Sejarah Kendal telah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam. Diantara buktinya adalah terdapat situs peninggalan berupa candi, arca, makam kuno, gua dan lain-lain. Daerah Kendal diperkirakan pernah menjadi pintu gerbang Kerajaan Mataram Kuno yang Berjaya di Jawa Tengah pada abad ke-7 sampai abad ke-9. Kemakmurannya terkenal ke seluruh penjuru angin. Buktinya Kerajaan Mataram Kuno berhasil membangun candi Borobudur di daerah Magelang dan candi-candi Hindu di dataran tinggi Dieng. Wajarlah daerah Kendal merupakan pintu gerbangnya di pantai utara.
Setelah Kerajaan Mataram Kuno runtuh, daerah Kendal dikuasai oleh Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Diperkirakan daerah Kendal dijadikan pangkalan angkatan laut dan ditempati para petinggi atau pejabat Kerajaan Majapahit. Salah seorang tokoh atau petinggi Kerajaan Majapahit adalah Ki Suromenggolo yang kemudian terkenal dengan sebutan pendekar atau Empu Pakuwojo. Dia ahli militer, ahli pemerintahan, dan ahli agama Hindu.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada akhir tahun 1400-an, Empu Pakuwojo masih berkuasa di daerahnya. Namun, pada waktu itu belum dikenal nama Kendal.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit disusul dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak Bintoro di daerah Demak. Letaknya kurang lebih 30 kilometer dari daerah Kendal. Pendirinya adalah Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V. Raja Brawijaya V adalah raja terakhir yang memimpin Kerajaan Majapahit.
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, berdirilah Kerajaan Islam Demak Bintoro di daerah Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah atas dukungan Walisongo. Dari daerah Demak inilah, Islam berkembang ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk daerah Kendal.
Syiar Islam itu terlaksana secara bertahap dari satu wilayah ke wilayah lain. kawasan sepanjang pantai utara merupakan sasaran yang dipandang penting karena dapat dijadikan gerbang perdagangan dan benteng pertahanan. Waktu itu telah diketahui kemunculan orang-orang Portugis di Semenanjung Malaka (sekarang Malaysia). Bahkan di antara mereka sudah mendarat di Jepara. Lantas timbullah anggapan bakal terjadi persaingan dagang dan perebutan kekuasaan di Nusantara. Oleh karena itu, ruang gerak mereka harus dibatasi. Salah satu caranya adalah memperkuat kekuasaan di sepanjang pantai utara.
Daerah Kendal, waktu itu masih masuk dalam wilayah Kadipaten Kaliwungu, dipandang penting karena sudah ramai penduduknya. Tokoh yang ditugasi ke daerah itu adalah Bhatara Katong atau Sunan Katong. Dia seorang bangsawan Majapahit yang pernah berkuasa di daerah Ponorogo (Jawa Timur). Dengan sejumlah prajurit yang tangguh, dia pun berangkat menuju Kadipaten Kaliwungu.
Setelah mencari-cari tempat yang baik, sampailah dia di sebuah bukit yang indah. Di tempat itulah dia membangun tempat tinggal dan padepokan (pondok) serta mulai mengajarkan ajaran agama Islam kepada para penduduk. Bukit yang indah itu sekarang disebut bukit Jabal Nur, yang masuk dalam wilayah Protomulyo, Kaliwungu, Kendal.
Ternyata ajaran Sunan Katong disambut baik oleh warga setempat yang masih mewarisi agama nenek moyang, yaitu Hindu dan Budha. Namun tidak lama kemudian terdengar tantangan keras dari Empu Pakuwojo yang mengaku masih berkuasa di bawah bayang-bayang Kerajaan Majapahit.
Tantangan itu justru membesarkan tekad Sunan Katong untuk bertemu dengan Empu Pakuwojo. Dia pun menugaskan orang-orang terdekat untuk mengatur waktu dan tempat pertemuan. Bahkan menetapkan apa saja yang akan dijadikan bahan pembicaraan. Pada zaman sekarang, pertemuan itu dapat disebut diskusi atau seminar.
Ternyata diskusi mereka berkembang menjadi perdebatan sengit tentang masalah agama. Setiap pihak berusaha menegaskan agamanya yang benar. Lama-lama perdebatan itu memanas dan berkembang menjadi pertarungan.
“Empu Pakuwojo bersedia menjadi murid Sunan Katong dan tunduk kepada titah Kerajaan Islam Demak Bintoro jika kalah dalam bertanding kesaktian” seru Empu Pakuwojo di hadapan para pengikutnya
“Yang dicari bukan kalah atau menang, tetapi kebenaran sejati. Boleh saja beradu kesaktian, tetapi hanya Allah yang akan menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah”, jelas Sunan Katong
“Apapun yang terjadi, sebaiknya sama-sama bersikap ksatria”, kata Empu Pakuwojo dengan lantang
“Kalau Sunan Katong yang kalah, dilarang mengganggu kekuasaan Empu Pakuwojo”, sambung Empu Pakuwojo
Syahdan, pertarungan kedua tokoh yang sakti itu berlangsung seru selama berhari-hari. Keduanya menguras kekuatan dan kesaktian masing-masing. Ternyata Empu Pakuwojo terdesak dan berlari dengan kesakitan karena terluka oleh keris sakti Sunan Katong. Kemudian terus dikejar oleh Sunan Katong dan para prajurit. Sampai di suatu tempat Empu Pakuwojo berlari telanjang dada karena badannya terasa panas. Kelak tempat pelarian itu disebut Desa Klego yang berarti “bertelanjang dada”.
Kejaran Sunan Katong dan prajuritnya memaksa Empu Pakuwojo bersembungi di semak-semak belukar. Kelak tempat persembunyian itu berkembang menjadi Desa Ndelik yang artinya “bersembunyi”. Akan tetapi, karena belum juga merasa aman, Empu Pakuwojo berlari lagi melewati pematang (tanggul) sawah yang sedang digarap petani. Pematang itu rusak berantakan dan membuat penasaran Sunan Katong dan para prajuritnya. Kelak tempat itu berkembang menjadi Desa Tambakrata yang berarti “tanggul (tambak) yang rata berantakan”. Sekarang berubah namanya menjadi Desa Tambakreja yang artinya “bekas tanggul atau tambak yang makmur”.
Akhirnya, Empu Pakuwojo sampai ke suatu tempat yang ditumbuhi pohon besar berlubang lebar. Di lubang yang seperti gua itulah sang pendekar bersembunyi dengan harapan terhindar dari kejaran Sunan Katong dan prajuritnya. Namun akhirnya Empu Pakuwojo tertangkap oleh Sunan Katong dan para prajuritnya di pohon besar itu. Kemudian terjadilah keajaiban yang mengukir sejarah daerah Kendal. Ternyata di tempat itulah Empu Pakuwojo mengaku kalah dan ingin berdamai.
“Seperti janjimu, sang Empu wajib mendukung agama Islam dan kekuasaan Kerajaan Islam Demak Bintoro”, kata Sunan Katong dengan bijaksana
“Baiklah, syaratnya tidak terjadi kekerasan” jawab Empu Pakuwojo
“Syaratnya sangat mudah, ucapkanlah kalimat syahadat. Hal-hal yang lain diajarkan di hari-hari mendatang” jelas Sunan Katong dengan santun
“Saksikanlah, di tempat inilah Empu Pakuwojo terbuka hatinya untuk memeluk Islam. Pohon besar yang berlubang ini merupakan saksi dan perlu dikenang sepanjang zaman. Karena itu, catatlah, pohon ini hendaknya disebut pohon Kendal, yang artinya penerang atau pembuka kesadaran” sambung Sunan Katong
Selanjutnya, sang empu diberi gelar Pangeran Pakuwojo. Dia pun terbukti berhasil menjadi murid atau santri yang tekun dan hebat. Kadangkala dia menetap di tempat asalnya yang sekarang disebut Desa Getas, Kecamatan Patebon. Kira-kira 3 km di sebelah barat Kendal. Sering juga dia berada di bukit Sentir sebagai pusat dakwahnya. Adapun tempat bersaksi berkembang menjadi Desa Kendalsari. Di dekatnya mengalir sungai Kendal yang dahulu pernah dijadikan gelanggang adu kesaktian. Sekarang tempat itu berada di pusat kota Kendal.
Dari tempat yang kecil dan sederhana itulah kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan daerah Kendal hingga sekarang, yang sebelumnya pusat pemerintahannya berada di Kaliwungu. Yang berperan penting dalam perkembangan daerah itu adalah Kerajaan Mataram Islam di masa pemerintahan Sultan Agung. Dia menugaskan tokoh andalan bernama Tumenggung Bahurekso untuk merintis pemerintahan di Kendal. Pengangkatannya tercatat pada hari Jum’at tanggal 8 September 1614 M.
Wallahu A’lam
Sumber: Buku Cerita Rakyat Kendal karya Yudiono K.S.