KH. Ahmad
Rifa’i atau Kyai Rifa’i dilahirkan pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H.
bertepatan dengan tahun 1786 M. di Desa Tempuran, Kendal (sebelah barat Masjid
Agung Kendal). Ayahnya seorang penghulu bernama R. Muhammad Marhum bin R. Abi
Sujak Wijaya alias Raden Sucowijoyo, sedangkan ibunya Siti Rachmah. Ayahanda Kyai
Rifa’i mempunyai saudara kandung sebanyak empat orang, yaitu Ibu Nyai
Nakiyamah, KH. Bukhari, KH. Ahmad Hasan dan Kyai Abu Musthofa.
R. Muhammad
Marhum mempunyai tujuh anak, yaitu Kyai Abdul Karim, Kyai Salman, Kyai Zakaria,
Kyai Rakhibah, Ibu Nyai Rajiyah, Kyai Muhammad Arif dan Kyai Rifa’i. Kyai
Rifa’i merupakan bungsu dari tujuh bersaudara itu.
Pada usia enam
tahun, Kyai Rifa’i sudah ditinggal wafat oleh ayah dan ibunya. Selanjutnya
beliau tinggal di rumah kakak kandungnya, yaitu Nyai Rajiyah binti R. Muhammad
Marhum. Nyai Rajiyah merupakan istri Kyai Asy’ari atau Kyai Guru, seorang ulama
pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren di Kaliwungu, Kendal. Oleh kakak iparnya,
Kyai Rifa’i diasuh dan diajari ilmu-ilmu agama dari berbagai cabang ilmu.
Baca: Biografi Lengkap Kyai Asy'ari (Kyai Guru)
Masa remaja Kyai
Rifa’i berada dalam lingkungan kehidupan agama yang kuat, karena Kaliwungu
merupakan wilayah yang sejak dulu terkenal sebagai pusat perkembangan Islam di
wilayah Kendal dan sekitarnya. Di lingkungan inilah beliau diajarkan
bermacam-macam ilmu agama Islam yang lazim dipelajari di dunia Pesantren
seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Fikih, Badi’, Bayan, ilmu Hadis, dan ilmu Al-Quran.
Pada masa
mudanya, Kyai Rifa’i sering melakukan tabligh keliling di daerah Kendal dan
sekitarnya. Dalam dakwahnya beliau tidak hanya menyampaikan masalah-masalah
agama, tapi juga sosial masyarakat. Terutama pemahaman terhadap kemerdekaan dan
anti-kolonial. Karena itu, beberapa kali Kyai Rifa’i diperingatkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda, bahkan pernah dimasukkan dalam penjara di Kendal dan
Semarang.
Setelah diasuh
oleh Kyai Asy’ari, sebagai kakak ipar sekaligus gurunya selama kurang lebih 24
tahun di Pesantren Kaliwungu. Pada tahun 1230 H./1816 M., ketika usianya
mencapai 30 tahun, Kyai Rifa’i pergi ke Mekah untuk menunaikan kewajiban ibadah
haji. Sudah menjadi tradisi pada waktu itu, orang-orang dari Jawa yang
melakukan ibadah haji ke Mekah dan Madinah, mereka tidak langsung pulang,
tetapi lebih dulu mendalami ilmu agama disana. Sebagaimana diutarakan Azyumardi
Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Abad XVIII, bahwa pada pada abad 18,
dua tanah haram
(Mekah dan Madinah) dijadikan sentra jaringan ulama sedunia, hal ini berlanjut
sampai abad ke XIX. Orang-orang dari Indonesia, disana tidak hanya puas dalam
mencari ilmu, tetapi beberapa diantaranya dipercaya menjadi guru besar,
sebagaimana Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi. Kitab
karangan mereka juga masyhur di lembaga pendidikan Ahlussunah di beberapa
pelosok dunia.
Selama kurun
8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Isa al-Barowi, Syaikh
Ahmad Utsman dan Syaikh al-Faqih Muhammad Ibnu Abdul Aziz al-Jaisyi, kemudian
melanjutkan belajar ke Kairo, Mesir selama 12 tahun. Di Kairo, beliau mendalami
kitab-kitab Mazhab Syafi’i, dengan petunjuk dan arahan dari beberapa guru
besar, yang telah menelurkan karya,
diantaranya: Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al-Misry.
