Kisah cinta yang sudah terpendam sejak lama, kisah cintanya sangat terjaga kerahasiaannya dalam kata, sikap dan ekspresi mereka bahkan konon syaithanpun tak bisa mengendusnya, mereka bisa menjaga izzah mereka, hingga Allah telah menghalalkannya.
Ali bin Abi Thalib adalah keponakan dan salah satu sahabat yang istimewa dimata Rasulullah SAW. Selain beliau tinggal langsung bersama Rasulullah, dia juga seorang pemberani yang pernah menggantikan posisi tidur Rasulullah disaat hijrah dan juga seorang mujahid perang yang gagah.
Sementara Fatimah, putri Rasulullah yang taat, penyayang dan sangat peduli pada Rasulullah, selalu ada disamping ayahnya dalam setiap kisah perjuangan sang ayah membumikan nilai-nilai Islam di tengah kafir Quraisy.
Ali sudah menyukai Fatimah sejak lama, kecantikan putri Rasulullah ini tak hanya jasmaninya saja, kecantikan ruhaninya melintasi batas hingga langit ketujuh. Kendalanya adalah perasaan rendah dirinya, apakah mampu ia membahagiakan putri Rasulullah dengan keadaannya yang serba terbatas. Demikian kira-kira perasaan yang ada pada Ali saat itu.
Pada suatu ketika, Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang selalu dekat dengan Nabi, yang telah mempertaruhkan kehidupannya, harta dan jiwanya untuk Islam, menemani perjuangan Rasulullah sejak awal-awal risalah ini.
Dialah Abu Bakar As-Shiddiq, entah kenapa mendengar berita ini Ali terkejut dan tersentak jiwanya, muncul rasa-rasa yang dia pun tak mengerti, Ali merasa diuji karena terasa apalah dirinya jika dibanding dengan Abu Bakar kedudukannya di sisi Nabi.
Ali merasa belum ada apa-apanya bila dibanding dengan perjuangannya dalam menyebarkan risalah Islam, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan dakwahnya. Sebutlah Utsman, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mush’ab, dan lain-lain. Ini yang tak mungkin dilakukan oleh anak-anak seperti Ali. Tak sedikit juga para budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar sebutlah Bilal bin Rabbah, Khabbab, keluarga Yassir, Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain.
Dari sisi finansial Abu Bakar seorang saudagar, tentu akan lebih bisa membahagiakan Fatimah, sementara Ali?, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
Melihat dan memperhitungkan hal ini, Ali ikhlas dan bahagia jika Fatimah bersama Abu Bakar, meskipun ia tak mampu membohongi rasa-rasa dalam hatinya yang ia sendiri tak mengerti, apakah mungkin itu yang namanya cinta?
Namun ternyata lamaran Abu Bakar ditolak oleh Fatimah, sehingga hal ini menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap dia masih memiliki kesempatan itu.
Namun ujian bagi Ali belum berakhir, setelah Abu Bakar mundur muncullah laki-laki nan gagah perkasa dan pemberani. Seseorang yang dengan masuk Islamnya mengangkat derajat kaum muslimin, seorang laki-laki yang membuat setan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Seorang yang diberi gelar Al-Faruq.
Ya, dialah Umar bin Al-Khattab. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan juga datang melamar Fatimah.
Ali pun ridha jika Fatimah menikah dengan Umar, ia bahagia jika Fatimah bisa bersama dengan sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu Bakar yang mana Rasulullah sampai mengatakan “Aku datang bersama Umar dan Abu Bakar”.
Namun kemudian Ali pun semakin bingung karena ternyata lamaran Umar pun ditolak.
Setelah itu menyusul Abdurahman bin Auf melamar sang putri dengan membawa 100 unta bermata biru dari Mesir dan 10.000 dinnar, kalo diuangkan dalam rupiah kira kira 55 milyar. Dan lamaran bermilyar-milyar itupun ditolak oleh Rasulullah.
