Orang awam itu ketika melaksanakan shalat dibatasi oleh waktu shalatnya. Misalnya waktu shalat Ashar dibatasi oleh shalat Maghrib, shalat Maghrib dibatasi oleh shalat Isya’ dan seterusnya. Akan tetapi shalatnya ahli ma’rifat tidak dibatasi oleh waktu. Tidak ada batas antara shalat fardhu dengan shalat di luar shalat fardhu. Sehingga shalat bagi para ‘arifin (ahli ma’rifat) tidak ada permulaan dan tidak ada akhiran (لا بداية ولا نهاية).
Antara shalat syariat dan hakikat tidak ada batas dan tidak terputus. Badan untuk melaksanakan syariat dan hatinya melaksanakan hakikat. Shalat para ‘arifin tidak kelihatan sujudnya, sebagaimana orang awam, sebab yang sujud pada saat shalat adalah ruhnya.
Imam As-Sasytasytary memberikan isyarah dengan ucapannya:
“Maka sujudlah karena takut pada keagungan Allah (Al-Jalal) pada saat mendekatkan diri, dan hendaklah engkau membaca surah Al-Fatihah (dibaca berulangkali) dengan sempurna”.
Maksudnya, ketika para ‘arifin sedang melaksanakan shalat, hakikatnya ia sedang menyirami syariat dengan hakikat, atau sebaliknya ia sedang menyirami hakikat dengan syariat. Sehingga antara syariat dan hakikat menyatu dalam ibadah, dan keduanya bisa dilakukan secara bersama-sama. Alhasil, ibadah syariatnya adalah wujud hakikatnya, dan ibadah hakikatnya adalah wujud syariatnya.
Dan ketika hati seseorang telah masuk ke dalam Hadrah Qudsy (Hadhirat Allah) dan tempat yang menyenangkan, maka sesungguhnya ia adalah sirr yang halus yang dipenuhi anugerah dan pancaran sinar/cahaya Allah. Akan tetapi yang demikian itu tidak bisa dicapai oleh hati yang tidak bertobat dari segala kesalahan dan maksiat. Hati yang bertobatlah yang bisa mendapatkan sesuatu yang dicari dan lembutnya sirr serta rahasianya tauhid.
Syeikh Ibnu Ajibah berkata, “Memahami lembutnya sirr tidak akan terwujud jika masih disertai adanya perbuatan dosa”. Atau dengan kata lain, untuk memahami rahasia tauhid tidak akan terwujud kecuali dengan hati yang ‘satu’ (tidak bercabang).
Barangsiapa yang tidak kembali (bertobat) dari kesalahannya, dan tidak berhati-hati terhadap halusnya syahwat, maka tidak bisa diharapkan untuk memahami rahasia tauhid, dan tidak bisa merasakan rahasia Ahli Tafrid (orang yang menyatukan hatinya kepada Haqqul Wujud).
Kesimpulan:
Penjelasan di atas merupakan pengalaman batin dari para pencari hakikat, yang melakukan pengembaraan spiritual hingga sampai maqam ma’rifat di Alam Jabarut.
Para pencari hakikat (المحققين) tersebut telah melakukan segala upaya dengan susah payah, mulai dari tahapan awal, yaitu dzikir dengan hati (ألذكر بالقلب), meningkat pada tahapan menengah, yaitu dzikir dengan ruh (ألذكر بالروح), dan hingga sampai pada tahapan puncak, yaitu dzikir bil sirr (الذكر بالسر).
Dalam mencari hakekat hingga ma’rifat, para arifin mengalami gejolak batin, terkadang mengalami naik (الترقى), dan mengalami turun (التنزل). Kadang ia berada di tempat wujudnya (البقاء), dan kadang ia tidak sadarkan diri terhadap wujudnya (الفناء), sebab ia telah menyatu (إتحاد) dengan Haqqul Wujud Allah SWT.
Terkadang juga para ‘arifin mengalami apa yang disebut jadzab (orangnya disebut: majdzub) جذب -مجذوب. Pada saat ia mengalami jadzab (tertarik), ia sering mengalami syatahat (شطحة), berbicara tanpa kesadaran diri (Bahasa Jawa: ndleming), karena ia sedang berada pada kondisi fana’.
Semua hal yang dialami oleh para ‘arifin di atas tidak bisa dilakukan oleh orang awam yang hatinya belum bersih dari kotoran dan dosa serta belum bertobat kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya itu, para ‘arifin sudah benar-benar mengosongkan hatinya dan melepaskan dari ketergantungan pada urusan duniawi, serta sudah asyik masyuk, mabuk cinta hanya kepada Allah Al-Haqq.
|
Ulama Syari'at dan Ulama Ma'rifat |
Beberapa Istilah Dalam Ilmu Tasawuf
1.) Baqa’ (البقاء) ialah kondisi dimana para pencari hakekat masih dalam kesadaran diri pada wujudnya
2.) Fana’ (ألفناء) ialah kondisi dimana para pencari hakekat hilang kesadaran dirinya terhadap wujudnya, karena telah wushul (sampai) kepada Haqqul Wujud
3.) Taraqi (الترقى) ialah kondisi dimana para pencari hakekat, ruhnya telah naik pada maqam hakekat
4.) Tanazul (التنزل) ialah kondisi dimana pencari hakekat ruhnya sedang turun, berada di maqam syariat
5.) Syatahat (شطحة) ialah para pencari hakekat, dimana tanpa kesadarannya berbicara sendiri, yang maknanya tidak bisa dipahami oleh orang awam
6.) Jadzab (جذب) ialah para pencari hakekat, dimana ruhnya tertarik ke atas hingga sampai maqam hakekat
7.) Al-Jalal /الجلال (keagungan)
8.) Al-Jamal /الجمال (keindahan)
9.) Al-Baarr /ألبار (Maha Berbuat Kebaikan)
10.) Zalat/ زلة (terpeleset)
11.) Hafwah/ هفوة (kesalahan)
12.) Alkamal /ألكمال (kesempurnaan)
13.) Almuhaqqiqin /المحققين (pencari hakekat)
14.) Al-arifin /العارفين (orang yang sudah ma’rifat)
15.) As salik/ As sa’ir / السالك، السائر (orang yang sedang berjalan menuju suatu tujuan
16.) Al wushul/Al ittishol /الوصول، الإتصال telah sampai pada hakekat
17.) Al-washilun/الواصلون (orang sudah sampai /berada di maqam hakekat.
Wallahu A'lam
Sumber: Situs PCNU Kendal