Pada tahun
1252 H./1838 M., Kyai Rifa’i kembali ke Indonesia. Pada saat itu beliau berusia
51 tahun dan langsung menuju ke Kaliwungu membantu kakak iparnya, Kyai Asy’ari,
menjadi ustadz di Pondok Pesantren
Kaliwungu. Sebagai ustadz yang baru datang dari tanah suci, Kyai Rifa’i
mendapat perhatian dan simpati dari para santri. Selain mengajarkan ilmu-ilmu
agama, beliau juga menyampaikan pentingnya semangat nasionalisme terkait dengan
sikap anti-penjajah.
Karena
kritik-kritiknya yang tajam tersebut, beliau dicekal oleh Kolonial Belanda
dengan tuduhan membuat kerusuhan. Kemudian, Kyai Rifa’i ditangkap untuk dimintai
keterangan sehubungan dengan kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, Kyai
Rifa’i dikeluarkan oleh Kolonial Belanda dari Kaliwungu dan diasingkan di daerah
Kalisalak, Limpung, Batang pada tahun 1847 M. Sebelum beliau berangkat ke
Kalisalak istrinya wafat.
Di tempat
terpencil itu, Kyai Rifa’i merasa prihatin karena dalam keadaan berduka dipisahkan
dari para santrinya di Kaliwungu. Di Kalisalak, semula Kyai Rifa’i
menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Karena metode mengajarnya sangat
menarik dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk nadhom (puisi),
santrinya bertambah dan berkembang menjadi Majlis Ta’lim.
Untuk
memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengan Kyai Rifa’i
dan mewujudkan cita-citanya, maka didirikanlah pondok pesantren dan masjid di
Kalisalak oleh Kyai Rifa’i.
Mengasuh Para
Santri
Di dalam
pondok terpencil dan jauh dari jangkauan kontrol Pemerintah Hindia Belanda itu,
Kyai Rifa’i semakin masyhur dan lebih berkonsentrasi mengasuh santri-santrinya.
Ternyata kehadiran Kyai Rifai juga dikagumi oleh seorang janda demang yang kaya
bernama Sujinah. Keduanya lalu melangsungkan pernikahan. Pernikahan itu semakin
memperkuat kedudukannya di Desa Kalisalak dan di tempat yang terpencil itulah beliau
mendidik para santri untuk menjaga dan meneruskan ajarannya.
Di antara santri-santri
Kyai Rifa’i yaitu Abdul Hamid, Abu Hasan, Abdul Aziz (Wonosobo), Ishaq (Patebon,
Kendal), Ilham (Kalipucang, Batang), Imampuro (Limpung, Batang), Chasan (Tirto,
Pekalongan), Abu Salim (Kedungwuni, Pekalongan), Idris (Indramayu), Abdul Manan
(Purwodadi), Abdul Qohar (Bekingkin, Kendal), dan Iman Tani (Kutowinangun,
Kebumen).
Selain
mengajar, Kyai Rifa’i juga tekun menulis kitab dengan tulisan Arab pegon
(tulisan Arab dengan bahasa Jawa). Bahkan selama berada di Kalisalak sampai di
Manado, beliau sudah menulis kitab sebanyak 62 kitab. Kitab yang ditulis beliau
terdiri dari berbagai macam cabang ilmu agama, dari mulai ilmu fikih, akidah, sampai
tasawuf.
Cara Dakwah
Kyai Rifa’i
Kondisi
masyarakat Jawa selama kelahiran Kyai Rifa’i sampai beliau pulang dari tanah
suci Mekah, masih tetap dalam kungkungan penjajah Belanda. Dalam keterangan di
beberapa kitabnya, Kyai Rifa’i mengatakan bahwa pada waktu itu orang Islam
sudah ada, tetapi di antara mereka banyak yang menjadi cecunguk Belanda,
dan sebagian ikut kepada ‘alim yang bersifat fasik. Ulama-ulama yang
berkolaborasi dengan Belanda biasanya diberi cap sebagai ‘alim fasik, beberapa
bait syair Kyai Rifa’i ini bisa menjadi gambaran tentang masyarakat pada waktu
itu.
Ora tentu
kafir iku sabab nyembah berhala
Tinemu Kafir
munafik ibadah riya katula
Luwih ala
kafir munafik tinimbang nyembah berhala
Kafir
munafik neng dasare neraka tanda luwih ala
Mukmin kasab
nandur jejagung
Iku luwih
becik tinimbang ngawula tumenggung.
Kang partela
ngenani dosa luwih agung
Parek-parek
kufur wong cilaka digunggung
Terjemahnya
:
Belum tentu
kafir itu sebab menyembah berhala
Kafir
munafik itu yang beribadah dengan riya
Lebih jelek
kafir munafik daripada kafirnya orang yang menyembah berhala
Kafir
munafik didasar neraka itu tanda lebih hina
Mukmin yang
bekerja menanam jagung
Itu lebih
baik daripada orang yang mengabdi kepada tumenggung (penguasa)
Yang
jelas-jelas telah berdosa besar
Dekat-dekat
kekufuran, orang celaka (tumenggung) dielukan.