Akan tetapi kekhawatiran Ali bin Abi Thalib belum berakhir sampai di sini karena ternyata sahabat yang lain pun melamar sang Az-Zahra. Utsman bin Affan pun memberanikan dirinya melamar sang putri Nabi, dengan mahar seperti yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf, hanya ia menegaskan kembali bahwa kedudukannya lebih mulia dibanding Abdurrahman bin Auf karena ia telah lebih dahulu masuk Islam.
Tidak disangkaa tidak diduga, ternyata Rasulullah pun menolak lamaran Utsman bin Affan.
Empat sahabat sudah memberanikan diri dan mereka semua telah ditolak oleh Rasulullah.
“Mengapa bukan engkau saja yang mencobanya kawan?”, seru salah satu sahabat Ali,
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah?, aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya, engkau wahai saudaraku!” sahut sahabatnya
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa aku andalkan?” jelas Ali
Sahabatnyapun menguatkan “Kami dibelakangmu, kawan!
Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya, meminang putri Nabi untuk jadi istrinya. Awalnya beliau hanya duduk di samping Rasulullah dan lama tertunduk diam. Hingga Rasulullah pun bertanya “Wahai putra Abu Thalib, apa yang engkau inginkan?”
Sejenak Ali terdiam, dan dengan suara bergetar ia pun menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah”. Mendengar jawaban Ali ini beliau tidak terkejut seraya bersabda, “Bagus, wahai Ibnu Abu Thalib, beberapa waktu terakhir ini banyak yang melamar putriku, tetapi ia selalu menolaknya, oleh karena itu, tunggulah jawaban putriku”
Kemudian Rasulullah meninggalkan Ali dan bertanya kepada putrinya, ketika ditanya Fatimah hanya terdiam dan Rasulullah menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah pertanda kesetujuannya.
Rasulullah kemudian mendekati Ali dan bersabda “Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau jadikan mahar wahai Ali?”
Ali pun menjawab “Orangtuaku yang menjadi penebusnya untukmu ya Rasulullah, tak ada yang aku sembunyikan darimu, aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang dan sebuah baju zirah (baju perang) dari besi”.
Dengan tersenyum Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, tidak mungkin engkau terpisah dengan pedangmu, karena dengannya engkau membela diri dari musuh-musuh Allah dan tidak mungkin juga engkau berpisah dengan untamu karena ia engkau butuhkan untuk membantumu mengairi tanamanmu, aku terima mahar baju besimu, juallah dan jadikan sebagai mahar untuk putriku. Wahai Ali, engkau wajib bergembira sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi”. Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ra.
Ali bin Abi Thalib menjual baju besi tersebut dengan harga 400 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah, dan Nabi pun membagi uang tersebut ke dalam 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai biaya untuk jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta (resepsi).
Setelah segala-galannya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira dan disaksikan oleh para sahabat Rasulullah mengucapkan kata ijab kabul pernikahan putrinya.
Kemudian Nabi bersabda:
“Sesunguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah binti Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, Maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkanya dengan maskawin empat ratus dirham (nilai sebuah baju besi) dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Maka, menikahlah Ali dengan Fatimah. Pernikahan mereka penuh hikmah walau diarungi di tengah kemiskinan. Bahkan disebutkan oleh Rasulullah sangat terharu melihat tangan Fatimah yang kasar karena harus menepung gandum untuk membantu suaminya.
Dan malam harinya setelah dihalalkan oleh Allah, terjadilah dialog yang sangat menggetarkan. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”,
Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya.
Sambil tersenyum Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”
Subhanallah, itu adalah pujian terbaik dari seorang istri yang bisa membahagiakan hati suaminya.
Ali dan Fatimah saling mencintai karena Allah mereka mencintai dalam diam, menjaga cintanya dan Allah satukan dalam ikatan suci pernikahan Masya Allah.
Semoga Allah mempertemukan kita semua dengan orang yang sungguh-sungguh mencintai kita seperti Fatimah dan Ali.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Wallahu A'lam