur (samping makam Kyai Asy’ari).
Setelah puluhan
tahun mengabdikan diri kepada masyarakat dan santri di Kaliwungu, dengan
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan teladan-teladan yang mulia. Pada sekitar tahun
1876, Kyai Asy’ari meninggalkan dunia untuk selama-lamanya menuju rahmat Allah
swt. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur, Protowetan, Kaliwungu. Jasa dan
pengabdian Kyai Asy’ari masih terlihat jelas sampai sekarang ini, baik Masjid,
Pesantren maupun jasanya membenahi dan menjadikan Kaliwungu menjadi Kota yang
disinari dengan ilmu-ilmu agama dan suasana yang lebih Islami dengan banyaknya
santri dan Kyai.
Berkat jasa
dan dakwah Kyai Asy’ari itulah, Kaliwungu menjadi terang kembali dengan
munculnya beberapa ulama, Pesantren dan Madrasah. Diantara ulama yang menjadi
penerus perjuangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu sekaligus santri beliau adalah KH. Musa atau Kyai Musa. Kyai Musa
adalah ulama yang pernah mondok di Pesantren Kyai Asy’ari dan pernah di bai’at
menjadi pengikut Thariqah as-Syathariyyah oleh Kyai Asy’ari selaku
Khalifah Thariqah as-Syathariyyah.
Kyai Musa merupakan
Kyai ‘alim yang mempunyai putra-putra yang hampir semuanya menjadi ulama dan
tokoh masyarakat di Kaliwungu dan sekitarnya. Diantara putra-putra Kyai Musa
adalah KH. Abdurrasyid (mempunyai putra; KH. Ahmad Badawi, KH. Utsman dan
lain-lain), KH. Irfan (mempunyai putra; KH. Humaidullah, KH. Ibadullah, KH.
Ahmad Dum, KH. Abdul Aziz, KH. Fauzan dan lain-lain), KH. Abdullah (mempunyai
putra; KH. Ahmad Ru’yat dan lain-lain), KH. Ridwan (mempunyai putra; KH. Asror
dan lain-lain) dan lain sebagainya.
Pada masa
itu, Kyai Musa merupakan ulama besar yang sangat disegani oleh santri dan masyarakat
Kaliwungu. Dengan posisinya sebagai panutan sekaligus penerus perjuangan
gurunya itulah, Kyai Musa merasa mempunyai tanggung jawab untuk membimbing
santri dan masyarakat menuju jalan yang diridhoi Allah swt. Berkah dari ikhtiar
dan pengabdian Kyai Musa itulah, putra-putra Kyai Musa menjadi ulama dan tokoh
masyarakat yang juga disegani masyarakat. Bahkan penerus dan keturunan Kyai
Musa banyak yang bisa mendirikan Pesantren di Kaliwungu, seperti KH. Irfan
(mendirikan Ponpes Salaf APIK), KH. Ahmad Badawi (mendirikan Ponpes Tahfidz Miftahul
Falah), KH. Ahmad Dum (mendirikan Ponpes Salaf ARIS), KH. Humaidullah
(mendirikan Ponpes Salaf Benda Kerep), KH. Asror (mendirikan Majlis Ta’limul
Qur’an Kauman), KH. Fauzan (mendirikan Ponpes ASPIK), KH. Ibadullah (ulama
besar), KH. Ahmad Ru’yat (Waliyullah) dan lain sebagainya. Dengan semakin
banyaknya Pesantren, Madrasah dan Majlis-Majlis Ilmu yang didirikan dan
dilestarikan oleh penerus dan keturunan Kyai Musa tersebut. Dengan sendirinya
Kaliwungu menjadi pusat ilmu-ilmu agama dan dikemudian hari lahirlah istilah
Kaliwungu Kota Santri. Dan sebutan itu tidaklah berlebihan, karena pada
kenyataannya, Kaliwungu adalah Kota Pesantren sejak masa Sunan Katong dan Kyai
Asy’ari sampai pada masa sekarang ini.
Kaliwungu…
Lahirnya, dari
seorang santri
Hangatnya, karena
banyaknya Kyai
Besarnya, karena
ribuan santri
Terangnya, karena
masyarakatnya Islami
Maka, sudah
seharusnya kita pertahankan dan lestarikan Kaliwungu menjadi Kota Santri dengan
budaya yang lebih Islami. Agar daerah dan masyarakatnya menjadi nyaman, aman
dan damai dalam lindungan rahmat Allah swt.
Wallahu A’lamu
bi Muradih
al-Faqier
ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
13-03-14,
Kaliwungu Kota Santri