Tidak
ada yang menyangkal akan kemasyhuran kitab Taqrib (al-Ghayatu wa at-Taqrib), sebuah risalah kecil dalam
disiplin ilmu fiqih, yang meskipun kitabnya tipis tapi berbobot. Nyaris semua
Pondok Pesantren di Indonesia dalam desain kurikulum pembelajarannya memakai kitab
Taqrib ini. Ia
menjadi materi dasar penguasaan ilmu fiqih untuk para santri. Banyaknya
kitab-kitab fiqih terbaru yang dikarang Fuqaha (ahli fiqih) kontemporer belum dapat menggeser penggunaan
kitab produk sekitar abad ke-5 hijriyah tersebut.
Menurut
analisa KH. Azizi Hasbullah, aktivis Lembaga Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur,
sebenarnya banyak karya-karya pakar fiqih klasik sekurun dengan Taqrib yang
ditulis dan beredar di berbagai penjuru negeri muslim, baik yang tipis maupun
yang tebal. Pada umumnya kitab-kitab fiqih klasik itu tidak banyak perbedaan
baik pada sisi materi, sistematika pembagian bab demi bab, pasal demi pasal,
hingga pilihan redaksi kalimat yang digunakan.
Meskipun
begitu, hanya sedikit di antara sekian banyak kitab klasik yang disusun
tersebut mendapat apresiasi dan diterima secara luas sampai lintas negeri
sebagaimana
Taqrib. Tidaklah semua kitab fiqih karangan para ulama klasik
tersebut dapat begitu saja masyhur dan dikenal secara luas dari waktu ke waktu
sebagaimana kitab Taqrib yang
hingga kini masih tetap dikaji, dipelajari dan diminati banyak orang khususnya
Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah.
Bila
ditelusuri, semua keistimewaan itu tidak terlepas dari kepribadian dan reputasi
penulisnya, yaitu Syaikh Abu Suja' yang bernama lengkap Ahmad bin Husain bin
Ahmad al-Asfihani. Menurut keterangan Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Abu
Syuja’ lahir pada tahun 433 H. Semasa hidupnya, beliau pernah menjabat sebagai Qadhi (hakim)
di Madinah, dan sempat pula menjadi Wazir (menteri) saat berusia
47 tahun.
Saat
menjabat sebagai Menteri, beliau dapat menyebarkan syi’ar agama dan keadilan.
Sedapat mungkin beliau tidak pernah keluar rumah sebelum shalat dan membaca Al-Qur'an.
Dalam urusan kebenaran, beliau tidak pernah merasa gentar atau takut menghadapi
kecaman, hujatan maupun caci maki. Selain itu, Syaikh Abu Syuja’ dikenal sangat
dermawan bahkan sampai mengangkat sepuluh orang pembantu hanya untuk
membagi-bagikan hadiah dan sedekah. Dan lebih spektakulernya lagi, di usia
senjanya ketika memutuskan hendak berkhidmah di Masjid Nabawi (Madinah), beliau
menyedekahkan semua harta benda yang beliau miliki.
Tentang
karakteristik kepribadian beliau lainnya adalah; beliau dikenal tidak hanya ‘alim
dalam ilmu syari’at, melainkan juga dikenal zuhud, memiliki kerendahan hati,
keshalihan, ketakwaan, serta ketinggian rasa sosialnya.
Syaikh
Abu Syuja’ dikaruniai usia panjang, 160 tahun. Meskipun berusia lanjut, tidak
ada satu anggota tubuh pun yang cacat. Pendengaran maupun penglihatannya masih
tajam. Demikian juga dengan anggota badan lainnya. Suatu hari, beliau ditanya
oleh seseorang tentang kesehatan fisiknya itu. “Sejak kecil, saya selalu
menjaga anggota-anggota badan ini dari perbuatan-perbuatan mendurhakai Allah
(maksiat), sehingga Allah menjaga anggota-anggota ini (sampai usia tua).”
jawabnya tanpa menyombongkan diri.
Untuk
menghabiskan masa tuanya, beliau memilih uzlah (mengasingkan diri) dengan bermukim di Masjid Nabawi
Madinah dan mendekatkan diri kepada Allah. Di Masjid itu beliau sembari
mengabdikan diri menjadi tukang sapu dan penyala lampu di Masjid dan Makam
Rasullullah saw. Imam Nawawi al-Bantani tidak menyebutkan tahun berapa Syaikh Abu
Syuja’ wafat. Dan pada akhirnya beliau dimakamkan di Masjid Nabawi Madinah di
sisi pintu Jibril, berdekatan dengan Makam Rasulullah saw., hanya berjarak beberapa
langkah kaki saja.
Tidak
seperti lazimnya para penulis era sekarang yang karya-karyanya ditulis atas
inisiatif sendiri dan motifnya yang beragam, Syaikh Abu Syuja’ mulai menulis
kitab Taqrib, sebagaimana disampaikannya dalam muqaddimah Taqrib, lantaran ada permintaan dari beberapa teman akrabnya
supaya menyusun kitab ringkasan (mukhtashar) fiqih yang padat (berisi) serta mengikuti metode
yang dipakai Imam Syafi'i. Hal ini menunjukkan betapa tawadu'nya Syaikh Abu Suja’.
Dari
paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa karena faktor keikhlasan, jauh
dari pamrih, kezuhudan, kerendahan hati, kedermawanan, dan ketaqwaan
penulisnya-lah, kitab Taqrib akhirnya
menjadi sebuah kitab yang begitu familiar, terus bertahan (eksis), dan tetap
dikaji para penuntut ilmu sebagaimana kita saksikan sendiri sampai sekarang.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU
ADS HERE !!!