Dalam
kesempatan lain, Kyai Rifa’i menggambarkan sikap penjilat para ‘alim fasik, haji
fasik, penghulu, demang, tumenggung, sebagai cecunguk-cecunguk raja
kafir Belanda.
Ghalib ‘alim
lan haji pasik pada tulung
Marang raja
kafir asih podo junjung.
Ikulah wong ‘alim
munafiq imane suwung
Dumeh diangkat
derajat dadi Tumenggung
Terjemahnya
:
Sudah jadi
kenyataan umum, ‘alim, haji fasik saling menolong
Kepada raja
kafir, mereka saling mengasihi dan saling menjunjung
Itulah orang
‘alim munafik imannya kosong
Karena sebab
diangkat derajatnya menjadi Tumenggung
Kondisi
masyarakat pada waktu itu diliputi oleh kehidupan feodalisme yang berlebihan,
dimana para penguasa, bangsawan dihormati secara berlebihan oleh masyarakat
awam. Dalam praktek keseharian masyarakat sering melakukan seba (berjalan
membungkuk melebihi posisi rukuk dalam shalat) apabila bertemu dengan para
birokrat itu. Praktek seba bagi Kyai Rifa’i merupakan perbuatan hina,
nista, serta bisa dikategorikan sebagai praktek maksiat yang berdosa besar.
Sumerep
badan hina seba ngelangsur
Manfaate
ilmu lan amal dimaha lebur
Tinemu
priyayi laku gawe gede kadosan
Ratu,
bupati, lurah, tumenggung, kebayan
Maring raja
kafir pada asih anutan
Haji, abid,
pada tulung maksiat
Nuli dadi
qodli khotib ibadah
Maring alim adil laku bener syariat
Sebab
khawatir yen ora nemu derajat
Ikulah
lakune wong munafiq imane suwung
Anut maksiat
wong dadi Tumenggung
Satu
peristiwa yang sulit dilupakan Kyai Rifa’i pada tahun 1835 M., ketika beliau
diajak oleh kakak iparnya Kyai Asy’ari untuk menghadiri resepsi perkawinan di
pendopo Kabupaten Kendal, para tamu yang menghadiri acara resepsi terlebih
dahulu ber-seba di hadapan Bupati dan priyayi.
Perbuatan seba
tersebut dianggap oleh Kyai Rifa’i sebagai mungkar dan berbahaya bagi para
santri, karena merendahkan martabat manusia dan menyerupai ibadah. Melihat
kenyataan tersebut, maka Kyai Rifa’i mengeluarkan beberapa fatwa-fatwa yang ditujukan
kepada para penghulu, camat, demang, lurah, yang mengabdikan dirinya kepada
pemerintah Belanda sebagai perbuatan zalim, lebih-lebih Belanda datang ke
Indonesia untuk menjajah.
Kritik
tersebut ditujukan kepada bangsa Indonesia yang mengikuti jejak Belanda, dengan
meninggalkan bangsanya yang dijajah dan dihinakan. Menurut Kyai Rifa’i, para demang,
lurah, dan camat yang mengikuti jejak Belanda disebut sebagai orang munafik.
Kritik-kritik
yang dilancarkan Kyai Rifa’i terhadap para pejabat tersebut dianggap pemerintah
Belanda mengganggu ketentraman masyarakat Kendal dan sekitarnya. Sehingga pada
tahun 1847 M. pemerintah Belanda distrik Kendal mengambil kebijakan untuk mengasingkan
Kyai Rifa’i ke daerah Kalisalak,
Limpung, Batang. Dan dalam pengasingan di Kalisalak, Kyai Rifa’i tetap gigih
menentang penjajah Belanda dan tetap semangat menyuarakan kritik-kritiknya
kepada para ‘alim fasik, penghulu, lurah dan demang yang membela dan membantu
pemerintah Belanda. Akhirnya beliau diasingkan kembali dari Kalisalak ke Ambon
dan dipindah lagi ke Manado, tepatnya di Kampung Jawa, Tondano, Manado. Di
sanalah beliau wafat dan dimakamkan.
Atas
jasa-jasa dan pengorbanan ulama tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Ahmad Rifa’i atau Kyai Rifa’i.
Penganugerahan itu diberikan sesuai dengan Keppres No 089/TK/Tahun 2004.
Oleh Saifurroyya
Dari Berbagai Sumber