KH. Bahauddin Nur Salim asal Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah merupakan salah satu ulama muda yang sering melontarkan pandangan-pandangan segar tentang keislaman berbasis tafsir. Salah satu santri KH. Maemun Zubair, Sarang tersebut diakui oleh khalayak tentang kepakarannya di bidang tafsir meskipun tentu saja sebagaimana ulama-ulama pesantren pada umumnya, mereka juga menguasai bidang-bidang disiplin ilmu lain.
Dalam satu kesempatan, Gus Baha’ menjelaskan seumpama manusia itu sadar, pasti mereka akan mendahulukan kepentingan urusan akhirat dan menomorduakan kepentingan dunia. Orang hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah orang mati. Justru pada saat mereka mati, di saat itulah mereka malah dianggap baru hidup.
“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari.” (QS. Yunus: 45)
Dalam Al-Qur’an juga dikatakan, orang yang sedang hidup sekarang sedang dalam kelalaian. Akan disingkap semua tirai hakikat itu pada hari kiamat kelak.
“Sesungguhnya kamu (di dunia) berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini (peristiwa akhirat), maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaf: 22)
Bukti orang yang hidup sekarang adalah orang mati secara hakikat, mereka sering salah paham bahwa uang itu penting, kenal dengan Obama itu penting, kenal duta besar itu penting. Kita baru akan jadi paham kalau duit dan semua hal-hal tersebut kelak menjadi tidak penting.
Agar kita tahu dengan jelas bahwa hal-hal itu tidak penting, kita mesti menunggu sampai di akhirat kelak. Pada saat mati kelak kita baru sadar bahwa harta, tahta, pengaruh, jumlah pengikut, semuanya tak lagi dianggap penting. Yang penting besok di akhirat adalah lamanya sujud dengan dinikmati, melihat anak yatim kemudian diberi sedekah, bisa mengaji disyukuri, dan lain sebagainya. Sehingga gara-gara bermalas-malasan tidak shalat tahajjud dan lain sebagainya membuat orang menyesal di akhirat nantinya. Banyak hal yang terasa remeh di dunia tapi justru besar nilainya di akhirat.
Terkadang ada fenomena seorang kiai, karena ia hanya mengelola mushala kecil reot dilabeli sebagai kiai kecil. Sedangkan kiai yang menjabat secara struktural di ormas besar distempel sebagai kiai besar yang top, hanya gara-gara jabatan yang ia sandang. Ternyata di akhirat yang besar hanya jadi kulit saja. Sedang yang kiai kecil tadi malah bisa kasih syafaat.
“Sayangnya, kiai atau ulama di akhirat diperbolehkan dendam. Sehingga ia tidak mau kasih syafaat kepada orang yang menganggapnya sebagai kecil di dunia. Padahal ia menjadi orang besar di mata Allah.” Demikian penjelasan Gus Baha’.
Makanya, lanjut Gus Baha’, jangan suka melabeli ulama sebagai kiai kecil, tapi ia besar menurut Allah. Dan seperti ini banyak terjadi.
رُبَّ أَشْعَثَ، مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
"Banyak orang yang rambutnya semrawut, (compang-camping), ditolak masuk ke pintu-pintu masyarakat (karena dianggap remeh), namun orang itu jika bersumpah atas nama Allah, pasti Allah mengabulkan permintaannya.” (HR. Muslim)
Ada cerita Uwais Al-Qarni yang masyhur. Ia tak pernah mengikuti shalat Jumat. Ia beralasan tidak punya pakaian yang cukup untuk menutupi aurat untuk pergi Jumatan.
Uwais tidak pernah berani mempunyai pakaian hingga dua helai karena ia khawatir, jangan-jangan kalau ia mempunyai pakaian dua helai, sedangkan ada orang lain yang sampai tak punya pakaian sama sekali, ia kelak akan dihisab karena itu. Sebab standarnya, jika ada orang tidak mempunyai pakaian, di sisi lain tetangganya ada orang yang mempunyai pakaian lebih dari kebutuhannya, harus diberikan. Kalau tidak, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (hisab).
Berbeda kalau punyanya hanya pakaian satu saja. Walaupun dari sumber harta syubhat sekalipun, akan tetap halal, tidak terkena hisab. Sebab, ia berpakaian semata-mata untuk menutup aurat yang hukumnya wajib. Dalam keadaan darurat untuk menjalankan kewajiban menutup aurat, seumpama memakai harta haram sekalipun diperbolehkan, karena darurat.
Makan juga begitu. Uwais Al-Qarni itu tidak mau makan kecuali kalau tidak makan, akan mati. Seumpama terpaksa yang ia makan itu haram akan menjadi halal karena memang dalam keadaan darurat. Jika lebih dari itu, terkena hisab.
Dengan penjelasan Gus Baha’ di atas dapat diambil kesimpulan bahwa profil Uwais Al-Qarni di mata masyarakat tidak terkenal, namun namanya tenar di mata penduduk langit. Dengan begitu, kiai kecil atau kiai besar tidak bisa diukur oleh pandangan masyarakat secara kasat mata. Karena masing-masing bukan berdasar kealiman atau pengikutnya, tapi ketakwaannya.
“Sesunggunya yang paling mulia kalian di sisi Allah adalah kalian yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dengan begitu, dalam pandangan tasawuf, kita tidak bisa memeta-metakan kiai besar – kiai kecil jika mengacu bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah. Kecuali pada ranah kredibilitas dan kapabilitas keilmuan, kita baru bisa menilai kapasitas keilmuan seseorang dengan parameter atau patokan yang sudah ditentukan oleh para ulama sehingga kita bisa ambil mereka sebagai rujukan masalah agama. Namun jika menyangkut mana yang paling mulia di sisi Allah, tidak ada yang bisa mengklasifikan mana yang besar mana yang kecil.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU