Semasa remaja, Kiai Dahlan habiskan untuk bekerja ikut saudaranya dengan bermacam-macam profesi yang ditekuni, dari mulai menjadi pedagang asongan yang menyusuri lorong-lorong pasar Johar, hingga ikut membantu pamannya membuat kembang dari kertas di Surabaya yang melatih tangan terampilnya menjadi modal pengalamannya sekaligus sebagai marketing kembang dijalani. Namun, bekerja dengan saudaranya tidak seindah yang dibayangkan, akhirnya Kiai Dahlan memilih untuk mandiri.
Kiai Dahlan mulai jenuh dengan kehidupan yang selama ini dijalani dari kecil hingga dewasa digunakan untuk mencari uang. Kiai Dahlan memulai memikirkan tentang kehidupan yang lebih berarti. Akhirnya, Kiai Dahlan memutuskan untuk mondok di kota kecil Kaliwungu, kota yang penuh dengan kedamaian atau disebut juga kota santri.
Mulailah, Kiai Dahlan mondok di Ponpes APIK di bawah asuhan KH. Ahmad Ru’yat. Di Ponpes APIK ini, Kiai Dahlan belajar kitab tafsir Jalalain, kitab Irsyadul Ibad, kitab Fathul Mu'in dan lainnya. Kadang juga Kiai Dahlan belajar tasawuf dengan KH. Humaidullah Irfan.
Usai shalat Subuh, Kiai Dahlan mencoba belajar ngaji kepada KH. Asror Ridwan. Setelah mulai mengaji Al-Qur’an kepada KH. Asror Ridwan, membuat Kiai Dahlan berpaling dari niat semula yang ingin fokus belajar kitab. Kemudian Kiai Dahlan pindah dari Ponpes APIK ke Majelis Ta’lim Kauman (sekarang PPTQ Al-Asror), atau sering disebut ngaji Al-Qur’an di utara masjid.
Setelah mondok di Majelis Ta’lim Kauman, Kiai Dahlan tidur hanya beralaskan tikar, kalau belajar duduk di atas ubin, dan menulis di atas bangku (dampar). Waktu siang digunakan untuk istirahat. Sesekali Kiai Dahlan berolah raga dengan mengangkat barbel. Di Majelis Ta’lim Kauman, Kiai Dahlan tidur di kamar no. 9, yaitu kamar kecil untuk 2 orang, yaitu Kiai Dahlan dan Kiai Ihsan.
Baca: Biografi Singkat KH. Asror Ridwan
Bila disuruh menghafal, ternyata Kiai Dahlan tidak mampu, maka dapat hukuman mengisi kolam sebanyak 50 ember. Bila santri dibangunkan untuk menunaikan shalat Subuh agak sulit, maka algojo pondok akan turun tangan. Kiai Samlawi dari Tegal tidak segan-segan untuk menyiramkan air ke atas tubuh santri.
Kiai Dahlan belajar membaca surah Al-Fatihah bin-nadhor selama tiga bulan, setelah tiga bulan baru dinyatakan lulus oleh KH. Asror Ridwan. KH. Asror Ridwan mengajar santrinya satu-persatu. Didengar dengan sungguh-sungguh bacaan santrinya.
Suatu hari, KH. Asror Ridwan mengajar dengan membawa lampu teplok (lampu tempel), semua santrinya yang saat itu hanya berjumlah 9 orang duduk berjajar dengan bersila. KH. Asror Ridwan mendekatkan lampu teplok yang sedang menyala tanpa semprong (tutup lampu) ke depan wajah tiap santrinya (kira-kira satu jengkal), kemudian dengan sabar KH. Asror Ridwan menyuruh satu-persatu santrinya untuk melafadzkan makhraj huruf Dhod, bila apinya goyang, maka santri tersebut belum lulus karena makhroj Dhod tidak boleh ada udara keluar dari mulut.
Begitu hati-hatinya KH. Asror Ridwan mengajarkan Al-Qur’an. Dan salah satu kehati-hatian lain yang tampak pada diri beliau ialah KH. Asror Ridwan tidak ingin mempunyai banyak santri. Karena KH. Asror Ridwan punya falsafah yang selalu di pegang dan praktikkan, yaitu “sitik tapi mentes”, artinya sedikit tapi berkualitas.
Baca juga: Profil Singkat PPTQ Al-Asror Kaliwungu
Kiai Dahlan mondok di Majelis Ta’lim Kauman tidaklah lama, hanya sekitar satu tahun lebih beberapa bulan. Belum sempat ke Semarang, Kiai Dahlan pindah ke Solo, Kiai Dahlan mencoba mondok di pesantren Jamsaren, tetapi tidak betah.
Pada tahun 1973, Kiai Dahlan mencoba menjadi guru di SKKA. Tidak sampai satu tahun, Kiai Dahlan mengajar di SKKA, namun hanya hitungan bulan. Tidak lama kemudian, Kiai Dahlan diangkat menjadi PNS.
Karomah Mbah Sholeh Darat Dalam Diri KH. Dachlan Salim Zarkasyi
Mbah Sholeh Darat, seorang guru dari para ulama nusantara yang berasal dari Semarang suatu ketika berkata: "Nanti di Semarang akan ada orang yang bukan ahli Qur'an tapi bisa menyelamatkan pendidikan Al-Qur'an".
Dawuh beliau ini secara mutawatir disampaikan hingga cicit keturunan Mbah Sholeh Darat yang kelima yang bernama Mbah Abdurrohman. Salah satu santri yang mendengar hal tersebut bermaksud ingin membuktikan siapa yang dimaksud orang yang bisa menyelamatkan pendidikan Al-Qur'an yang bukan dari kalangan ahli Qur'an.
Orang tersebut mengarah kepada KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Pada tahun 80-an beliau terkenal sebagai guru ngaji di Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ), dengan menggunakan metode belajar membaca Al-Qur'an karya KH. Dachlan Salim Zarkasyi, yakni Qira’ati
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Bapak Imam Murjito (Menantu KH. Dahlan Salim Zarkasyi)