Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama.
Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jamiyah Ulama, saya tidak mengerti. Setelah itu saya mau pulang.
“Mau pulang kamu?”
“Ya Kyai”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup Kyai, saya cukup didoakan saja Kyai”
“Ya mari,.. haturkan ke Kyai Kholil, saya tulus, saya tulus untuk mendirikan Jamiyah Ulama”
Inilah asalnya Jamiyah Ulama
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil
“As’ad, kesini”
“Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak Kyai”
“Hasyim Asy’ari?”
“Ya, Kyai”
“Dimana rumahnya?”
“Tebuireng”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Kediri) Kyai, putranya Kyai Keras Kediri”
“Ya benar”
“Ini tasbih hantarkan”
“Ya Kyai”
Kemudian saya diberi uang 1 ringgit dan rokok, saya kumpulkan, semua menjadi 3 ringgit dengan yang dulu, tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus di pagi hari Kyai keluar dari langgar (musholla)
“Kesini, kesini , makan dulu”
“Tidak Kyai, saya sudah minum wedang dan jajan”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan Kyai?”
“Jangan membeli di jalan !? jangan makan di jalan?, santri kok makan di jalan!”
“Ya Kyai” saya di marahin karena makan di jalan
“Santri kok menjual harga dirinya!”
Akhirnya saya ditanya : “Cukup sakunya?”
“Cukup Kyai”
“Tidak, ini ambil”
Diberi lagi oleh Kyai 1 ringgit, saya simpan lagi.
Kemudian tasbih di pegang ujungnya oleh Kyai,
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar. Ya Qahhar”
Jadi, Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih, Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.
“Ini” disuruh ngambil tasbih itu, saya tegakkan leher saya
“Kok di leher?”
“Ya Kyai, tolong diletakkan di leher supaya tidak jatuh”
“Ya sudah” dikalungkan oleh Kyai.
Jadi saya berkalung tasbih, masih muda berkalung tasbih, saya berjalan lagi, bertemu lagi dengan yang membicarakan dulu.
“Ini orang yang megang tongkat dulu itu? Wah hadza(ini) majnun (gila)”. Ada yang bilang “wali”, ya seperti dulu. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai Hasyin. Saya puasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai, saya tidak berani berbuat apa-apa, sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum, tidak merokok, tidak terpakai uang saya. Ada yang narik “karcis, karcis” saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat, jadi saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis, jadi perjalanan dua kali saya tidak membeli karcis. Ini sudah jelas keramatnya Kyai, jadi Auliya’ itu punya karomah, saya semakin yakin dengan karomah.
Baca: Sejarah Lahirnya NU Oleh KH. As'ad Syamsul Arifin
Lalu saya sampai di Tebuireng, “Kyai?”
“Apa cong (apa nak)?”
“Saya mengantarkan tasbih”
“Masya Allah, masya Allah, saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini Kyai” (dengan mengulurkan leher)
“Lho”
“Ya kyai, tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya. Sampai sekarang saya tidak memegangnya Kyai, saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru, sebab tasbih ini untuk anda, saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda”
Kemudian diambil oleh Kyai. “Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar. Ya Qahhar”
“Siapa yang berani kepada NU akan hancur, siapa yang berani pada ulama akan hancur” begitu dawuhnya.
Faham ya ini?
(hadirin menjawab : enggi/ya)
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat di tanggal 29 Ramadhan, banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama.
Jelas ya (hadirin menjawab : enggi/ya)
Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun, termasuk yang menyusunnya Kyai Dahlan dari Nganjuk yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengurus kepada gubernur jenderal.
Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh”
Sumber: Rekaman Asli Ceramah KH. As’ad Syamsul Arifin